(Nezar Patria, Dok aksarasahajadotfilesdotwordpressdotcom)
Saya Nezar Patria.
Dilahirkan di Sigli, DI Aceh , pada 5 Oktober 1970. Saya lulus dari Fakultas
Filsafat UGM pada Agustus 1997. Selama menjadi mahasiswa saya aktif dalam
berbagai organisasi kemahasiswaan seperti Jamaah Shalahuddin UGM (1990-1991),
Biro Pers Mahasiswa Fakultas Filsafat UGM (1992-1996) dan terakhir sebagai
Sekretaris Umum Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) pada
1996.
Keterlibatan saya
di SMID dimotivasi oleh realitas kehidupan sosial dan politik Indonesia yang
sangat jauh dari standar negara modern yang demokratis. Perlakuan politik Orde
Baru yang penuh dengan penindasan hak azasi manusia, ketidakadilan politik dan
ekonomi membuat saya mengambil sikap yang kritis terhadap praktik kediktatoran
Orde Baru. Lewat kelompok-kelompok diskusi mahasiswa yang intensif dan
melelahkan namun tak merubah keadaan, akhirnya saya memutuskan untuk aktif
dalam aksi-aksi protes mahasiswa dan advokasi kasus-kasus rakyat yang
hak-haknya dirampas, ditindas secara ekonomi dan politik oleh Rezim Orde Baru.
Agaknya sudah
menjadi takdir bagi seluruh aktivis prodemokrasi yang berjuang melawan politik
kediktatoran Orde Baru untuk bersiap menghadapi penjara, intimidasi, teror dan
berbagai bentuk penindasan lain yang sama sekali tak terbayangkan sebelumnya.
Salah satunya adalah apa yang saya alami pada 13 Maret 1998, dua hari setelah
Sidang Umum 1988 yang penuh kepalsuan, menjelang bangkitnya gemuruh perlawanan
rakyat yang mengakhiri episode kediktatoran Orde Baru.
1 . Tamu tak
dikenal pada Jumat Malam, 13 Maret 1998
Saya dan tiga orang
kawan lainnya (Mugiyanto, Bimo Petrus dan Aan Rusdianto) tinggal di Rumah Susun
Klender. Kami adalah penghuni baru di sana, baru sekitar sepuluh hari. Tepatnya
mulai 28 Februari 1998. Kami semua adalah anggota SMID, yang setelah Peristiwa
27 Juli 1996 hidup dalam perburuan aparat kediktatoran Orde Baru.
Setelah gagal
menuding PRD sebagai “dalang” peristiwa 27 Juli 1996 itu, kediktatoran tetap
mempersalahkan PRD sebagai organisasi yang tidak sah karena tidak menggunakan
Pancasila sebagai asas, melainkan Sosial-Demokrasi Kerakyatan. Walaupun tak ada
maksud sedikitpun dari PRD untuk anti Pancasila–justru memberikan tekanan khusus
dari orientasi nilai Pancasila pada azas Sosial-Demokrasi Kerakyatan, namun
kediktatoran tetap saja memenjarakan para pimpinan PRD serta setahun kemudian
melarang PRD dan juga SMID sebagai salah satu organisasi yang berafiliasi
dengannya.
Dalam kondisi seperti
itu, kami para anggota SMID tetap bergerak walau dalam kondisi yang sangat
terbatas. Sebagian besar anggota kami kembali ke kampus dan yang lainnya dengan
setia masuk ke basis-basis komunitas rakyat yang tertindas.
Pada 13 Maret 1998,
sekitar pukul 19.00 saya baru pulang dari Depok. Saya adalah orang yang pertama
pulang pada malam itu. Rumah ini memang sepi kalau siang hari. Kami rata-rata
punya aktivitas di luar rumah penuh seharian. Bukan cuma aktivitas yang
berkaitan dengan politik (kami tetap menjaga kontak dengan komunitas mahasiswa
dan sektor rakyat lainnya dalam rangka pengorganisiran), namun juga melakukan
pekerjaan untuk dukungan finansial (menterjemahkan dan menulis artikel).
Sepuluh menit kemudian, Aan pulang. Kami menjerang air untuk membuat minuman.
Saat itulah terdengar pintu diketuk oleh orang.
Aan membuka pintu.
Empat orang bertubuh tegap dan menggunakan penutup kepala dari wol berdiri di
depan pintu. Aan memanggil saya yang masih berada di dapur, karena tamu itu tak
dikenal olehnya. Saya melihat salah seorang langsung masuk ke dalam dan
memegang lengan Aan. Saya bertanya mereka siapa dan ada keperluan apa.
Jawabannya adalah sebuah bentakan
“Jangan banyak
tanya, mari ikut kami!”.
Aan dicengkeram
oleh dua orang yang langsung menggiringnya keluar. Demikian juga saya. Saya
mencoba meronta, tapi seseorang mengapit di sebelah kanan saya langsung
mencabut pistol jenis semi otomatis. Ia berjaket hitam, bercelana jins, dan
menggunakan penutup kepala (seperti topi wol pendaki gunung warna hijau).
Pistol itu ditodongkan ke perut saya. Sementara, seseorang yang mengapit di
sebelah kiri saya (tak sempat saya identifikasi ciri-cirinya) langsung
memborgol kedua tangan saya. Mereka menggiring kami dengan paksa menuruni
tangga rumah susun (rumah kami di lantai dua). Mereka bekerja begitu cepat. Tak
sampai semenit kami sudah dimasukkan ke dalam sebuah mobil Jip yang telah
menungu diluar. Saya juga sempat melihat mobil jip lainnya, kelihatannya juga
satu kelompok dengan mereka, parkir persis di belakang mobil yang kami dipaksa
naik ke dalamnya.
Di dalam mobil,
mata saya dan Aan langsung ditutup dengan kain hitam dan ditambah lagi dengan
penutup kepala dari wol hitam. Kami berdua duduk di tengah. Sementara di kedua
sisi diapit oleh dua orang. Masing-masing tangan kami diborgol bergandengan.
Tangan kanan saya dengan tangan kiri Aan diborgol jadi satu, sementara kedua
tangan kami yang lainnya diborgol bersama dengan tangan orang-orang tak dikenal
itu.
Mobil itu ber-AC.
Sebelum mata saya ditutup, saya sempat melihat dua orang duduk di depan,
seorang berfungsi sebagai supir dan seorang lagi duduk disampingnya. Mobil
langsung meluncur dengan kecepatan tinggi. Semua kaca mobil tertutup rapat.
Musik diputar cukup keras, sehingga saya tak mendengar suara bising lalu lintas
di sepanjang perjalanan. Di dalam Jip itu seseorang menanyakan nama saya dan
apa aktivitas saya selama ini. Setelah saya menyebut nama dan kegiatan saya,
seseorang menyela “Aktivis SMID, kita nggak salah tangkap!”
Tak ada percakapan
lagi setelah itu. Saya berpikir keras menduga siapa yang menangkap saya. Jelas,
mereka bukan orang biasa. Mereka cukup profesional dan sikapnya keras serta
dingin. Saya berdoa dan berdzikir, Saya tak bisa menerka arah dan jalur mana
yang ditempuh oleh mereka. Namun, saya mencermati selama perjalanan itu, kaset
musik sempat berganti side. Jadi kurang lebih satu jam. Setelah itu saya merasa
mobil berhenti di satu tempat, dan terdengar seseorang melakukan komunikasi
dengan radio. Terdengar tanda panggil “Merpati, Merpati!” Namun, saya tak
mendengar balasannya.
Kelihatannya mereka
telah tiba di tempat tujuan, dan sedang menunggu konfirmasi izin untuk masuk.
Setelah menunggu sekitar sepuluh menit, mobil meluncur ke sebuah bangunan. Saya
dan Aan diturunkan dengan mata tertutup dan tangan terborgol. Kaki saya yang telanjang
terasa menginjak rumput, lalu tanah berpasir dan kemudian lantai tegel. Kami
digiring masuk ke sebuah ruangan.
2 . Suara sepatu
lars yang berderap-derap
Ketika masuk ke
dalam ruangan yang ber-AC itu, kami langsung dipisah, walaupun masih dalam satu
ruangan. Saya merasa banyak orang yang berada dalam ruangan tersebut
mengelilingi saya dan juga Aan. Celana saya dibuka dengan paksa sehingga
tinggal celana dalam dan baju kaos saja. Saya langsung didudukan pada sebuah
kursi lipat, borgol dibuka namun sebelah tangan saya diborgol pada besi kursi.
Saya merasa
berhadapan dengan sebuah meja dan ada seseorang di seberang sana melontarkan
pertanyaan dengan cukup keras “Sebagai Sekjen SMID kamu pasti tahu dimana Andi
Arief. Katakan segera di mana dia sekarang!”. Saya menjawab, tidak tahu persis
di mana Andi Arief berada, karena saya bertemu terakhir dengan dia di
Yogyakarta sekitar setengah tahun sebelumnya.
Mendengar jawaban
itu mereka segera menghajar saya. “Bangsat, pembohong!” kata salah seorang.
Lalu saya merasakan sebuah pukulan keras di rahang saya dan diikuti dengan
puluhan pukulan lain. Mereka mengulangi pertanyaannya, dan saya jawab tidak
tahu. Lalu saya mendengar ada suara perintah untuk mengambil alat setrum.
Sebuah benda terasa menempel di betis dan paha saya, dan sebuah aliran listrik
yang cukup kuat menyentak seluruh sendi tubuh saya. Saya berteriak “Allahu
akbar!” sambil menahan rasa sakit yang luar biasa. Aliran listrik itu menyerang
bertubi-tubi, sehingga tubuh dan kursi yang saya duduki bergeletar. Saya merasa
sebuah tendangan keras menghantam dada saya hingga saya terjengkang ke belakang
dan kursi lipat tempat saya duduk jadi ringsek.. Setelah mengganti kursi yang
lebih kuat, mereka kembali mengulang pertanyaan tersebut. Saya dalam keadaan setengah
sadar, lalu mengatakan bahwa Andi Arief berada di Lampung. Tempat persisinya
saya tidak tahu, mungkin saja di rumah orang tuanya.
Setelah itu saya
dibaringkan di sebuah velbed. Kedua kaki saya diikat kencang pada tepi velbed,
dan kedua tangan saya diborgol juga pada tepi velbed. Mereka menanyai tentang
aktivitas politik yang pernah saya lakukan, dan selalu saja entah menjawab atau
tidak saya disetrum berkali-kali. Mereka menanyakan apakah saya mengenal Waluyo
Djati, Faisol Reza, dan Herman. Mereka juga menanyakan apakah saya mengenal
Desmond dan Pius. Saya juga disuruh menceritakan apa saja aktivitas mereka.
Lalu mereka
menanyakan apakah saya pernah bertemu dengan Megawati dan Amien Rais. Dan
apakah PRD atau SMID pernah menerima dana dari Sofjan Wanandi. Saya menjawab
tidak pernah bertemu dengan ketiga orang tokoh tersebut. Secara politik PRD
memang mendukung Amien Rais dan Megawati . Namun PRD atau SMID tak pernah
menerima dana dari Sofjan Wanandi, dan saya jelaskan secara politik posisi
kepentingan PRD dan Sofyan Wanandi sangat berseberangan. Jadi, tak mungkin kami
mau berhubungan dengan dia apalagi menerima bantuan dari dia.
Setelah pertanyaan
ini sejenak mereka menghentikan penyiksaannya terhadap saya.
Samar-samar saya
mendengar Aan yang sedang ditanyai oleh sejumlah orang. Posisi dia tak jauh
dari saya dan kami masih berada dalam satu ruangan. Tak lama kemudian suasana
menjadi sepi dan hening. Dan saya kaget ketika terdengar langkah-langkah sepatu
yang baru saja masuk. Lalu, saya mendengar teriakan-teriakan kesakitan
seseorang yang juga sedang disiksa dan diinterogasi di ruang yang sama. Saya
mengenal persis suara itu sebagai suara Mugiyanto.
Kemudian kami
bertiga diberi makan nasi bungkus dengan lauk ikan. Selama makan kami tetap di
velbed dengan posisi duduk serta tangan kiri terborgol dan mata tertutup.
Selesai makan pertanyaan berlanjut tentang riwayat hidup saya dan pengalaman
aktivitas politik saya.
Sepanjang malam itu
sampai dengan subuh kami tetap terus disetrum dan diteror dengan suara alarm
yang sangat memekakkan (bunyinya mirip dengan alarm mobil). AC dihidupkan
dengan sangat kencang, sehingga tubuh saya yang setengah telanjang menggigil.
Lalu seorang petugas datang mendekat memeriksa tubuh saya (kelihatannya tenaga
medis) dan lewat suaranya samar-samar saya dengar bahwa ia melarang untuk
menyetrum daerah perut dan dada. Lalu saya dan kawan-kawan dipakaikan kembali
celana panjang kami. Kami tak bisa tidur sampai pagi hari, sampai para petugas
penjaga berganti regu. Karena mata tertutup kami sepertinya kehilangan
orientasi waktu. Petugas yang baru masuk juga mengulangi pertanyaan seperti
regu sebelumnya. Siksaan terus kami alami sepanjang hari.
Saya berpikir dan
coba menduga siapa mereka. Namun sangat sulit, karena mereka tak penrnah menyapa
sesamanya dengan panggilan nama. Ruangan itu juga kedap suara. Namun, pada pagi
hari itu terdengar samar-samar suara derap sepatu lars di luar. Saya menduga
karena pintu agak terbuka sedikit, sehingga suara-suara di luar merambat ke
dalam ruangan X itu. Kedengarannya seperti sekelompok serdadu yang sedang senam
militer dan berlari-lari kecil secara serempak. Juga terdengar mereka
menyanyikan lagu-lagu pembangkit semangat serta yel-yel yang tak jelas benar
kata-katanya.
Keesokannya (hari
kedua) posisi kami masih tetap di velbed dan masih dalam ruangan tersebut.
Pagi-pagi saya ditanyai tentang biodata. Saya kemudian dipaksa untuk mencari
cara menangkap Andi Arief, dengan menanyakan watak, kebiasaan dan tempat-tempat
yang sering dikunjungi oleh Andi. Saya tak dapat menjawabnya sesuai dengan apa
yang mereka inginkan. Saya disetrum lagi dan dipukuli. Saya juga ditanya
tentang struktur PRD setelah Budiman Sujatmiko, Ketua PRD, di penjara. Mereka
juga menyakan jaringan gerakan prodemokrasi yang lainnya.
Kemudian para
interogator itu menanyakan program politik PRD saat ini. Dan juga mereka
menanyakan tentang kenapa PRD mendukung referendum bagi rakyat Timor-timur.
Saya menjawab, bahwa persoalan Timor-timur telah menjadi bumerang yang
merugikan citra bangsa Indonesia di pergaulan internasional. Selain itu, perang
yang berkepanjangan telah membawa banyak korban baik dari serdadu Indonesia
maupun juga rakyat Timor-timur. Referendum adalah jalan yang adil dan
demokratis bagi Timor-timur untuk menentukan sikap. Terjadi “diskusi” disini
antara kami bertiga dan para interogator. Mereka mengaku cukup lama bertugas di
Timor-timur dan juga Aceh. Untuk beberapa jam tidak ada siksaan yang kami alami
selama “diskusi ” tersebut.
Saya minta izin
untuk ke toilet karena ingin buang air kecil. Mereka kemudian melepaskan borgol
saya, dan dengan mata tertutup lalu sebelah tangan saya diborgol ke tangan
seorang petugas yang mengantarkan saya ke toilet. Saya berjalan melintasi ruang
ber-AC tersebut dan begitu keluar menuju toilet saya kembali mendengar suara
sepatu lars yang sedang berdarap-derap serempak. Kali ini lebih jelas suara itu
berasal dari mereka yang sedang latihan berlari-lari kecil dan serempak. Namun
saya tak tahu lagu apa yang dinyanyikan dan juga bunyi yel-yel yang mereka
teriakkan.
Setelah makan pagi
, kami ditanyai lagi oleh kelompok petugas yang berbeda. Siksaan berupa setrum
dan pukulan serta tendangan kembali saya rasakan. Bahkan ketika mereka minta
saya menyebut secara persis alamat teman-teman Andi Arief di Lampung, mereka memposisikan
velbed saya secara terbalik. Kepala saya di bawah sementara kaki di atas,
dengan kemiringan sekitar 45 derajat. Seseorang bahkan membungkam mulut saya
dengan tumit sepatu sampai bibir saya pecah, karena saya berteriak keras
“Allahu akbar” ketika aliran listrik itu begitu gencar seperti meluluhlantakkan
sendi-sendi tulang saya. Sampai dengan malam hari terus-menerus terjadi
interograsi. Terkadang pertanyaannnya mengulang-ulang dan kadangkala pertanyaan
diajukan berdasarkan data yang didapat dari kedua kawan yang lain.
Besoknya, (tanggal
15/3) saya digiring ke toilet oleh dua orang petugas. Mata saya tetap tertutup
dan kedua tangan terborgol. Mereka membuka borgol dan kedua mata saya ketika
berada di toilet. Saya melihat dua orang petugas itu memakai topeng dari wol
hitam. Hanya matanya saja yang terlihat. Saya dipotret di sana dengan kamera
otomatis langsung jadi. Toilet itu kelihatan bersih, ada wastafel dan cermin.
Keramiknya warna biru muda dan lantainya warna merah bata.
Dinding warna krem.
Setelah selesai mata saya kembali ditutup, sebelumnya saya dizinkan cuci muka.
Saya kembali ke ruangan semula dimana saya dibaringkan kembali ke velbed. Lalu
seorang petugas mengatakan bahwa kami bertiga sebenarnya bukan target mereka,
dan karena itu kami akan dibawa ke suatu tempat. Namun walaupun begitu mereka
akan tetap mengawasi kami dimanapun kami berada, dan adalah persoalan yang
gampang untuk menyelesaikan kami bertiga jika kami membuat ulah yang tak
menyenangkan mereka.
3 . Menuju Polda
Metro Jaya
Sekitar tengah
hari, lalu kami di bawa ke suatu tempat. Masing-masing kami diangkut dengan
satu mobil. Saya dibawa dengan mobil Jip jenis Jimni. Perjalanan sekitar 1,5
jam, sebelum akhirnya saya tiba di sebuah tempat. Dalam perjalanan mata saya
tetap ditutup dan tangan diborgol ke belakang. Kami kemudian dibawa turun dan
berjalan memasuki sebuah gedung.
Saya merasa menaiki
anak tangga untuk bangunan bertingkat. Sampai di sebuah ruangan mata saya dan
borgol dibuka. Saya melihat ada sejumlah petugas berpakaian preman dan
menggunakan HT berada di depan saya. Saya lalu dipersilahkan duduk dan diberi
makan.
Ruangan itu cuma
2×2 M dan di pintu saya sempat melihat tulisan dari karton putih yang di
tempelkan di daun pintu. Kalau tak salah ingat bunyi tulisan tersebut adalah
“Koladaops 05″. Seorang petugas lalu melakukan proses verbal terhadap saya
melalui pertanyaan-pertanyaan seperti layaknya berkas acara pemeriksaan (BAP).
Saya juga disuruh menandatangani sebuah surat (surat penangkapan?) yang kopnya
telah dihapus. Jadi saya tak tahu institusi formal mana yang melakukan proses
verbal tersebut.
Tak lama kemudian,
mata saya ditutup lagi. Kelihatannya ada petugas lain yang menjemput. Kami
bertiga lalu dinaikkan ke sebuah mobil Kijang . Mobil itu membawa kami ke suatu
tempat, yang setelah sampai disana kami ketahui sebgai Polda Metro Jaya. Mata
kami dibuka, borgol juga dilepas. Lalu kami dibawa ke sebuah ruang dan
diperiksa. Setelah itu menandatangai surat penahanan dengan dugaan bahwa kami
melakukan tindak pidana Subversi. Sebelum mendapat penangguhan penahanan, kami
ditahan dan diisolasi (1sel untuk 1 orang) selama lebih kurang tiga bulan.
Selama dalam tahanan Polda Metro Jaya kami sempat dipanggil oleh tiga orang
perwira dari Puspom ABRI. Mereka menanyakan proses penangkapan kami oleh
orang-orang tak dikenal itu.
Jakarta, 7 Juni
1998.
Nezar Patria
Sumber: PARTAI RAKYAT DEMOKRATIK (PRD), PEOPLE’S DEMOCRATIC PARTY, INDONESIA, Europe Office, E-mail: prdeuro@xs4all.nl, Date: Tue, 16 Jun 1998 00:38:26 +0200
Sumber: PARTAI RAKYAT DEMOKRATIK (PRD), PEOPLE’S DEMOCRATIC PARTY, INDONESIA, Europe Office, E-mail: prdeuro@xs4all.nl, Date: Tue, 16 Jun 1998 00:38:26 +0200
______________
*) Nezar Patria,
kelahiran Sigli, Nanggroe Aceh Darussalam 5 Oktober 1970, seorang wartawan,
aktivis, dan penyair. Sekarang menjabat pemred The Jakarta Post; sejak tahun 2016,
bergabung di koran berbahasa Inggris tersebut untuk platform digital, lalu awal
2018 ditugaskan memimpin versi cetaknya. Sebelumnya, wartawan di Majalah Berita
Mingguan Tempo (1999-2008), tercatat salah satu pendiri portal VIVA.co.id
(2008-2014), dan redaktur pelaksana. Tahun 2014-2016, jadi wakil pemimpin redaksi
CNN Indonesia (Digital).
Karya jurnalistik
investigasinya pernah memenangkan Tolerance Prize dari International Federation
of Journalist (IFJ) bekerjasama European Council, Manila 2004. Jadi Ketua Umum
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) 2008-2011, dan terpilih sebagai Anggota Dewan
Pers, dua periode (2013-2019). Alumni Fakultas Filsafat UGM (lulus 1997), mendapat
gelar M.Sc dari The London School of Economics (LSE), Inggris, untuk Studi Politik
dan Sejarah Internasional, tahun 2008.
Selain organisasi
jurnalis, kerap terlibat di berbagai riset politik. Akrab tema politik sejak masa
mahasiswa, terutama aktif dalam gerakan mahasiswa pro demokrasi awal 1990-an
hingga Reformasi 1998. Di masa itu sebagai Sekretaris Jenderal Solidaritas
Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID), sebuah organisasi mahasiswa yang masuk
daftar hitam rezim Orde Baru. Di dunia riset, kini tercatat selaku Dewan
Redaksi di Jurnal Prisma, diterbitkan LP3ES. Pernah menjadi periset paruh waktu
di International Crisis Group (ICG) Asia Tenggara (2004-2012).
Bersama Tia
Setiadi, tahun 2017 mendirikan Circa di Yogyakarta; penerbit indie yang aktif
menerbitkan buku fiksi dan non-fiksi bertema seputar jurnalisme, sastra, dan
filsafat. Buku terbarunya sendiri ada dua; yang non-fiksi bertajuk “Keputusan
Sulit Adnan Ganto” (Circa, 2017, ditulis bersama almarhum Rusdi Mathari),
sebuah biografi seorang bankir yang jadi penasehat ekonomi bagi tujuh menteri
pertahanan RI. Buku kedua, sehimpun puisinya yang dimuat Harian Kompas dan Koran
Tempo, diterbitkan Diva Press, berjudul “Di Kedai Teh Ah Mei” (2018).
https://www.teraslampung.com/penculikan-aktivis-1988-kesaksian-nezar/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar