Senin, 14 September 2020

Di Tepi Rawi Dan Dasi di Tengah Bidang Dinding

 

Peresensi: Abroorza A. Yusra *
Judul: Di Tepi Rawi
Penerbit: Kentja Press
Cetakan: 2020
vi + 72 hlm. 12 x 18 cm
insidepontianak.com
 
Sebuah ruangan biasanya diisi oleh benda-benda yang memiliki nilai fungsi. Lampu untuk menghadirkan penerangan. Ventilasi untuk sirkulasi udara. Jendela untuk sirkulasi cahaya dan udara yang lebih banyak –sekaligus penghubung pandang dengan dunia luar. Meja dan bangku untuk meletakkan kopi dan pantat.

Kita mungkin pernah menginap di sebuah hotel. Tiba di kamar, segera lepas alas kaki, melompat ke kasur, lalu tidur. Kita melakukannya karena kita yakin “ini adalah kamar hotel, diperuntukkan bagi tamu menginap selama apa pun sejauh dia sanggup membayar sewanya. Keyakinan kita ditopang fakta bahwa benda-benda yang berada di dalam kamar hotel tersebut memang benda-benda kamar hotel. Tidak ada keraguan bahwa itu kamar hotel, bukan kamar cuci foto atau kamar mayat.

Bayangkan seandainya tiba-tiba ada sebuah dasi nemplok di dinding, tepat di hadapan kita di kamar hotel itu. Dasi yang biasanya untuk dipakai di baju, tiba-tiba saja ada di dinding.

Sekiranya benda yang menempel di dinding itu itu sebuah lukisan dan bukan dasi, maka kita bisa berasumsi bahwa lukisan tersebut berfungsi untuk mempercantik interior ruangan. Tetapi, benda itu adalah dasi! Terpampang begitu saja di salah satu bagian dinding. Tanpa ada padanan lain di sekitarnya, misalnya kemeja dan celana panjang katun. Dasi tok.

Karena yang ada di sana, di dinding itu, adalah dasi, benda yang tidak wajar untuk sebuah kamar hotel, logika berpikir kita lantas diuji. Kita menjadi tidak bisa menerima keseluruhan konsep ruang hotel sebagai ruangan untuk menginap belaka. Boleh jadi kita akan bertanya, “untuk apa itu?”, “konsep kamar hotel ini bagaimana sih?”, “itu dasi bisa dipakai ndak?”, “ada orang lain di sini?”, “benarkah benda itu ada?” atau bahkan, “jangan-jangan ada hantu di sini”. Lalu kita lupa untuk beristriahat karena adanya benda tersebut.

Karena dasi itu, kesadaran kita terhadap sebuah ruangan menjadi lebih terbangkitkan.  

Seperti itulah kiranya kumpulan puisi Di Tepi Rawi karya Lutfi Mardiansyah. Hadir bagai sebuah dasi di ruang yang selama ini telah kita yakini sebagai sebuah konsep diri kita.

Kumpulan puisi yang terdiri dari 50 puisi ini sebagian besar merupakan puisi intertekstual: karya yang membutuhkan pembacaan terhadap karya lain lagi. Misalnya, pada puisi Es –adegan untuk Jose Arcadio Buendia. Tertulis di dua bait terakhir,
………

“Aku tahu ini,” gumamnya,
“metafora bagi trah Buendia.”

Manakala menyebut benda
yang menjeramah dingin itu
sebagai ‘penemuan terbesar
zaman ini,’ sebenarnya ia
hendak berkata, “Aku telah
menemukan sunyi.”

(hal 49)

Tak susah menebaknya bahwa puisi itu bereferensikan novel One Hundred Years of Solitude karya Gabriel Marquez. Sebuah novel masterpiece yang menjadi bacaan wajib pecinta sastra. Adegan kaum gipsy membawa sebongkah es untuk dipertontonkan ke khalayak ramai merupakan salah satu adegan penting di dalam novel ini.

Selain di adegan tersebut, kata “Es” juga berada di kalimat pembuka novel: “Bertahun-tahun kemudian, saat ia menghadapi sederet regu tembak, Kolonel Aureliano Buendia teringat sore yang jauh itu ketika ayahnya membawa dia untuk melihat es.”

Karena puisi Es ini muncul pertanyaan-pertanyaan di dalam benak saya. Buat apa Lutfi menuangkannya ke dalam puisi? Apakah Lutfi sedang berusaha menawarkan interpretasi baru tentang novel tersebut? Buat apa ia melakukannya sementara analisis terhadap novel itu sudah sangat buuaanyak? Bukankah sebaiknya ia menulis puisi untuk karya-karya yang belum dikenal khalayak, sehingga setidaknya puisinya punya manfaat sebagai penghubung ke karya lain yang belum dikenal itu?

Sejauh yang bisa saya terka, Lutfi berusaha mereka ulang “Es” di dalam One Hundred Years of Solitude ke dalam puisinya. “Es” bisa dimaknai sebagai sebuah simbol kemajuan zaman, penemuan besar, sekaligus lambang kesunyian.

Tetapi saya tidak yakin terkaan saya adalah barang baru. Barangkali sudah ada yang menginterpretasikannya demikian. Novel itu adalah novel yang terbit tahun 1967 dan sebuah masterpiece! Sudah barang pasti tidak luput dari kajian-kajian kesusastraan secara ilmiah ataupun tidak.

Puisi-puisi yang lain Di Tepi Rawi juga merujuk pada karya-karya (bukan hanya karya sastra) yang sudah ada. Antara lain, “Di Via Cappelo: kepada Shakespeare”, “Kucing Hitam : kepada Edgar Allan Poe”, “Kepada Ibnu Shakir”, “Di Terrace Café : kepada Vincent van Gogh”, “Don Quixote : kepada Cervantes”.

Maka, semakin saya bertanya-tanya. Maksudnya apa sih si Lutfi ini? Apa mau pamer bacaan?

Saya lantas berusaha membuat analisis lagi. Di Tepi Rawi tampaknya “memuisikan” karya-karya yang mengandung nilai-nilai tertentu sehingga punya relevansi dengan nilai-nilai yang ada saat ini dan nilai-nilai itu mestilah bersifat universal. Pilihan karya rujukan Lutfi tidak terbatas pada satu wilayah. Ada Shakespeare dari Eropa, Gabriel Marquez dari Amerika Latin, atau Ibnu Syakir dari Mesir. Seluruh penjuru dunia sepertinya ia coba jamah.

Tapi jujur saja, saya tidak yakin dengan analisis saya.

Beruntung, Di Tepi Rawi juga memuat karya-karya yang tidak membebani pembaca dengan rujukan bacaan lain. Lewat puisi-puisi model semacam itu, saya, kurang lebih mendapat sedikit pencerahan. Puisi terakhir di Di Tepi Rawi bisa dianggap sebagai lubang kunci. Judul puisinya, Di Atas Sebuah Puisi. Saya tulis tiga baris terakhir puisi tersebut:

….
Biarkan bahasaku
biarkan senyap
di atas gramatikal
yang kekal.

Jemari-jiwaku yang kalis
biarkan tersirap

di atas puisi yang mati
dalam bahasa yang senyap.

(Hal 66)

Kata “Mati”, “Senyap”, “Puisi”, “Bahasa”, “Tersirap”, diterakan sebanyak tiga kali dalam puisi tersebut, seolah memang diperhitungkan sedemikian rupa. Jelas, kata-kata tersebut memiliki kaitan satu sama lain, yang bukan sekadar menjalin larik puisi, namun juga makna. Makna apa yang kira-kira bisa didapat dari adanya kata-kata itu?

Makna yang anda bayangkan dan saya bayangkan mungkin berbeda. Yang jelas, Di Tepi Rawi tidak sedang bermaksud hanya memaksa kita untuk bernostalgia dengan buku-buku seperti One Hundred Years of Solitude atau Don Quixote. Terlalu dangkal jika Di Tepi Rawi bertujuan demikian semata.

Di Atas Sebuah Puisi menyiratkan sesuatu: setiap puisi Di Tepi Rawi, apakah puisi tersebut “merujuk” atau “tidak merujuk” suatu karya atau seseorang, berpagut antara satu sama lain. Melebur. “Jemari-jiwaku yang kalis/biarkan tersirap” ke dalam “puisi yang mati/dalam bahasa yang senyap”.

“Puisi yang mati dalam bahasa yang senyap”, saya duga, inilah titik temu semua puisi dalam Di Tepi Rawi. Ia bagai sebuah dasi di dinding kamar hotel yang diam dan senyap, namun bagaimanapun, ia ada dan hadir.

Barangkali akan berguna bila kita mengambilnya, lalu melilitkannya di kerah kemeja. Atau diperhatikan sambil mengira-ngira, apakah benda itu memiliki nilai kecocokan seni dengan konsep interior ruangan atau tidak. Atau justru diabaikan saja menggantung di dinding, anggap tak ada. Pilihan ada pada diri masing-masing.
***

*) Abroorza A. Yusra, seorang penulis, penggiat literasi, dan pendukung konservasi lingkungan. Kelahiran 1987. Bermukim di Singkawang, Kalimantan Barat. https://insidepontianak.com/2020/06/07/di-tepi-rawi-dan-dasi-di-tengah-bidang-dinding/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

20 Tahun Kebangkitan Sastra-Teater Lamongan A Jalal A. Anzieb A. Khoirul Anam A. Mustofa Bisri A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja Abdoel Moeis Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdullah Abubakar Batarfie Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Achdiat K. Mihardja Achiar M Permana Adek Alwi Adhi Pandoyo Adib Baroya Aditya Ardi N Adri Sandra Adu Pesona Sang Wakil Cawapres RI Afrizal Malna Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Buchori Agus Dermawan T. Agus Mulyadi Agus Prasmono Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahmad Farid Yahya Ahmad Hasan MS Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Saifullah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alawi Al-Bantani Alfatihatus Sholihatunnisa Alfian Dippahatang Ali Audah Alim Bakhtiar Amie Williams Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amril Taufik Gobel An. Ismanto Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 AndongBuku #3 Andrea Hirata Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Antologi Sastra Lamongan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Arafat Nur Ardi Wina Saputra Ardy Suryantoko Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arman A.Z. Arsyad Indradi Asarpin Ashimuddin Musa Asrul Sani Astuti Ananta Toer Atafras Audifax Awalludin GD Mualif Ayu Nuzul Azizah Hefni B Kunto Wibisono Bahrul Amsal Bambang Kempling Beni Setia Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bloomberg Bre Redana Budaya Budi Darma Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Candra Adikara Irawan Candrakirana Cangaan Ujungpangkah Gresik Jawa Timur Capres Cawapres 2019 Catatan Ceramah Cerpen Chairil Anwar Chicilia Risca CNN Indonesia Coronavirus COVID-19 D. Zawawi Imron Damiri Mahmud Darju Prasetya Darman Moenir Deddy Arsya Denny JA Denny Mizhar Devy Kurnia Alamsyah Dhoni Zustiyantoro Dian Sukarno Didin Tulus Dien Makmur Din Saja Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Donny Anggoro Donny Darmawan Dr. Hilma Rosyida Ahmad Dwi Cipta Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dyah Ayu Fitriana Ecep Heryadi Edy Suprayitno Eka Budianta Eka Kurniawan Elok Dyah Messwati Engkos Kosnadi Erdogan Erwin Setia Esai Esti Nuryani Kasam Evan Ys F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Fahrur Rozi Faidil Akbar Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathul Qorib Fatkhul Anas Feby Indirani Felix K. Nesi Festival Teater Religi Festival Teater Religi Pelajar SLTA Se-kabupaten Lamongan Fira Basuki Forum Santri Nasional (FSN) Frischa Aswarini Fuad Mardhatillah UY Tiba Fuad Nawawi Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gde Artawan Geger Riyanto Geguritan Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Guenter Grass Gus Ahmad Syauqi Gus tf Gusti Eka Habib Bahar bin Smith Haiku Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Han Gagas Hary B Koriun Hasan Basri Hasnan Bachtiar Heri Ruslan Herman Hesse Hertha Mueller Heru Kurniawan Hestri Hurustyanti Holy Adib Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu I Made Prabaswara I Made Sujaya IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah) Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Iksaka Banu Imam Jazuli Imam Nawawi Imammuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Mahadi Indra Tjahyadi Irfan Afifi Irine Rakhmawati Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS J.S. Badudu Jadid Al Farisy Jajang R Kawentar Jawa Timur Jean Marie Gustave le Clezio JJ. Kusni Jl Raya Simo Sungelebak Jo Batara Surya John H. McGlynn Jordaidan Rizsyah Jual Buku Paket Hemat Juara 3 Lomba Lompat Jauh DISPORA LAMONGAN Jurnalisme Sastrawi K.H. Ma'ruf Amin Kadek Suartaya Kaheesa Kirania Putri Ayu Kahfie Nazaruddin Kalis Mardiasih Kamaluddin Ramdhan Kanti W. Janis Karanggeneng Kardono Setyorakhmadi Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Pantura (KBP) KetemuBuku Jombang KH. M. Najib Muhammad KH. Muhammad Amin (1910-1949) Khairul Mufid Jr Khawas Auskarni Khoirul Abidin Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kitab Arbain Nawawi Kodrat Setiawan Kompas TV Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra dan Teater Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) Kopuisi Kostela Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kurnia Effendi Kuswaidi Syafi’ie L Ridwan Muljosudarmo L.K. Ara Lamongan Lan Fang Lawi Ibung Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Literasi Liza Wahyuninto Lukas Luwarso Lukisan Lukman Lukman Santoso Az Lutfi Mardiansyah M Farid W Makkulau M. Faizi M.D. Atmaja Madrasah Aliyah Matholi'ul Anwar Madrasah Ibtida’iyah Thoriqotul Hidayah 1 Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S Mahayana Manado Manneke Budiman Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mario F. Lawi Marsel Robot Martin Aleida Marwanto Mashuri Massayu Masuki M. Astro Masyhudi Media Seputar Pendidikan Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Purnama di Kampung Halaman Mereka yang Menjerat Gus Dur MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mien Uno Moh. Dzunnurrain Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Rafi Azzamy Mohammad Rokib Mohammad Yamin Muafiqul Khalid MD Much. Khoiri Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alfatih Suryadilaga Muhammad Antakusuma Muhammad Fikry Mauludy Muhammad Hafil Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad N. Hassan Muhammad Subarkah Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Muhyiddin Mukadi Mukani Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Musa Ismail Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang E S Nara Ahirullah Naskah Teater Nezar Patria Noor H. Dee Nunus Supardi Nur Haryanto Nur Wachid Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Okky Madasari Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Pameran Lukisan Parimono V / 40 Plandi Jombang PC. Lesbumi NU Babat PDS HB Jassin Pelukis Dahlan Kong Pelukis Tarmuzie Penculikan Aktivis 1988 Pendidikan Pengajian Pengarang kelahiran Lamongan Pentigraf Pepaosan Perbincangan Peringatan Hari Pahlawan 10 November Pilang Tejoasri Laren Lamongan Jawa Timur Pipiet Senja Politik Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Jokowi Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi (PMK) Puji Santosa Pustaka LaBRAK PUstaka puJAngga R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Reuni dan Halal Bihalal Mts Putra-Putri Simo 1992 Ribut Wijoto Riki Antoni Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Robin Al Kautsar Rodli TL Roland Barthes Rosi Rosihan Anwar RR Miranda Rumah Budaya Pantura (RBP) S. Jai S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabrank Suparno Safitri Ningrum Sainul Hermawan Sajak Salman Aristo Sandiaga Uno Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Sastra Tasikmalaya (SST) Sarasehan dan Launching Buku Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Kuno Suku Sasak Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Satu Jam Sastra Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seni Gumira Ajidarma Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Pendidikan Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sirdjanul Ghufron Siwi Dwi Saputro Slamet Rahardjo Rais Soediro Satoto Soekarno Soeparno S. Adhy Soesilo Toer Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Handi Lestari Sri Wintala Achmad STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sujatmiko Sukarno Suminto A. Sayuti Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahrudin Attar Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Sylvianita Widyawati Tangguh Pitoyo Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teater nDrinDinG Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tias Tatanka Timur Sinar Suprabana Titi Aoska Tiyasa Jati Pramono Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Toni Masdiono Tri Broto Wibisono TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Jember Universitas Negeri Jember Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyu Aji Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Wiji Thukul Wildan Nugraha Wildana Wargadinata Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yerusalem Ibu Kota Palestina Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Herwibowo Yuditeha Yusri Fajar Yuval Noah Harari Zainal Arifin Thoha Zainuddin Sugendal Zara Zettira ZR Zehan Zareez Zuhdi Swt