Jumat, 19 Juni 2020

RUH DAN IDEOLOGI PUISI NUSANTARA

Maman S. Mahayana *

Pembuka Kata

Perbincangan tentang “Ruh dan Ideologi Puisi Nusantara” ibarat pencarian jalan pulang dalam sebuah rimba-raya yang luas, penuh belukar, dan unik; khas. Perbincangan itu tidak sekadar upaya “menemukan” kembali masa lalu yang belum terang, mungkin agak gelap, dan boleh jadi juga sesat, tetapi punya posisi penting sebagai tindak meretas jalan ke depan yang lebih sesuai dengan jiwa dan karakteristik jati diri pemilik sah negeri ini.
Dalam usaha itu, tentu diperlukan pendedahan berbagai jenis dan ragam pepohonan (puisi) yang tumbuh di sana, selain juga coba meneroka keberagaman dan kekhasannya, kekayaan dan kemungkinan perjumpaan dengan para penghuninya, dan sekaligus mencari jawab atas pertanyaan: mengapa pepohonan dan ragam tetumbuhan dengan segala semak-belukarnya itu bisa tumbuh subur di sana?

Bagaimanapun, sastra (: puisi) bukanlah makhluk ruang angkasa yang datang seketika secara serta-merta. Ia produk budaya yang dihasilkan anggota masyarakat melalui proses berpikir, melihat—merasakan, dan memaknai—menilai kondisi alam—masyarakat—zamannya. Dengan demikian, sastra sesungguhnya merupakan suara-suara kebudayaannya yang sudah nemplok begitu saja menyertai kelahiran, pertumbuhan, dan perubahan masyarakatnya. Maka, sebagai produk budaya, ia menyimpan ruh kebudayaan masyarakat yang bersangkutan. Di sana pula ada ekspresi yang mungkin tiba-tiba saja mencelat atau menggelinding melalui proses panjang kebersamaannya dengan alam, lingkungan, tata nilai dan tradisi masyarakat, serta segala apa pun yang ikut mempengaruhi proses penciptaannya.

Dalam lingkup sastra Melayu, misalnya, pemahaman paripurna tentang itu mustahil sampai jika kita mengabaikan ihwal sejarah panjang yang melatarbelakanginya. Oleh karena itu, sastra sesungguhnya tidak mungkin dapat melepaskan diri dari sejarahnya, dari proses penjadiannya, dari lingkungan alam, masyarakat, dan kebudayaan yang melingkarinya. Dikatakan Muhammad Haji Salleh, “Sastra –tentu di dalamnya termasuk puisi—ialah seni Melayu yang tertua dan terumit yang memperlihatkan genius bangsa ini, terutama peribahasa, pantun, dan Sulalat al-Salatin (Sejarah Melayu). Sastra Melayu dibentuk oleh mediumnya –sesuatu bahasa yang juga mempunyai wataknya yang khusus, dengan sistem ucapan, bunyi dan pemaknaan. Konsep keindahan bahasa pula pasti dipinjam dan dipupuk oleh bangsa yang menciptakan melalui waktu, dan berubah mengikut perjalanan waktu itu. Inilah hakikat tapak teori yang amat dasar.”[1]

Sastra sesungguhnya bukan sekadar sebuah teks yang mandiri —yang diyakini kaum strukturalis sebagai teks yang otonom dan terbebas dari latar belakang sejarah dan sosio-budaya—tetapi sebuah pewartaan tekstual yang di dalamnya melekat ruh budaya, spirit sang sastrawan—penyair dalam memaknai dunia persekitarannya, dan dalam menatap latar depan yang menjadi harapan idealnya. Teks sastra (Nusantara) lahir dari dalam rahim konteks kenusantaraan yang membedakannya dari teks sastra lain yang berasal dari negeri lain, bangsa lain, kebudayaan lain. Oleh karena itu, harus ada tafsir dan analisis mengenai konteks budaya, sejarah, sosiologis, atau bahkan psikologi berdasarkan alam pikiran yang lahir, tumbuh, dan berkembang dalam diri masyarakat Nusantara sendiri.[2]

Begitulah, sastra Nusantara adalah lanskap yang penuh warna-warni. Keberagaman dan heterogenitasnya adalah sebuah keniscayaan yang menunjukkan keberbedaan dan kekayaannya sekaligus. Meski bahasa Indonesia digunakan sebagai medium yang sama, penyair Bali dan Madura tetaplah akan menunjukkan kekhasannya masing-masing; penyair Melayu, Minang, Palembang, dan Aceh atau Jawa—Sunda, meski berjarak begitu dekat, tetaplah akan memperlihatkan karakteristiknya yang berakar pada kultur etnik.[3]

Keniscayaan heterogenitas etnis itulah yang tidak boleh diabaikan manakala kita membincangkan sastra (: puisi) Nusantara. Maka, untuk memahami ruh dan ideologi puisi Nusantara, tidak dapat lain, kita mesti bergerak dari fondasinya; dari dasarnya, seperti diingatkan Muhammad Haji Salleh, menuju puncak; menuju mahkota. “Bahagian bawah perlu dikuasai sebanyak mungkin karyanya, pemikiran pengarangnya, masyarakat dan bahasanya, sebelum kita harus memikirkan untuk membina dan menulis suatu teori.” [4] Itulah jalan yang benar yang dirintis Muhammad Haji Salleh dalam proses panjang bertungkus lumus menghasilkan karya fenomenalnya, Puitika Sastera Melayu (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2000). Meski yang dilakukan penyair intelektual ini terfokus pada sastra Melayu, langkah itu justru menempatkan khazanah negeri sendiri sebagai basis, dasar, fondasi, dan titik berangkat. Dengan begitu, pemahaman kita jadi lebih sesuai dan punya cantelan pada tradisi masa lalu, pada potret masyarakat zamannya, dan pada kebudayaan yang tentu saja sangat mempengaruhi muatan teks itu. Di sinilah, masa lalu bukan harus dikubur semati-matinya sebagaimana dikatakan Sutan Takdir Alisjahbana, melainkan pelengkap untuk memahami perjalanan dan perkembangannya sekarang. Bukankah sejarah mengajari kita untuk memperbaiki kesalahan, memahami latar belakang kondisi sekarang, dan sebagai titik berangkat menuju latar depan?

Gerbang Utama

Nusantara adalah wilayah yang dihuni oleh masyarakat terbuka. Sikap inklusivisme itulah yang menyebabkan bangsa asing mana pun yang datang ke wilayah Nusantara akan diterima tanpa syakwasangka dan rasa curiga. Maka, kedatangan para gujarat India yang membawa Hinduisme dan Buddhisme, disambut tanpa peperangan, tanpa resistensi. Adanya kesamaan sikap dalam memandang penguasa jagat raya dan perlakuan terhadap alam, memungkinkan Hinduisme dan Buddhisme tumbuh subur, bahkan dianggap memperkaya kehidupan mitos dan religi masyarakat di wilayah Nusantara. Inilah gelombang pertama pertumbuhan kebudayaan Indonesia.

Gelombang kedua terjadi ketika Islam diperkenalkan dan disebarkan dengan cara yang begitu luwes, toleran, dan akomodatif. Baju dan asesoris Hinduisme dan Buddhisme dimanfaatkan untuk kepentingan penyebaran Islam. Akibatnya, meski Islam menyebar ke seantero wilayah Nusantara, jejak Hindu, Buddha, anismisme dan kultur dan kepercayaan lokal tetap hidup berkelindan dengan etika dan peribadatan Islam. Jadilah kebudayaan Islam—Indonesia penuh warna-warni yang berbeda dengan tradisi Islam di negeri asalnya.[5]

Masuknya bangsa Barat dengan Belanda yang paling lama memainkan peranannya, mulai menggoncangkan tata nilai yang semula mengalir begitu saja. Tambahan lagi, Belanda dengan segala inferioritasnya sebagai bangsa yang di Eropa tak dipandang sebelah mata lantaran negerinya yang kecil dan popularitasnya sebagai bangsa pecundang, harus pandai-pandai menjaga citranya sebagai bangsa superior dan berbudaya. Terjadilah serangkaian manipulasi melalui politik pembelandaan, pendidikan, agama, kebudayaan, dan … sastra![6]

Pintu Masuk

Dari pintu manakah kita masuk untuk coba menelusuri rimba raya puisi Nusantara dan coba memahami ruh dan ideologinya? [7] Jika saja bahasa Sunda atau Jawa yang terpilih sebagai bahasa Indonesia, 28 Oktober 1928, tentu penelusuran bahasa dan sastra Indonesia akan sampai merambat ke tradisi kebudayaan Sunda atau Jawa. Tetapi, sejarah sudah menentukan lain. Latar belakang sejarah, fakta kebahasaan, dan harapan bagi bangsa Indonesia di masa depan, telah membawa nasib bahasa Melayu (Riau) yang diangkat sebagai bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia seketika berfungsi sebagai bahasa persatuan bagi segenap masyarakat berbagai etnik di wilayah Indonesia. Oleh karena itu, penelusuran tentang perkara sastra (: puisi) Nusantara, pertama-tama dan terutama, tidak bisa lain, meski melangkah ke sumbernya:  bahasa Melayu dengan sejarahnya yang panjang sebagai lingua franca, dengan penyebarannya yang begitu luas menerabas batas teritorial politik kenegaraan, dan dengan tradisi kesusastraan yang dalam perkembangannya yang menjadi terkotak-kotak lantaran Traktat London dan diberlakukannya politik kolonial Belanda (di kepulauan Indonesia) dan Inggris (di Semenanjung Melayu).

Meskipun begitu, bagi Indonesia ada pula persoalan lain yang berkaitan dengan Melayu sebagai etnis dalam berhadapan dengan etnis lain. Bukankah Melayu sebagai etnis dalam konteks keindonesiaan, punya posisi yang sama dengan etnis lain yang bertebaran di kepulauan Nusantara? Bukankah konsep Nusantara itu juga tidak identik dengan Indonesia? Pertanyaannya kini: apa yang dimaksud dengan ruh dan ideologi (puisi) Nusantara? Jika yang dimaksud itu adalah kesusastraan yang berakar pada bahasa Melayu, bagaimana pula dengan posisi kesusastraan Indonesia yang berada dalam kepungan tradisi dan budaya etnik?

Mesti disadari, penempatan sastra Indonesia sebagai sastra nasional, sesungguhnya bersifat hegemonik.[8] Seperti juga klaim tentang kebudayaan nasional sebagai puncak-puncak kebudayaan daerah, tanpa disadari rumusan itu menafikan kebudayaan daerah yang tidak (atau belum) mencapai puncak. Siapa pula yang berhak menentukan kebudayaan daerah yang berada di puncak dan yang tidak berada di puncak? Bukankah cara pandang itu juga bersifat diskriminatif, seolah-olah kebudayaan daerah (etnik) yang tidak berada di puncak sebagai bukan kebudayaan (nasional) Indonesia?

Klaim sastra Indonesia (nasional) dan sastra etnik (daerah), pada awalnya berkaitan dengan semangat hendak meneguhkan jatidiri bangsa (Indonesia) dalam usahanya mengobarkan semangat nasionalisme. Di sana, dalam posisi sastra Indonesia sebagai sastra nasional, meski syaratnya sekadar menggunakan bahasa Indonesia, implikasinya menciptakan dikotomi: sastra Indonesia dan bukan sastra Indonesia yang dijerumuskan sebagai sastra daerah, sastra etnik, sastra tradisional, atau sastra lama sebagaimana yang ditegaskan Sutan Takdir Alisjahbana. Dalam kaitannya dengan dikotomi sastra (nasional) Indonesia dan sastra daerah (etnik, tradisional, lama), duduk perkaranya akan lebih jelas jika kita coba menelusuri ke belakang, ke sejarah yang diwariskan oleh cara pandang Nederlando sentris.[9]
***

Itulah pintu kita memasuki problem dasar yang terjadi dalam kesusastraan (termasuk di dalamnya puisi) Indonesia. Mari kita periksa!
Mengawali langkah ini, saya memulai dengan mengutip dua bait pantun berikut ini:

Pisang emas dibawa berlayar
Masak sebiji di atas peti
Hutang emas boleh dibayar
Hutang budi dibawa mati
Kalau ada sumur di ladang
Bolehlah kita menumpang mandi
Kalau ada umur yang panjang
Bolehlah kita berjumpa lagi

Salah satu ciri khas yang menandai pantun [10] adalah adanya dua larik pertama yang disebut sampiran atau pembayang (Pisang emas dibawa berlayar/Masak sebiji di atas peti; Kalau ada sumur di ladang/ Bolehlah kita menumpang mandi), dan dua larik kedua yang disebut isi (Hutang emas boleh dibayar/Hutang budi dibawa mati; Kalau ada umur yang panjang/ Bolehlah kita berjumpa lagi). Itulah sebabnya, persajakan dalam pantun disebut sebagai a-b-a-b. Hubungan sampiran dan isi, secara semantis sering kali terkesan tidak ada hubungannya. Perhatikan saja, adakah kaitan antara Pisang emas dibawa berlayar dengan Hutang emas boleh dibayar atau Kalau ada sumur di ladang dengan Kalau ada umur yang panjang? Demikian juga, bagaimana kita menjelaskan hubungan antara Masak sebiji di atas peti dengan Hutang budi dibawa mati atau Bolehlah kita menumpang mandi dengan Bolehlah kita berjumpa lagi? Sebagai sebuah nasihat untuk menekankan hutang emas boleh dibayar/hutang budi dibawa mati atau Kalau ada umur yang panjang/ Bolehlah kita berjumpa lagi, boleh saja orang beranggapan bahwa hubungan antara sampiran dan isi lebih merupakan anasir psikologis. Orang akan lebih menerima sebuah nasihat atau sindiran jika lebih dahulu diawali pembayang (sampiran). Itulah salah satu alasan, bahwa antara sampiran dan isi sesungguhnya ada kaitannya.

Sekarang perhatikan dua bait syair yang dikutip dari Syair Bidasari:

Dengarlah suatu riwayat
Raja di desa negeri Kembayat
Dikarang fakir dijadikan hikayat
Dibuatkan syair serta berniat

Adalah raja sebuah negeri
Sultan Agus bijak bestari
Asalnya bagianda raja yang bahari
Melimpahkan pada dagang berperi

Jelas di sini, dalam syair tak ada sampiran, begitu juga persajakannya: a-a-a-a yang berbeda dengan pantun. Sekarang coba perhatikan beberapa bait gurindam yang dikutip dari Pasal Kesepuluh dan Kesebelas, Gurindam Dua Belas, karya Raja Ali Haji berikut ini:

Pasal Kesepuluh:                                         Pasal Kesebelas:

Dengan bapa jangan durhaka                          Hendaklah berjasa
Supaya Allah tidak murka                              Kepada yang sebangsa.
Dengan ibu hendaklah hormat                        Hendaklah jadi kepala
Supaya badan dapat selamat                         Buang perangai yang cela.
Dengan anak janganlah alpa                         Hendaklah memegang amanat
Supaya malu jangan menimpa            Buanglah khianat.
Dengan kawan hendaklah adil                        Hendaklah mulai
Supaya tangan jadi kepil                              Jangan melalui.

Bandingkanlah pantun, syair dan gurindam tadi dengan puisi “Permintaan”[11] dan “Tanah Air” karya Muhammad Yamin, puisi “Beranta Indera” karya Mohammad Hatta,[12] “Bukan Beta Bejak Berperi” karya Rustam Effendi, dan dua puisi S Yudho, berikut ini:

PERMINTAAN
Muhammad Yamin

Mendengarku ombak pada hampirku
Debar-mendebar kiri dan kanan
Mendengarkan lagu penuh santunan
Terbitlah rindu ke tempat lahirku

Sebelah Timur pada pinggirku
Dilipuri langit berawan-awan
Kelihatan pulau penuh keheranan
Itulah gerangan tanah airku

Di mana laut debur-mendebur
Serta mendesir tiba di pasir
Di sanalah jiwaku, mulai tertabur

Di mana ombak sembur-menyembur
Membasahi Barisan sebelah pesisir
Di sanalah hendaknya, aku berkubur


TANAH AIR 
Muhammad Yamin

Pada batasan, bukit Barisan,
Memandang aku, ke bawah memandang;
Tampaklah hutan rimba dan ngarai;
Lagipun sawah, sungai yang permai:
Serta gerangan, lihatlah pula,
Langit yang hijau bertukar warna
Oleh pucuk, daun kelapa;
Itulah tanah, tanah airku
Sumatra namanya, tumpah darahku.

Sesayup mata, hutan semata,
Bergunung bukit, lembah sedikit;
Jauh di sana, di sebelah situ,
Dipagari gunung satu persatu
Adalah gerangan sebuah surga,
Bukannya janat bumi kedua
-Firdaus Melayu, di atas dunia!
Itulah tanah yang kusayangi,
Sumatra namanya, yang kujunjungi.

Pada batasan, bukit Barisan,
Memandang ke pantai, teluk permai;
Tampaklah air, air segala,
Itulah laut, samudra Hindia.
Tampaklah ombak, gelombang pelbagai
Memecah ke pasir, lalu berderai,
Ia memekik, berandai-randai:
“Wahai Andalas, pulau Sumatra,
“Harumkan nama, selatan utara!

Bogor, Juli 1920


BERANTA INDERA
Mohammad Hatta

Lihatlah timur indah berwarna
Fajar menyingsing hari pun siang
Syamsu memancarkan sinar yang terang
Khayalan tersenyum berpunca indera

Angin sepoi bertiup dari angkasa
Merembus ke tanah, ranting diguncang
Margasatwa melompat ke luar sarang
Melihat beranta [13] indera indah semata

Langit lazuardi teranglah sudah
Bintang pun hilang berganti-ganti

Cahaya Zoehari mulai muram

Hewan menerima selawat alam
Hati pun girang tiada terperi
Melihat kekayaan Subhan Allah


BUKAN BETA BIJAK BERPERI [14]
Rustam Effendi

Bukan beta bijak berperi
Pandai menggubah madahan syair
Bukan beta budak Negeri
Mesti menurut undangan mair

Sarat syaraf saya mungkiri
Untai rangkaian seloka lama
Beta buang beta singkiri
Sebab laguku menurut sukma

Susah sungguh saya sampaikan
Degup-degupan di dalam kalbu
Lemah laun lagu dengungan
Matnya digamat rasaian waktu

Sering saya susah sesaat
Sebab madahan tidak na’datang
Sering saya sulit menekat
Sebab terkurung lukisan mamang

Bukan beta bijak berlagu
Dapat melemah bingakain pantun
Bukan beta berbuat baru
Hanya mendengar bisikan alun.


FADJAR[15]
S. Yudho

Di Timur sinar kejora memancar
Kemerlip bintang bagaikan disebar
Fajarlah mulai.

Gilang gemilang awang dipandang
Kabut meliput berarak melayang
Menarik hati.

Angin sayup meniup dingin terasa
Menyegar badan, menderita lara
Di alam berseri.

Di sawah padi mengalun diayun
Sepoi, mengerosok rimbun di kebun
Di saat sepi.

Kutinjau embun di daun berkilau
Bak nilam di sinar surya menyilau
Di pagi hari.

Mendengar aku peladang berlagu
Menuju ke sawah cangkul dibahu
Bersenang hati.

Berkicau murai menyambut matari
Penawar fajar tanda pagi hari
Lama kunanti


AKH, PUSPA …..! [16]
S. Yudho

Bagai seroja
Kenangan beta
Tunduk merokok
Di senja sejuk
Pagi menanti
Si matahari
Semerbak mekar
Karena sinar.

Memeluk dagu
Hati merayu
Teringat kasih
Mengapa sedih
O jiwa! beta
Merasa papa
Melihat kembang
Jauh dipandang.

Pertanyaannya kini: apa yang membedakan pantun, syair, gurindam dengan puisi-puisi para penyair Indonesia itu? Bukankah dalam puisi-puisi itu, pola pantun, syair, dan gurindam, masih dapat kita telusuri jejaknya? Bahkan, puisi Rustam Effendi yang dikatakan Sutan Takdir Alisjahbana dan Armijn Pane sebagai puisi baru yang mengubur model puisi lama, sesungguhnya merupakan bentuk pantun dengan isi yang lain. Demikian juga, jika dikatakan puisi lama terikat oleh berbagai aturan, soneta karya Muhammad Yamin dan Mohammad Hatta juga mengikuti aturan tertentu?

Dalam sejumlah besar esainya yang dimuat majalah Poedjangga Baroe, Sutan Takdir Alisjahbana [17] dan Armijn Pane dengan tegas menyebut puisi-puisi Pujangga [18] Baru telah menenggelamkan puisi-puisi lama. Meski begitu, jika dicermati benar, sesungguhnya –sejauh pengamatan— para penyair Pujangga Baru itu pun belum sepenuhnya terbebas dari pengaruh pantun, syair, dan gurindam. Lalu mengapa harus ada pembedaan antara puisi lama dan puisi baru jika prosesnya masih kuat memperlihatkan jejak kesusastraan sebelumnya?

Dikotomi puisi Indonesia lama dan baru itu, lalu berkembang menjadi puisi (sastra) tradisional dan modern. Maka, ketika sejumlah pengamat sastra Indonesia [19] menelusuri sejarah sastra Indonesia, tiba-tiba saja titimangsa kesusastraan Indonesia dimulai dari zaman Balai Pustaka sebagai kesusastraan Indonesia modern dan kesuastraan zaman sebelumnya serta-merta dikatakan sebagai sastra tradisional.  Jika secara tegas dikatakan, bahwa akar dan asal bahasa Indonesia adalah bahasa Melayu, maka mestinya akar dan dasar sastra Indonesia juga bersumber dari sana, yaitu kesusastraan Melayu. Dengan demikian, perjalanan kesusastraan Indonesia bersumber dari sana, karena kenyataannya memang begitu.

Akhirnya

Pertanyaan berikutnya: bagaimana dengan puisi Nusantara? Jika konsep Nusantara mewadahi sastra etnik, maka konsep sastra Nusantara juga di dalamnya termasuk sastra etnik. Kenyataannya, sejak awal kesusastraan Indonesia adalah kesusastraan etnik yang ditulis atau yang menggunakan medium bahasa Indonesia. Pemakaian bahasa Indonesia itulah yang membedakan sastra Indonesia dan sastra etnik atau sastra Nusantara. Dengan demikian, dikotomi sastra Indonesia modern (baru) dan sastra Indonesia tradisional (lama), sesungguhnya telah menafikan ruh dan ideologi yang mengeram di sana.

Tambahan lagi, kajian (kritik sastra) tentang sastra (puisi, prosa, drama) Indonesia dalam beberapa dekade ini berkutat pada strukturalisme. Maka, sudah dapat diduga, analisisnya tidak akan jauh dari persoalan intrinsik. Teks sastra dibongkar berdasarkan strukturnya, dan tidak menyentuh persoalan yang melatarbelakangi dan pesan yang melatardepaninya. Jadi, jika hendak melacak dan menelusuri ruh dan ideologi yang mengeram dalam sastra (: puisi) Nusantara, pelajari dahulu kebudayaan dan masyarakat yang melahirkannya. Kiranya begitu, semoga begitu!
***

Mkl/msm/ppn/16/7/2011
[Makalah Pertemuan Penyair Nusantara diselenggarakan Dewan Kesenian Sumatera Selatan, Palembang, 16—18 Juli 2011]

* Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Depok. Kini bertugas sebagai Dosen Tamu di Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea.

[1] Muhammad Haji Salleh, “Mencari Sebuah Teori Sastera Melayu,” Permata di Rumput, Gilang Sastera sebagai Ruang Bangsa, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2008, hlm. 399.
[2] Armijn Pane menegaskan: “Seorang hamba seni hidoep dalam masjarakat, djadi seorang achli masjarakat itoe. Ia adalah anak kepada masjarakat itoe, ia adalah gambaran dari pada masjarakat itoe.” (“Kesoesasteraan Baroe” dimuat secara bersambung dalam Poedjangga Baroe, No. 1—5, Th. I, Djoeli—November  1933). Atau, seperti dikatakan Rene Wellek dan Austin Warren (Teori Kesusastraan, terj. Melani Budianta (Jakarta: Gramedia, 1995, hlm. 109—110), sastra sering dianggap sebagai potret sosial yang mengungkapkan semangat zamannya. “Sastra adalah ungkapan perasaan masyarakat” (literature is an expression of society”).
[3] Periksa Maman S Mahayana, “Keindonesiaan Identitas Indonesia,” Kompas, Minggu, 26 Februari 1995, dimuat dalam blog: mahayana-mahadewa.com.
[4] Muhammad Haji Salleh, Op. Cit.
[5] Dalam mencermati kecenderungan sastrawan Indonesia Angkatan 70-an, Abdul Hadi WM mencatat, bahwa … sumber dan akar tradisi, khususnya tradisi masyarakat Nusantara ialah agama beserta sistem kepercayaan, peribadatan, dan bentuk-bentuk spiritualitas. Kebudayaan Indonesia tradisional, … tak dapat dipisahkan dari sejarah perkembangan agama-agama besar, terutama Islam (Abdul Hadi WM, Kembali ke Akar, Kembali ke Sumber (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999, hlm. 13). Bandingkan dengan pernyataan Amir Hamzah dalam artikelnya yang berjudul “Kesoesasteraan” (Poedjangga Baroe, No. 12, Th. II, Juni 1934) berikut ini:
Kesusastraan Indonesia ini banyak dipengaruhi oleh kesusastraan tanah luar, tanah yang hampir dengan kepulauan Indonesia. Tambahan pula tanah yang mengelilingi Indonesia ini kaya dalam ilmu sastra.
Dalam pergaulan antara dua bangsa itu berpinjam-pinjaman kebudayaanlah mereka. Juga oleh jalan memeluk agama mereka yang datang itu maka diambil anak bumiputralah akan kebudayaan dan kesusastraan mereka, seperti kesusastraan dan kebudayaan Hindu, Buddha, dan Islam.”
[6] Pembelandaan (westernisasi) dilakukan hanya pada golongan priayi. Legitimasinya dilakukan melalui pemberlakuan stratifikasi sosial dengan bangsa Belanda dan Kulit Putih berada paling atas dan golongan pribumi berada paling rendah di bawah bangsa Asia Timur. Dalam bidang pendidikan, pelaksanaan Politik Etis dengan pendirian sekolah-sekolah untuk pribumi hanya terjadi di daerah-daerah perkebunan. Tujuannya untuk mencetak pekerja pribumi yang serba sedikit bisa berbahasa Belanda. Dalam bidang agama, kristenisasi dilakukan dengan sokongan dana dari kerajaan Belanda. Berbeda dengan proses Hindunisasi atau Islamisasi yang disampaikan dengan tetap menjaga toleransi, Kristenisasi yang dilakukan Belanda cenderung didasari semangat permusuhan. Maka, di banyak daerah di Nusantara, terjadi resistensi dan perlawanan. Penyebutan Belanda sebagai kafir sesungguhnya merupakan bentuk perlawanan itu. Dalam bidang kebudayaan, Belanda sengaja membangun citra bangsanya sebagai mesias di satu pihak, dan menciptakan stigma bagi pribumi sebagai bangsa terbelakang dan belum berbudaya. Lalu, bagaimana dengan bidang sastra? Bagian inilah yang nanti akan dibincangkan lebih jauh.
[7] Judul yang ditawarkan Panitia tidak disertai keterangan tentang konsep puisi Nusantara; apakah yang dimaksud Nusantara itu wilayah kawasan Asean, dunia Melayu atau wilayah Indonesia? Juga tidak ada keterangan tentang konsep ruh yang dimaksud. Apakah akar, sumber, inspirasi, pengaruh, atau semuanya itu. Hal yang sama juga terjadi pada konsep ideologi. Apakah yang dimaksud ideologi di sana sebagai pesan tematik, spirit kultural, teologis, sosiologis, atau politis?
[8] Bersifat hegemonik sebenarnya sebagai konsekuensi penempatan bahasa Indonesia berada di atas semua bahasa daerah. Hal itu juga sesuai dengan butir ketiga pernyataan Sumpah Pemuda: “menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.”
[9] Nederlando sentris adalah cara pandang kolonial (Belanda) dalam membangun sejarah. Mengingat sejarah disusun berdasarkan kepentingan kolonial, maka peristiwa apa pun yang digunakan sebagai objeknya, selalu akan memperlihatkan kepentingan kolonial. Sebutlah, misalnya, peristiwa pendirian Balai Pustaka (1908; 1917) yang seolah-olah bertugas hendak menyediakan bahan bacaan (yang baik) bagi pribumi. Sesungguhnya, di belakang itu, ada tujuan politik, yaitu untuk menangkal pengaruh bacaan yang diterbitkan oleh tokoh-tokoh pergerakan; dan sebalik itu, membangun citra Belanda sebagai dewa penyelamat (mesias) dan sekaligus menciptakan stigma negatif terhadap Islam dan golongan tua konservatif.
[10] Saya kutip pernyataan R.O. Winstedt tentang pantun: “orang asing yang belum mengenal pantun, boleh dikatakan orang itu belum mengenal rohani dan jalan pikiran orang Melayu yang sebenar.” (Harun Aminurrashid, Kajian Puisi Melayu, Singapore: Pustaka Melayu, 1960, hlm. 4)
[11] Dimuat Jong Sumatera, Februari—Maret 1920.
[12] Dimuat Jong Sumatera, November 1921. Dikutip dari ulasan Armijn Pane.
[13] Armijn Pane memberi catatan tentang kata beranta sebagai berikut: semacam perahu besar; beranta indera, maksudnya langit (Armijn Pane, “Kesoesasteraan Baroe” Poedjangga Baroe, No. 4, Th. I, Oktober 1933, hlm. 112—119.
[14] Pertjikan Permenungan, Djakarta: Poestaka Ra’jat, 1934.
[15] Poedjangga Baroe, No. 8, Th. II, Februari 1934, hlm. 232.
[16] Poedjangga Baroe, No. 10, Th. II, April 1934, hlm. 298.
[17] Periksa Pengantar Sutan Takdir Alisjahbana dalam Puisi Lama, Djakarta: Pustaka Rakjat, 1961; cetakan pertama, 1948. Bandingkan dengan pengantarnya pada dalam Puisi Baru, Jakarta: Dian Rakyat, 1979; Cetakan Pertama, 1946.
[18] Penamaan Pujangga, menurut Sutan Takdir Alisjahbana, untuk membedakannya dengan bujangga (sastrawan keraton, Jawa) dan penulis syair atau pantun. Bagi Alisjahbana, pujangga baru adalah penulis (sastrawan) baru yang menyuarakan sukma, kalbu, jiwa yang dinamis, sedangkan pujangga lama segalanya dibelenggu oleh suasana yang statis yang tidak menunjukkan spirit untuk maju dan berkembang. Kini, penulis puisi (yang baik) dikatakan juga sebagai penyair yang sebenarnya bermakna penulis syair.
[19] Hampir semua penulis sejarah sastra Indonesia membuat garis tegas antara sastra Indonesia tradisional dan sastra Indonesia modern. Maka pernyataan Ajip Rosidi tentang kapankah kesusastraan Indonesia lahir, menegaskan garis pemisah, seolah-olah sastra Indonesia lahir tanpa proses. Tiga buku Amin Sweeney tentang Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi menjelaskan hubungan perjalanan sastra Melayu menuju sastra Indonesia. Kelalaian para penulis buku sejarah sastra Indonesia itu—termasuk A Teeuw dan H.B. Jassin—terutama disebabkan lantaran penelusurannya dimulai pada zaman Balai Pustaka (1908; 1917), dan tidak coba melacak jauh ke belakang, ke khazanah sastra yang dimuat berbagai majalah dan suratkabar yang terbit akhir abad ke-17. Akibatnya, dalam pengajaran sastra di sekolah, bahkan dalam perbincangan tentang sejarah sastra (Indonesia) dikotomi tradisional—modern itu masih saja terjadi.
***
_____________________
*) Maman S. Mahayana, lahir di Cirebon, Jawa Barat, 18 Agustus 1957. Dia salah satu penerima Tanda Kehormatan Satyalancana Karya Satya dari Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono (2005). Menyelesaikan pendidikannya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FS UI) tahun 1986, dan sejak itu mengajar di almamaternya yang kini menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB-UI). Tahun 1997 selesai Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Pernah tinggal lama di Seoul, dan menjadi pengajar di Department of Malay-Indonesian Studies, Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan. Selain mengajar, banyak melakukan penelitian. Beberapa hasil penelitiannya antara lain, “Inventarisasi Ungkapan-Ungkapan Bahasa Indonesia” (LPUI, 1993), “Pencatatan dan Inventarisasi Naskah-Naskah Cirebon” (Anggota Tim Peneliti, LPUI, 1994), dan “Majalah Wanita Awal Abad XX (1908-1928)” (LPUI, 2000).
http://sastra-indonesia.com/2011/09/ruh-dan-ideologi-puisi-nusantara/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

20 Tahun Kebangkitan Sastra-Teater Lamongan A Jalal A. Anzieb A. Khoirul Anam A. Mustofa Bisri A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja Abdoel Moeis Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdullah Abubakar Batarfie Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Achdiat K. Mihardja Achiar M Permana Adek Alwi Adhi Pandoyo Adib Baroya Aditya Ardi N Adri Sandra Adu Pesona Sang Wakil Cawapres RI Afrizal Malna Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Buchori Agus Dermawan T. Agus Mulyadi Agus Prasmono Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahmad Farid Yahya Ahmad Hasan MS Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Saifullah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alawi Al-Bantani Alfatihatus Sholihatunnisa Alfian Dippahatang Ali Audah Alim Bakhtiar Amie Williams Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amril Taufik Gobel An. Ismanto Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 AndongBuku #3 Andrea Hirata Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Antologi Sastra Lamongan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Arafat Nur Ardi Wina Saputra Ardy Suryantoko Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arman A.Z. Arsyad Indradi Asarpin Ashimuddin Musa Asrul Sani Astuti Ananta Toer Atafras Audifax Awalludin GD Mualif Ayu Nuzul Azizah Hefni B Kunto Wibisono Bahrul Amsal Bambang Kempling Beni Setia Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bloomberg Bre Redana Budaya Budi Darma Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Candra Adikara Irawan Candrakirana Cangaan Ujungpangkah Gresik Jawa Timur Capres Cawapres 2019 Catatan Ceramah Cerpen Chairil Anwar Chicilia Risca CNN Indonesia Coronavirus COVID-19 D. Zawawi Imron Damiri Mahmud Darju Prasetya Darman Moenir Deddy Arsya Denny JA Denny Mizhar Devy Kurnia Alamsyah Dhoni Zustiyantoro Dian Sukarno Didin Tulus Dien Makmur Din Saja Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Donny Anggoro Donny Darmawan Dr. Hilma Rosyida Ahmad Dwi Cipta Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dyah Ayu Fitriana Ecep Heryadi Edy Suprayitno Eka Budianta Eka Kurniawan Elok Dyah Messwati Engkos Kosnadi Erdogan Erwin Setia Esai Esti Nuryani Kasam Evan Ys F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Fahrur Rozi Faidil Akbar Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathul Qorib Fatkhul Anas Feby Indirani Felix K. Nesi Festival Teater Religi Festival Teater Religi Pelajar SLTA Se-kabupaten Lamongan Fira Basuki Forum Santri Nasional (FSN) Frischa Aswarini Fuad Mardhatillah UY Tiba Fuad Nawawi Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gde Artawan Geger Riyanto Geguritan Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Guenter Grass Gus Ahmad Syauqi Gus tf Gusti Eka Habib Bahar bin Smith Haiku Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Han Gagas Hary B Koriun Hasan Basri Hasnan Bachtiar Heri Ruslan Herman Hesse Hertha Mueller Heru Kurniawan Hestri Hurustyanti Holy Adib Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu I Made Prabaswara I Made Sujaya IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah) Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Iksaka Banu Imam Jazuli Imam Nawawi Imammuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Mahadi Indra Tjahyadi Irfan Afifi Irine Rakhmawati Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS J.S. Badudu Jadid Al Farisy Jajang R Kawentar Jawa Timur Jean Marie Gustave le Clezio JJ. Kusni Jl Raya Simo Sungelebak Jo Batara Surya John H. McGlynn Jordaidan Rizsyah Jual Buku Paket Hemat Juara 3 Lomba Lompat Jauh DISPORA LAMONGAN Jurnalisme Sastrawi K.H. Ma'ruf Amin Kadek Suartaya Kaheesa Kirania Putri Ayu Kahfie Nazaruddin Kalis Mardiasih Kamaluddin Ramdhan Kanti W. Janis Karanggeneng Kardono Setyorakhmadi Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Pantura (KBP) KetemuBuku Jombang KH. M. Najib Muhammad KH. Muhammad Amin (1910-1949) Khairul Mufid Jr Khawas Auskarni Khoirul Abidin Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kitab Arbain Nawawi Kodrat Setiawan Kompas TV Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra dan Teater Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) Kopuisi Kostela Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kurnia Effendi Kuswaidi Syafi’ie L Ridwan Muljosudarmo L.K. Ara Lamongan Lan Fang Lawi Ibung Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Literasi Liza Wahyuninto Lukas Luwarso Lukisan Lukman Lukman Santoso Az Lutfi Mardiansyah M Farid W Makkulau M. Faizi M.D. Atmaja Madrasah Aliyah Matholi'ul Anwar Madrasah Ibtida’iyah Thoriqotul Hidayah 1 Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S Mahayana Manado Manneke Budiman Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mario F. Lawi Marsel Robot Martin Aleida Marwanto Mashuri Massayu Masuki M. Astro Masyhudi Media Seputar Pendidikan Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Purnama di Kampung Halaman Mereka yang Menjerat Gus Dur MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mien Uno Moh. Dzunnurrain Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Rafi Azzamy Mohammad Rokib Mohammad Yamin Muafiqul Khalid MD Much. Khoiri Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alfatih Suryadilaga Muhammad Antakusuma Muhammad Fikry Mauludy Muhammad Hafil Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad N. Hassan Muhammad Subarkah Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Muhyiddin Mukadi Mukani Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Musa Ismail Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang E S Nara Ahirullah Naskah Teater Nezar Patria Noor H. Dee Nunus Supardi Nur Haryanto Nur Wachid Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Okky Madasari Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Pameran Lukisan Parimono V / 40 Plandi Jombang PC. Lesbumi NU Babat PDS HB Jassin Pelukis Dahlan Kong Pelukis Tarmuzie Penculikan Aktivis 1988 Pendidikan Pengajian Pengarang kelahiran Lamongan Pentigraf Pepaosan Perbincangan Peringatan Hari Pahlawan 10 November Pilang Tejoasri Laren Lamongan Jawa Timur Pipiet Senja Politik Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Jokowi Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi (PMK) Puji Santosa Pustaka LaBRAK PUstaka puJAngga R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Reuni dan Halal Bihalal Mts Putra-Putri Simo 1992 Ribut Wijoto Riki Antoni Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Robin Al Kautsar Rodli TL Roland Barthes Rosi Rosihan Anwar RR Miranda Rumah Budaya Pantura (RBP) S. Jai S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabrank Suparno Safitri Ningrum Sainul Hermawan Sajak Salman Aristo Sandiaga Uno Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Sastra Tasikmalaya (SST) Sarasehan dan Launching Buku Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Kuno Suku Sasak Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Satu Jam Sastra Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seni Gumira Ajidarma Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Pendidikan Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sirdjanul Ghufron Siwi Dwi Saputro Slamet Rahardjo Rais Soediro Satoto Soekarno Soeparno S. Adhy Soesilo Toer Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Handi Lestari Sri Wintala Achmad STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sujatmiko Sukarno Suminto A. Sayuti Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahrudin Attar Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Sylvianita Widyawati Tangguh Pitoyo Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teater nDrinDinG Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tias Tatanka Timur Sinar Suprabana Titi Aoska Tiyasa Jati Pramono Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Toni Masdiono Tri Broto Wibisono TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Jember Universitas Negeri Jember Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyu Aji Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Wiji Thukul Wildan Nugraha Wildana Wargadinata Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yerusalem Ibu Kota Palestina Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Herwibowo Yuditeha Yusri Fajar Yuval Noah Harari Zainal Arifin Thoha Zainuddin Sugendal Zara Zettira ZR Zehan Zareez Zuhdi Swt