Sigit Susanto
Penerbit Indie memang kreatif, tak hanya pada kemasan dan jurus marketingnya, namun juga siasat memburu naskah. Salah satu penerbit Indie itu Tulus Pustaka yang didirikan oleh Didin Tulus.
Suatu saat. Usep Hamzah teman asal Cianjur yang bermukim di Swiss memberitahu aku, kalau ayahnya pernah dipenjara oleh pemerintah Soeharto. Aku tersentak mendengarnya, karena selama ini temanku itu tak pernah bercerita.
Aku mulai mendengarkan ceritanya lebih detil. Berceritalah awal mula ayahnya yang belajar di sekolah untuk calon guru itu terpikat kegiatan anak muda yang berhaluan kiri. Rupanya kegiatan sang ayah dipantau dan ketika ia bersiaga menjadi guru, dijebloskan ke penjara. Alih-alih ia mengajar murid di kelas, malah mendekam di penjara. Pupus sudah impiannya menjadi guru, hingga keluar dari tahanan ia merantau ke Sumatra dan bekerja di perkebunan swasta.
Setelah mendengar cerita temanku itu, aku mendorongnya, supaya kisah sang ayah ditulis dan dibukukan. Kendala pertama, ayahnya tak biasa menulis dengan mesin ketik atau komputer. Aku sedikit berpikir, bagaimana caranya mengudar kisah petaka itu ke dalam tulisan. Aku usulkan, supaya sang ayah menuliskan kisahnya dengan tulis tangan saja.
Seiring sang ayah menuliskan kisahnya dengan tulisan tangan, aku mulai berhitung; antara mencari tukang ketik, supaya naskahnya bisa diterbitkan dalam bentuk buku atau aku mencari penerbit yang bersedia menerbitkan naskah tulis tangan.
Tulus Pustaka menjadi pilihannya. Aku kontak Didin, sekiranya bisa menerbitkan buku dari naskah tulis tangan. Didin dengan ringan tangan menyanggupi. Ploong!
Sejalan dengan waktu, naskah tersebut selesai ditulis dan aku kirim ke Didin. Ketika aku masih memikirkan, langkah berikutnya, Didin mengirim kabar, naskah tulis tangan itu ia berikan ke mahasiswa untuk diketik.
Dalam hati kubayangkan, Didin ini punya sense of social and motivator juga, buktinya naskah tulis tangan itu tidak diketik sendiri, melainkan dikasihkan mahasiswa dan tentu saja mahasiswa membutuhkan dana.
Buku itu diberi judul: Kertas Terakhir Seorang Guru Merah. Diam-diam aku berpikir, asyik juga ya di zaman kini seperti di zaman dulu, penerbit menerbitkan naskah tulis tangan.
Buku itu dibedah di Ultimus, Bandung dan beberapa di antaranya dibagikan secara gratis serta dijual di beberapa acara kaum diaspora di Swiss.
Penerbitnya Didin ini aku anggap spesial. Kukira masih jarang penerbit Indie yang sanggup menerbitkan naskah tulis tangan.
Di Swiss aku dan kawan-kawan perantau baik yang boro kawin maupun yang study di sini mendirikan komunitas Indonesia Swiss Club (ISC). Salah satu acara rutinnya, nongkrong di kafe-kafe perpustakaan Zürich atau di kafetaria kampus ETH Zürich, kadang juga di rumah warga Indonesia.
Setiap tongkrongan harus ada salah satu teman yang bersedia berbicara tema yang paling aktual di tanah air, seorang mencatat untuk diunggah di Blog dan teman lain bertanya.
Usia ISC yang mencapai 8 tahun (2009-2017) itu tak terasa sudah punya catatan Bincang Santai namanya di blog sekitar 50 tulisan.
Menyadari Tulus Pustaka sangat fleksibel, aku minta Didin untuk unduh semua tulisan di blog ISC untuk dijadikan buku.
Lagi-lagi tulisan di Blog itu akhirnya menjadi buku dengan judul: Sepotong Indonesia di Negeri Alpen. Buku itu kami berikan ke beberapa perpustakaan di Indonesia dan tentu saja dibawa ke Swiss untuk dijual di acara diaspora Indonesia, termasuk dijual di depan loket pengurusan visa/perpanjangan paspor KBRI di Bern.
Begitulah dua kisah naskah menjadi buku tanpa kerumitan yang berarti lewat penerbit Tulus Pustaka.
Didin Tulus kini sedang dipolisikan karena komentarnya di facebook temannya, semoga lekas usai, sehingga naskah-naskah tulis tangan dari yang lain bisa diterbitkan menjadi buku.
Zug, 01.10.2020
http://sastra-indonesia.com/2020/10/tulus-pustaka-terbitkan-naskah-tulis-tangan-dan-blog/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar