KH Ahmad Dahlan, Pendiri Persyarikatan Muhammadiyah
Mh Zaelani Tammaka *
Suatu hari pada awal 1923, Kiai Dahlan menyampaikan pidato kurang-lebih 30 menit dalam rapat tahunan organisasi Muhammadiyah. Ketika itu, kondisi Sang Kiai sudah sakit-sakitan. Dan, ternyata, pidato tersebut adalah sebuah "wasiat" karena merupakan pidato terakhirnya sebelum wafat pada 23 Februari 1923.
Dialah KH Ahmad Dahlan -pendiri Persyarikatan Muhammadiyah pada 18 November 1912-yang pada November ini genap berusia 107 tahun. Apa pesan terakhir Kiai Dahlan? Dalam salah satu transkripnya, yang dipublikasikan oleh HB Muhammadiyah Majelis Taman Pustaka pada 1923, dia antara lain berujar, "Manusia seluruhnya harus bersatu hati, karena: 1. Meskipun manusia memiliki kebangsaan yang berbeda-beda, sesungguhnya nenek moyang mereka adalah satu, yaitu Nabi Adam dan Hawa. Jadi sesungguhnya seluruh manusia itu satu darah daging. 2. Agar supaya dengan bersatu hati manusia dapat hidup senang secara bersama di dunia" (Mulkan, 1990).
Apa yang dilontarkan oleh Kiai Dahlan tersebut bisa dikatakan sebagai "deklarasi kemanusiaan universal". Pada era gagasan persatuan se-Nusantara masih terdengar sayup-sayup, Kiai Dahlan sudah berpikir visioner, melampaui batas-batas, tidak hanya etnis (suku), tapi juga kebangsaan secara luas, sebuah visi tentang kesatuan manusia sedunia.
Semua manusia bersaudara, kata Kiai Dahlan, dan itu tentu saja tak peduli ras, warna kulit, kebangsaan, suku, dan keyakinan. Semua manusia harus "bersatu hati" untuk bisa hidup bersama di dunia ini dengan penuh kebahagiaan.
Pernyataan ini terlontar jauh sebelum Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dicetuskan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 10 November 1948. Dan, kala itu entitas Indonesia masih dalam bentuk "embrional" serta secara teritorial dalam cengkeraman penjajahan Hindia Belanda.
Apa yang bisa dipetik dari hikmah pemikiran "kemanusiaan universal" Kiai Dahlan? Hal ini berkaitan dengan perjuangan beliau. Ahmad Dahlan ingin mengangkat derajat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling mulia, sebaik-baiknya makhluk. Namun kedudukan sebagai "makhluk yang paling mulia" tersebut bisa jatuh, bahkan menjadi sehina-hinanya jika manusia gagal mempertahankan kemuliaannya sebagai makhluk.
Salah satu ciri kemuliaan manusia tersebut adalah manusia sebagai makhluk berakal, berbudi pekerti. Dengan bekal akal-budi tersebut, manusia menjadi wakil Tuhan di muka bumi, menjadi khalifah-Nya. Dengan tugas kekhalifahan tersebut, manusia membangun peradaban. Untuk apa? Tentu saja untuk kemaslahatan bersama, kesejahteraan di muka bumi. Inilah yang dikatakan Kiai Dahlan agar manusia "bersatu hati", mau hidup bersama dengan senang di dunia ini.
Dengan akal, manusia memuliakan dirinya. Maka manusia harus kritis. Berpikir kritis merupakan pertanda orang menggunakan akalnya. Munculnya gagasan pembebasan manusia dari "TBC" (taklid, bid’ah, dan churafat) sebenarnya sebagai wujud dari penghormatan manusia yang berakal tersebut. Tentu salah besar jika gagasan "anti-TBC" tersebut disebut sebagai sikap anti-tradisi dan anti-budaya lokal.
Bahkan, kalau dilihat dari segi historisnya, Muhammadiyah justru sejak awal berdiri sangat apresiatif terhadap budaya lokal, dalam hal ini Jawa. Bung Hatta pernah mengatakan tidak mungkin Muhammadiyah melepaskan diri dari budaya Jawa, sebagaimana telah dibuktikan dari hasil riset Ahmad Najib Burhani yang kemudian dibukukan menjadi Muhammadiyah Jawa (2016).
Mengapa pembebasan manusia dari "TBC" justru disebut sebagai upaya memuliakan manusia? Cornelis Anthonie van Peursen (1970)-ahli filsafat kelahiran Leiden-membagi tingkatan kebudayaan manusia dalam tiga tahap: mitis, epistemologis, dan fungsional. Hal ini dihubungkan dengan keterkaitan manusia dengan alam.
Tahap kebudayaan paling rendah adalah manusia tidak berjarak dengan alam, bahkan manusia menjadi obyeknya alam. Manusia tidak berdaya terhadap alam. Inilah yang disebut tahapan mitis. Karena tidak berdaya terhadap alam, akhirnya muncullah mitos tentang alam. Inilah sumber khurafat, takhayul, bid’ah, dan sejenisnya.
Tahap berikutnya, manusia mampu berjarak dengan alam. Inilah yang disebut dengan tahapan ilmu (epistemologis), manusia membaca gejala-gejala alam dalam perspektif ilmu pengetahuan.
Tahap tertinggi dari tingkat kebudayaan adalah fungsional. Manusia tidak hanya mampu berjarak dengan alam, tapi juga memanfaatkannya demi kemaslahatan umat. Perintah Islam perihal manusia sebagai wakil Tuhan di muka bumi, yang bertugas mengolah alam ini untuk kesejahteraan manusia, yang muncul 14 abad silam, tentu sejalan dengan tahapan fungsional ini.
Sesuatu menjadi fungsional kalau diamalkan. Karena itu, Kiai Dahlan selalu menyerukan pentingnya ilmu dikonversi menjadi amal. Dalam hal ini, Kiai Dahlan berpesan: "Berboeat dan bekerdja itoe lebih baik dan lebih penting dari berbicara."
22 Nov 2019
*) Dosen Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka Jakarta.
https://kolom.tempo.co/read/1275146/pesan-kemanusiaan-kiai-dahlan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar