Senin, 31 Agustus 2020

Inlanderisasi dalam Sastra Indonesia (1) *

Hudan Hidayat **

Keju dan roti, senjata api dan organisasi, adalah benda dan cara hidup yang dibawa kolonialisme, puak manusia yang telah mendayakan akalnya atas alam, dan bertopang atas daya itu, mendiktekan kemauannya pada anak jajahan. Puak yang ditempa oleh alam yang ganas, sampai tata pikir dan hidup, seolah hanya urusan mengalahkan alam. Bukan bingkai manusia yang bekerja-sama dengan alam. Maka penaklukkan atas manusia, adalah terusan dari penaklukkannya atas alam.

Tapi kolonialisme itu, juga adalah suara yang terbelah, dari masyarakat yang tengah, dan terus, mencari jati-dirinya. Dimana hak azazi manusia bersahutan dengan kepentingan pribadi -- bangsa. Agaknya, begitulah kebudayaan dan peradaban bergerak maju: unit manusia, dimana jiwa dan lakunya, pecah dalam kebaikan dan kebusukannya.

Dalam kasus Indonesia, 'rasionalitas' kolonialisme ini, dilawan oleh 'rasionalitas' yang terserak, oleh kekuatan yang belum tampil dalam tata pikir, tata laku, yang menasional. Inilah masa perlawanan fisik oleh orang-orang seperti Pangeran Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol, dan sekalian pahlawan kedaerahan itu.

Tapi saatnya tiba, ketika tata pikir bangkit, dan mewujud. Dimana sekelompok elite yang terpelajar mengimajinasikan kehidupan bersama, sebagai sebuah komunitas yang diikat oleh kesadaran manusia modern. Dan elite ini menggalang kebhinekaan, menuangkannya ke dalam sumpah, ikatan yang kelak, ternyata, ikut mengilhami revolusi.

Begitulah 'Sumpah' itu dapat dibaca sebagai revolusi mental pertama: masyarakat Indonesia, meski berbeda-beda, adalah kesatuan dalam bingkai bertanah-air, berbangsa, dan berbahasa. Indonesia adalah suatu simpul, atau kesadaran yang berbeda tapi menyimpul, dalam penamaan Indonesia itu. Dan rentang waktu 1928 ke 1945, adalah sebuah masa dimana rasionalitas yang bangkit dan menyatukan, atau berusaha menyatukan: Sumpah Kaum Muda itu, mestilah mewujud ke dalam Kemerdekaan Kaum Indonesia. Tidak cukup mengatakan kita adalah bangsa Indonesia, tetapi kita adalah bangsa Indonesia yang harus menjadi, atau masuk ke dalam, tata organisasi modern.

Bila kita amati, teks Sumpah Pemuda yang disebut Sutardji Calzoum Bachri sebagai Puisi Besar itu, adalah pokok pikiran yang netral. Ia belum berkehendak akan kemerdekaan. Ia baru menyatakan, kita adalah bangsa Indonesia, dengan tanah air dan bahasa yang satu. Kalaulah ada kemerdekaan, atau hasrat untuk kemerdekaan, maka semua itu kemungkinan tafsir, bahwa Sumpah Pemuda, di dalam ceruknya, menghendaki Indonesia yang merdeka. Ternyata, 'hasrat' yang tersembunyi ini, membutuhkan 17 tahun untuk mencapai bentuknya yang sempurna. Barulah setelah itu, bangsa Indonesia benar-benar menandaskan isi jiwanya.

'Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia...' adalah sebuah pikiran yang ingin terbebas, atau membebaskan diri, dari bangsa lain, sebagaimana bangsa di dunia membebaskan dirinya.

Jadi kemerdekaan di sini, parameternya adalah bangsa lain. Tapi dasar Proklamasi ini, bertolak dari, dan atas nama, Tuhan sang pemilik alam. Maka Proklamasi itu, adalah tahapan lain dari Sumpah Pemuda. Titik tumpu politiknya, adalah lepas dari bangsa lain. Filosofinya, kemerdekaan adalah karena sang pemilik bumi adalah Tuhan, bukan manusia, atau raja. Maka sebagai sesama mahluk Tuhan, segala penjajahan harus lenyap, karena tidak sesuai dengan citra ketuhanan.

Makna kemerdekaan dan kebebasan, adalah mandiri menentukan hidup sendiri. Bukan 'mengikatkan' diri pada orang lain. Kemerdekaan, kebebasan, adalah kemampuan melepaskan diri, atau menandingi, jejak pemikiran 'dunia'. Ia mampu mencari sumber orientasi sendiri. Mengambilnya langsung dari semesta. Gurunya bukan orang lain, tapi semesta. Semesta yang memantulkan 'orang lain'. Semesta ini pulalah 'guru' orang Barat pertama, saat mereka masih berkutat dengan filsafat alam.

Jadi kalau pun ia bersentuhan dengan orang lain, maka sentuhan itu ada dalam bingkai kesejajaran. Bingkai saling memproduksi. Bukan menunggu produksi orang lalu meramaikannya. Sehingga kita sibuk berdebat tentang pikiran orang, bukan pikiran sendiri. Dengan ringkas, kemerdekaan, kebebasan, adalah kemampuan memproduksi isu: kita yang menentukan wacana, bukan orang lain. Sepanjang wacana ditentukan oleh orang lain, atau bersandar pada orang lain, maka sepanjang itu pulalah kita belum beroleh kebebasaan dan kematangan. Menjadi bangsa yang takluk.

Demikian juga dengan produksi benda dan jasa, arah orientasi 'ilmu pertumbuhan'. Kemerdekaan berarti mental yang siap untuk tidak mengikuti logika pertumbuhan orang. Ia bisa menyetop 'ilmu pertumbuhan' orang, manakala dirinya merasa belum siap. Ia dapat hidup prihatin, mengajarkan pada masyarakat untuk mengolah alamnya, memenuhi kebutuhannya dari alamnya. Dengan mencari ilmu yang menganak tehnologi yang cocok untuk dirinya.

Dengan jalan pikiran seperti itu, maka terlihatlah sejarah pemikiran sastra dan budaya kita, adalah sejarah yang kalah. Sebab, kemerdekaan yang telah, dan sedang, direnggut itu, oleh Angkatan 45 diserahkan kembali kepada 'dunia': 'Kami adalah ahli waris kebudayaan dunia...'(bahan Angkatan 45 dan Pujangga Baru diambil dari buku Ulrich Kratz, Sejarah Sastra Indonesia Abad 20). 'Penyerahan kemerdekaan' kembali ini, dapat dibaca sebagai neo-kolonialisme pertama.

Dengan 'ahli waris', mereka mengakui 'dunia' itu, yang pernah mengkoloni mereka, sebagai pusat. Dan tentu, tak ada lagi 'pusat' lain selain 'dunia' itu. Pikiran, antitesa, terhadap 'dunia', belum lagi beroleh ruang. Walau kemerdekaan telah di tangan, kemerdekaan itu haruslah dalam bingkai 'dunia', meski, dalam tubuh Surat Kepercayaan Gelanggang itu, mereka mengakui, 'Kebudayaan dunia itu akan kami teruskan dengan cara kami sendiri'. Tapi tetap: sumber orientasinya adalah 'dunia': 'Kebudayaan Indonesia ditetapkan oleh kesatuan berbagai-bagai rangsang suara yang dilontarkan dari segala sudut dunia dan yang kemudian dilontarkan kembali dalam bentuk suara sendiri'.

Kita tahu, Angkatan Gelanggang, merumuskan peran untuk dirinya itu, dalam frame memperkuat situasi revolusi. Dimana kebudayaan haruslah tidak berdiam diri. Tapi turut memberi arti bagi arah dan perkembangan masyarakat. 'Kita hendak melepaskan diri kita dari susunan lama yang telah mengakibatkan masyarakat yang lapuk...', tetapi pelepasan, atau pemutusan, terhadap susunan lama itu, bukan demi mencari sumber penciptaan sendiri, tapi berpaling pada 'dunia' sebagai soko guru penciptaan.

Maka ironis: Angkatan yang mendabik diri, dan memuncak pada, citraan 'binatang jalang' yang ingin 'hidup seribu tahun' ini, ternyata demikian lembek tata jiwanya, dengan menyerahkan diri bulat-bulat pada 'dunia'. Sebab, dengan spirit sebagai ahli waris kebudayaan dunia, maka sense of Indonesia yang dilansir oleh pencetus Sumpah Pemuda, atau Proklamasi diri yang dengan tandas dilakukan Angkatan 45, menjadi pudar lagi, menjadi menghamba kembali. Belum timbul semangat untuk mencari jalan sendiri. Jiwa merdeka belum lagi mengambil bentuk kesempurnaannya. Jiwa merdeka masih diletakkan dalam bingkai 'dunia'.

Awal kekalahan, dan ketakberdayaan ini, sebenarnya sudah dimulai sejak orang-orang Pujangga Baru jatuh ke pelukan Barat, sambil meninggalkan bumi sendiri. Takdir, sebagai eksponen penting Pujangga Baru, seolah remaja puber, meski sudah diwarning keras oleh Sanusi Pane, tetap ngotot menjadikan Barat sebagai guru, sebagai sumber orientasi. 'Tetapi meski bagaimana sekalipun tidak enak bunyinya... kita harus belajar ke Barat, meski bagaimana sekalipun sedih hati kita memikirkan yang demikian, dalam hal ini rasanya kita tidak dapat memilih'. Jadi sebenarnya, ada perasaan takluk, yang dibungkus dalam semangat kekaguman.

Bandingkanlah kata-kata Takdir: 'Dalam hal ini rasanya kita tidak dapat memilih', serta seruannya 'Dan sekarang ini tiba waktunya kita mengarahkan mata kita ke Barat', dengan kalimat pertama Surat Kepercayaan Gelanggang: 'Kami adalah ahli waris sah dari kebudayaan dunia'. Keduanya berpaling, dan menjadikan Barat, sebagai sumber orientasi.

Jadi sebenarnya, dalam kedua Angkatan ini, sesungguhnya ada persambungan seolah guru dan murid, dalam soal ketakbebasan jiwanya, ketaksanggupan menemukan orientasinya sendiri. Dan dalam mencari orientasi itu, dapat dikatakan: Takdir kelebihan otak, sedang Chairil kelebihan hati.

**) Cerpenis dan pengamat sastra.

*) Republika.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

20 Tahun Kebangkitan Sastra-Teater Lamongan A Jalal A. Anzieb A. Khoirul Anam A. Mustofa Bisri A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja Abdoel Moeis Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdullah Abubakar Batarfie Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Achdiat K. Mihardja Achiar M Permana Adek Alwi Adhi Pandoyo Adib Baroya Aditya Ardi N Adri Sandra Adu Pesona Sang Wakil Cawapres RI Afrizal Malna Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Buchori Agus Dermawan T. Agus Mulyadi Agus Prasmono Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahmad Farid Yahya Ahmad Hasan MS Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Saifullah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alawi Al-Bantani Alfatihatus Sholihatunnisa Alfian Dippahatang Ali Audah Alim Bakhtiar Amie Williams Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amril Taufik Gobel An. Ismanto Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 AndongBuku #3 Andrea Hirata Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Antologi Sastra Lamongan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Arafat Nur Ardi Wina Saputra Ardy Suryantoko Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arman A.Z. Arsyad Indradi Asarpin Ashimuddin Musa Asrul Sani Astuti Ananta Toer Atafras Audifax Awalludin GD Mualif Ayu Nuzul Azizah Hefni B Kunto Wibisono Bahrul Amsal Bambang Kempling Beni Setia Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bloomberg Bre Redana Budaya Budi Darma Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Candra Adikara Irawan Candrakirana Cangaan Ujungpangkah Gresik Jawa Timur Capres Cawapres 2019 Catatan Ceramah Cerpen Chairil Anwar Chicilia Risca CNN Indonesia Coronavirus COVID-19 D. Zawawi Imron Damiri Mahmud Darju Prasetya Darman Moenir Deddy Arsya Denny JA Denny Mizhar Devy Kurnia Alamsyah Dhoni Zustiyantoro Dian Sukarno Didin Tulus Dien Makmur Din Saja Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Donny Anggoro Donny Darmawan Dr. Hilma Rosyida Ahmad Dwi Cipta Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dyah Ayu Fitriana Ecep Heryadi Edy Suprayitno Eka Budianta Eka Kurniawan Elok Dyah Messwati Engkos Kosnadi Erdogan Erwin Setia Esai Esti Nuryani Kasam Evan Ys F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Fahrur Rozi Faidil Akbar Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathul Qorib Fatkhul Anas Feby Indirani Felix K. Nesi Festival Teater Religi Festival Teater Religi Pelajar SLTA Se-kabupaten Lamongan Fira Basuki Forum Santri Nasional (FSN) Frischa Aswarini Fuad Mardhatillah UY Tiba Fuad Nawawi Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gde Artawan Geger Riyanto Geguritan Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Guenter Grass Gus Ahmad Syauqi Gus tf Gusti Eka Habib Bahar bin Smith Haiku Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Han Gagas Hary B Koriun Hasan Basri Hasnan Bachtiar Heri Ruslan Herman Hesse Hertha Mueller Heru Kurniawan Hestri Hurustyanti Holy Adib Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu I Made Prabaswara I Made Sujaya IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah) Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Iksaka Banu Imam Jazuli Imam Nawawi Imammuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Mahadi Indra Tjahyadi Irfan Afifi Irine Rakhmawati Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS J.S. Badudu Jadid Al Farisy Jajang R Kawentar Jawa Timur Jean Marie Gustave le Clezio JJ. Kusni Jl Raya Simo Sungelebak Jo Batara Surya John H. McGlynn Jordaidan Rizsyah Jual Buku Paket Hemat Juara 3 Lomba Lompat Jauh DISPORA LAMONGAN Jurnalisme Sastrawi K.H. Ma'ruf Amin Kadek Suartaya Kaheesa Kirania Putri Ayu Kahfie Nazaruddin Kalis Mardiasih Kamaluddin Ramdhan Kanti W. Janis Karanggeneng Kardono Setyorakhmadi Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Pantura (KBP) KetemuBuku Jombang KH. M. Najib Muhammad KH. Muhammad Amin (1910-1949) Khairul Mufid Jr Khawas Auskarni Khoirul Abidin Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kitab Arbain Nawawi Kodrat Setiawan Kompas TV Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra dan Teater Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) Kopuisi Kostela Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kurnia Effendi Kuswaidi Syafi’ie L Ridwan Muljosudarmo L.K. Ara Lamongan Lan Fang Lawi Ibung Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Literasi Liza Wahyuninto Lukas Luwarso Lukisan Lukman Lukman Santoso Az Lutfi Mardiansyah M Farid W Makkulau M. Faizi M.D. Atmaja Madrasah Aliyah Matholi'ul Anwar Madrasah Ibtida’iyah Thoriqotul Hidayah 1 Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S Mahayana Manado Manneke Budiman Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mario F. Lawi Marsel Robot Martin Aleida Marwanto Mashuri Massayu Masuki M. Astro Masyhudi Media Seputar Pendidikan Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Purnama di Kampung Halaman Mereka yang Menjerat Gus Dur MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mien Uno Moh. Dzunnurrain Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Rafi Azzamy Mohammad Rokib Mohammad Yamin Muafiqul Khalid MD Much. Khoiri Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alfatih Suryadilaga Muhammad Antakusuma Muhammad Fikry Mauludy Muhammad Hafil Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad N. Hassan Muhammad Subarkah Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Muhyiddin Mukadi Mukani Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Musa Ismail Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang E S Nara Ahirullah Naskah Teater Nezar Patria Noor H. Dee Nunus Supardi Nur Haryanto Nur Wachid Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Okky Madasari Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Pameran Lukisan Parimono V / 40 Plandi Jombang PC. Lesbumi NU Babat PDS HB Jassin Pelukis Dahlan Kong Pelukis Tarmuzie Penculikan Aktivis 1988 Pendidikan Pengajian Pengarang kelahiran Lamongan Pentigraf Pepaosan Perbincangan Peringatan Hari Pahlawan 10 November Pilang Tejoasri Laren Lamongan Jawa Timur Pipiet Senja Politik Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Jokowi Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi (PMK) Puji Santosa Pustaka LaBRAK PUstaka puJAngga R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Reuni dan Halal Bihalal Mts Putra-Putri Simo 1992 Ribut Wijoto Riki Antoni Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Robin Al Kautsar Rodli TL Roland Barthes Rosi Rosihan Anwar RR Miranda Rumah Budaya Pantura (RBP) S. Jai S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabrank Suparno Safitri Ningrum Sainul Hermawan Sajak Salman Aristo Sandiaga Uno Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Sastra Tasikmalaya (SST) Sarasehan dan Launching Buku Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Kuno Suku Sasak Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Satu Jam Sastra Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seni Gumira Ajidarma Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Pendidikan Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sirdjanul Ghufron Siwi Dwi Saputro Slamet Rahardjo Rais Soediro Satoto Soekarno Soeparno S. Adhy Soesilo Toer Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Handi Lestari Sri Wintala Achmad STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sujatmiko Sukarno Suminto A. Sayuti Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahrudin Attar Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Sylvianita Widyawati Tangguh Pitoyo Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teater nDrinDinG Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tias Tatanka Timur Sinar Suprabana Titi Aoska Tiyasa Jati Pramono Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Toni Masdiono Tri Broto Wibisono TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Jember Universitas Negeri Jember Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyu Aji Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Wiji Thukul Wildan Nugraha Wildana Wargadinata Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yerusalem Ibu Kota Palestina Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Herwibowo Yuditeha Yusri Fajar Yuval Noah Harari Zainal Arifin Thoha Zainuddin Sugendal Zara Zettira ZR Zehan Zareez Zuhdi Swt