Maratushsholihah
“Aku kira jika Bung pergi ke kampusku, Bung akan dengar banyak mahasiswa berkisah tentang Taat. Siapa yang tak tahu kisahnya? Hampir semua tahu Taat yang cumlaude itu. Taat, mahasiswa pendidikan yang sangat taat. Siapa yang bisa menandingi ketaatannya? Mendengar namanya saja barangkali Bung sudah bisa berasumsi, bagaimana taatnya mahasiswa yang bernama Taat. Tidak heran banyak mahasiswa senang dengar kisahnya, ada yang kemudian tergila-gila, bahkan bercita-cita ingin jadi Taat.”
Begitulah kutipan dari salah satu cerpen yang dibacakan Gusti Eka, penulis buku antologi cerpen ‘Memilih Jalan Sunyi’ pada acara peluncuran dan diskusi bukunya di Singkawang Book Fair, yang dilaksanakan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Singkawang dan digerakkan oleh Singkawang Membaca pada Sabtu (20/7).
Muncul sebuah pertanyaan dalam benak Gusti Eka tentang tujuan dari pendidikan. Menurutnya jika pendidikan itu bertujuan untuk menjadi seorang dokter atapun polisi dengan kata lain ‘Apakah profesi selalu menjadi tujuan utama? ’ Baginya itu adalah sebuah pilihan, bukan sebuah tujuan dari pendidikan itu sendiri. Berawal dari itu muncullah rasa terganggu dalam benaknya akan banyak hal yang terjadi di kampus sehingga menuangkan keresahan itu kedalam cerita pendek.
“Tidak dipungkiri bahwa disetiap kampus ada yang seperti si Taat itu, bahkan di sekolah, yang memodelkan salah satu orang yang bagus ini, dimana ia cepat selesai segala sesuatunya, kuliahnya. Kemudian muncul pertanyaan apakah mahasiswa yang seperti itu sukses mengarungi kehidupan yang saat ini kita lihat sangat keras. Tidak ada yang menjamin orang-orang yang menjadi role model tadi hidupnya akan sangat baik dari orang-orang yang tidak dimodelkan tadi. Artinya dalam pendidikan kita tidak butuh ketaatan,” ujarnya didepan peserta yang terdiri dari siswa dan siswi SMA, mahasiswa, serta beberapa komunitas dan penerbitan.
Nilai-nilai untuk bagaimana bisa menghargai kehidupan merupakan tujuan yang sebenarnya sehingga bisa mengarungi hidup yang keras seperti hari ini, bukan nilai nominal atau abjad yang didapat dari selembar kertas. Menurutnya pentingnya kita belajar untuk tahu tentang apa saja yang ingin kita ketahui, sebab dunia berubah, jaman berubah maka tak akan pernah cukup hanya dengan nilai-nilai diatas kertas tadi.
Gusti menekankan bahwa dalam penulisan buku ini yang menjadi kekuatan utama adalah membaca, hingga terpikirlah sebuah judul ‘Memilih Jalan Sunyi’ yang merupakan penggambaran dari semakin banyak seseorang membaca dan menulis maka akan semakin sunyilah orang tersebut.
Baginya, buku ini merupakan sebuah proses perjalanan yang panjang dan melelahkan. Dimulai sejak tahun 2013 cerpen-cerpen itu ditulis yang sebagian besar pernah dimuat di Pontianak Post dan Suara Pemred. Tahun 2017 sampai 2018 rencana tersebut ditunda dengan berbagai pertimbangan. Akhirnya pada bulan Juni 2019 buku ini lahir ditangan Penerbit Enggang Media. Hanya butuh waktu dua minggu saja cetakan pertama telah habis terjual.
Kritikus sastra asal Singkawang, Abroorza Ahmad Yusra menyampaikan bahwa tulisan Gusti Eka lebih menyentuh kearah kondisi sosial dan lingkungan dalam menulis antologi cerpen ini. Beberapa hal yang dikritik mulai dari tema secara keseluruhan yang menurutnya terlalu mendoktrin pembaca dengan pemikiran penulis. Selain itu gaya bahasanya hampir tidak ada sama sekali metafora sehingga tulisannya dirasa kurang menohok.
“Jika kita membicarakan sebuah sastra, maka kita membicarakan estetika juga. Di dalam cerpen misalnya kita membicarakan tentang estetika pada latarnya, tokohnya dan sebagainya. Ini yang sebenarnya perlu ditekankan sehingga tulisan yang dihasilkan bisa lebih menohok,” jelasnya.
***
https://mimbaruntan.com/gusti-eka-luncurkan-memilih-jalan-sunyi/
“Aku kira jika Bung pergi ke kampusku, Bung akan dengar banyak mahasiswa berkisah tentang Taat. Siapa yang tak tahu kisahnya? Hampir semua tahu Taat yang cumlaude itu. Taat, mahasiswa pendidikan yang sangat taat. Siapa yang bisa menandingi ketaatannya? Mendengar namanya saja barangkali Bung sudah bisa berasumsi, bagaimana taatnya mahasiswa yang bernama Taat. Tidak heran banyak mahasiswa senang dengar kisahnya, ada yang kemudian tergila-gila, bahkan bercita-cita ingin jadi Taat.”
Begitulah kutipan dari salah satu cerpen yang dibacakan Gusti Eka, penulis buku antologi cerpen ‘Memilih Jalan Sunyi’ pada acara peluncuran dan diskusi bukunya di Singkawang Book Fair, yang dilaksanakan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Singkawang dan digerakkan oleh Singkawang Membaca pada Sabtu (20/7).
Muncul sebuah pertanyaan dalam benak Gusti Eka tentang tujuan dari pendidikan. Menurutnya jika pendidikan itu bertujuan untuk menjadi seorang dokter atapun polisi dengan kata lain ‘Apakah profesi selalu menjadi tujuan utama? ’ Baginya itu adalah sebuah pilihan, bukan sebuah tujuan dari pendidikan itu sendiri. Berawal dari itu muncullah rasa terganggu dalam benaknya akan banyak hal yang terjadi di kampus sehingga menuangkan keresahan itu kedalam cerita pendek.
“Tidak dipungkiri bahwa disetiap kampus ada yang seperti si Taat itu, bahkan di sekolah, yang memodelkan salah satu orang yang bagus ini, dimana ia cepat selesai segala sesuatunya, kuliahnya. Kemudian muncul pertanyaan apakah mahasiswa yang seperti itu sukses mengarungi kehidupan yang saat ini kita lihat sangat keras. Tidak ada yang menjamin orang-orang yang menjadi role model tadi hidupnya akan sangat baik dari orang-orang yang tidak dimodelkan tadi. Artinya dalam pendidikan kita tidak butuh ketaatan,” ujarnya didepan peserta yang terdiri dari siswa dan siswi SMA, mahasiswa, serta beberapa komunitas dan penerbitan.
Nilai-nilai untuk bagaimana bisa menghargai kehidupan merupakan tujuan yang sebenarnya sehingga bisa mengarungi hidup yang keras seperti hari ini, bukan nilai nominal atau abjad yang didapat dari selembar kertas. Menurutnya pentingnya kita belajar untuk tahu tentang apa saja yang ingin kita ketahui, sebab dunia berubah, jaman berubah maka tak akan pernah cukup hanya dengan nilai-nilai diatas kertas tadi.
Gusti menekankan bahwa dalam penulisan buku ini yang menjadi kekuatan utama adalah membaca, hingga terpikirlah sebuah judul ‘Memilih Jalan Sunyi’ yang merupakan penggambaran dari semakin banyak seseorang membaca dan menulis maka akan semakin sunyilah orang tersebut.
Baginya, buku ini merupakan sebuah proses perjalanan yang panjang dan melelahkan. Dimulai sejak tahun 2013 cerpen-cerpen itu ditulis yang sebagian besar pernah dimuat di Pontianak Post dan Suara Pemred. Tahun 2017 sampai 2018 rencana tersebut ditunda dengan berbagai pertimbangan. Akhirnya pada bulan Juni 2019 buku ini lahir ditangan Penerbit Enggang Media. Hanya butuh waktu dua minggu saja cetakan pertama telah habis terjual.
Kritikus sastra asal Singkawang, Abroorza Ahmad Yusra menyampaikan bahwa tulisan Gusti Eka lebih menyentuh kearah kondisi sosial dan lingkungan dalam menulis antologi cerpen ini. Beberapa hal yang dikritik mulai dari tema secara keseluruhan yang menurutnya terlalu mendoktrin pembaca dengan pemikiran penulis. Selain itu gaya bahasanya hampir tidak ada sama sekali metafora sehingga tulisannya dirasa kurang menohok.
“Jika kita membicarakan sebuah sastra, maka kita membicarakan estetika juga. Di dalam cerpen misalnya kita membicarakan tentang estetika pada latarnya, tokohnya dan sebagainya. Ini yang sebenarnya perlu ditekankan sehingga tulisan yang dihasilkan bisa lebih menohok,” jelasnya.
***
https://mimbaruntan.com/gusti-eka-luncurkan-memilih-jalan-sunyi/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar