(Gus Dur dalam gambar Jajang R Kawentar)
Abdurrahman Wahid *
Kompas, 26 Nov 1973
Sebagai objek sastra, pesantren boleh dikata belum
memperoleh perhatian dari para sastrawan kita, padahal banyak di antara mereka
yang telah mengenyam kehidupan pesantren. Hanya Djamil Suherman yang pernah
melakukan penggarapan di bidang ini, dalam serangkaian cerita pendek di
tahun-tahun lima puluhan dan enam puluhan. Juga Mohammad Radjab, sedikit banyak
telah menggambarkan tradisi hidup bersurau di kampung, dalam otobiografinya
yang berjudul Semasa Kecil di Kampung. Walaupun demikian, karya dua orang penulis
itu belum lagi dapat dikatakan berhasil mengungkapkan hidup kejiwaan di
pesantren. Paling banyak karya mereka baru memantulkan nostalgia akan masa
bahagia yang mereka alami semasa kecil dalam lingkungan pesantren.
Yang ironis, justru sebuah karya pendek yang berhasil
menampilkan permasalahan kejiwaan pesantren. Karya itu cerpen Robohnya Surau
Kami, oleh A.A. Navis. Permasalahan cerpen ini, yaitu fatalisme yang melanda
kehidupan beragama, adalah permasalahan
tipikal pesantren. Walaupun latar belakang sosial yang disoroti adalah
kehidupan kampung yang “biasa”, tetapi jelas sekali cerpen ini dipengaruhi
corak kehidupan surau/pesantren di Sumatera Barat.
Sebaliknya, karya HAMKA Di Bawah Lindungan Ka’bah, justru
tidak mengungkapkan kehidupan kejiwaan pesantren. Walaupun yang dikemukakan
adalah cerita berlatar belakang kehidupan agama, tetapi tema pokoknya tidaklah
demikian. Tema itu mengenai kegagalan cinta dan usaha mengatasinya, dengan cara
mengasingkan diri di Makah. Tema pengorbanan cinta ialah tema umum kemanusiaan,
apa pun juga latar belakangnya. Dalam hal ini, karya HAMKA tersebut
mengingatkan kita pada pengorbanan tokoh utama karya Andre Gide, La Porte
Etroite. Dalam karya ini, tokoh Alissa mengorbankan cinta dengan jalan menjadi
seorang biarawati.
Abstraksi-abstraksi yang Sukar Difiktifkan
Mengapakah sedikit sekali kehidupan pesantren digambarkan
dalam kesusastraan kita? Ada beberapa sebab yang dapat dikemukakan untuk
menjawab pertanyaan tersebut. Pertama, karena persoalan dramatis di pesantren
berlangsung pada “taraf terminologis” yang tinggi tingkatannya. Soal abstrak
seperti determinasi, (al-jabru), free destination, (iradah), intensitas
ketundukan kepada Tuhan, dan sebagainya, sukar sekali dituangkan ke sebuah
cerita fiktif.
Kedua, dikarena masih kakunya pandangan masyarakat kita
terhadap manifestasi kehidupan beragama di kehidupan kita. Oleh Nurcholis
Madjid pandangan ini dinamai sakralisme agama. Dengan demikian, naluri sastra
dan elastisitas bentuk penceritaan tidak memperoleh jalan pelepasan. Kita masih
ingat akan reaksi sangat keras terhadap Ki Pandji Kusmin, Langit Makin Mendung,
beberapa tahun yang lalu.
Desakralisasi
Jika proses desakralisasi kehidupan beragama telah jauh
berlangsung, sebenarnya manifestasi kehidupan beragama dapat menjadi medium
sastra yang unik. G. K. Chesterton, misalnya, telah menyajikan kepada kita
rangkaian kisah seorang pendeta detektif, Father Brown. Walaupun karya ini
tidak dapat dianggap sebagai karya sastra yang serius, tetapi minimal ia telah
telah menunjukkan betapa uniknya kehidupan bergama sebagai medium sastra.
Pada umumnya, medium yang digunakan adalah satire,
seperti rangkaian novel Giovanni Guareschi di Italia pada tahun-tahun lima
puluhan. Karya Guareschi itu melukiskan suka duka seorang pendeta kampung yang
turut campur soal-soal politik lokal. Tokoh pendeta-politikus Don Carmillo ini
begitu menarik perhatian, sehingga karya Guareschi tersebut terkenal tidak
hanya di Italia saja, bahkan telah menjadi epik modern yang setara dengan
ketenaran karya klasik Jaroslav Hasek, Serdadu Baik si Schweik.
Pada waktu Lurah Don Peppone, seorang komunis, tampaknya
akan memperoleh kemenangan dalam sebuah pemilihan lokal, Don Carmillo menghadap
pada patung salib Yesus di altar gereja boboknya. Menolak permintaan Don
Carmillo agar Ia menyelamatkan kampung itu dari bahaya komunis, Yesus menjawab
bahwa urusan politik bukan urusannya! Mungkinkah satire seperti ini diterbitkan
di negeri kita dewasa ini, dengan tidak menerbitkan gelombang reaksi yang
hebat?
Jangan Satire
Salah satu jalan untuk mengatasi kekurangan penggarapan
materi pesantren dalam kesusastraan kita, adalah dengan mencari persoalan
dramatis yang tidak mengarah pada bentuk satire. Dalam hal ini dapat
dikemukakan contoh berupa karya seorang penulis Yahudi Amerika, Dr. Chaim
Potok.
Potok menceritakan pergulatan Hari, seorang pemuda Yahudi
dari sekte ortodoks, yang mempunyai seorang ayah rabbi terkemuka. Rabbi itu,
dengan penderitaan luar biasa, harus melarikan diri dari Rusia dan pindah ke
New York. Dalam kedegilan hati yang luar biasa, ia menentang setiap usaha untuk
mengadaptasi hukum agama Yuda pada kehidupan modern.
Keagungan kepribadiannya digambarkan dengan sangat
mengena oleh Potok: ketundukannya yang penuh pada ajaran agama, kejujurannya
untuk membela nilai-nilai yang dijunjungnya tinggi, kasih sayangnya kepada
jemaat yang dipimpinnya, dan kekerasan hatinya melawan setiap “bujukan” untuk
berkompromi dengan kehidupan modern di Amerika. Dalam dua karyanya, The Chosen
dan The Promise, Potok menyajikan pergulatan yang khusus bersangkutan dengan
sikap hidup beragama, secara serius dan penuh kecintaan.
Dalam karyanya yang ketiga, My Name is Asheerlev,
diceritakan seorang pemimpin Yahudi dari sekte kolot, yang mempunyai seorang
anak genius yang berbakat melukis. Padahal lingkungan sektenya tidak
memperkenankan penuangan bentuk makhluk hidup ke dalam lukisan. Secara dramatis
diperlihatkan bagaimana penderitaan batin sang ayah yang terjepit antara
tugasnya kepada masyarakat, dan antara bakat anaknya yang begitu luar biasa.
Karena teknik penceritaan, pengetahuan bahasa, dan
keindahan sastra yang bertaraf tinggi, drama tersebut menjadi sangat menarik
perhatian bagi pembacanya. Pada pokoknya, Potok berhasil mengungkapkan dilema
keagamaan yang universal bagi kita semua: bagaimana harus mempertemukan
ketundukan pada nilai agama dengan kebutuhan hidup modern ini.
Potok mencapai hasilnya yang gemilang itu, dengan pujian
dari para kritikus sastra yang terkemuka, karena ia menguasai persoalan yang
digarapnya. Jelas dari ketiga karyanya itu bahwa ia mengalami sendiri kemelut
yang digambarkannya. Dengan demikian, pesan yang hendak disampaikannya kepada
pembaca tampak penuh kejujuran, bukannya gambaran tentang sesuatu sentimen
murahan yang digarap secara cengeng.
Kalau ada juga sastrawan kita yang merasa terpanggil
untuk menggarap kehidupan pesantren sebagai objek sastra nantinya, terlebih
dahulu harus diyakininya persoalan-persoalan dramatis yang akan dikemukakannya.
Tanpa penguasaan penuh, hasilnya hanyalah akan berisi kedangkalan pandangan
belaka.
______________
*) Abdurrahman Wahid, Ketua Umum PBNU tahun 1984-1999,
Presiden keempat RI tahun 1999-2001. Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) tahun
1983, yang akrab dipanggil Gus Dur, lahir di Jombang, Jawa Timur, 7 September
1940. Selain sebagai agamawan, dikenal kolumnis terkemuka, penikmat sekaligus
pengamat sastra dan budaya. Dalam wawancaranya dengan majalah Editor pada edisi
No 15/THN. IV/22 Desember, ada satu cita-citanya yang belum kesampaian, “Saya Ingin
mengarang novel tentang keluarga besar Jombang. Tentang orang-orangnya, dengan
desa-desanya, keislamannya,” ungkapnya. http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,50-id,37342-lang,id-c,esei-t,Pesantren+dalam+Kesusastraan+Indonesia-.phpx
Tidak ada komentar:
Posting Komentar