Untuk membangun sebuah masyarakat yang sehat jiwa dan raga, dimulai dengan membuka pikiran masyaraatnya terhadap berbagai pengetahuan. Sebab dengan pengetahuan yang luas, seseorang cenderung memampukan dirinya untuk melihat segala peristiwa dan persoalan dengan berbagai sudut pandang. Cara pandang demikian cenderung membuat seseorang tidak mudah menghakimi, dan tidak mudah menganggap dirinya suci, bahkan sebaliknya, menganggap dirinya kian hari kian bodoh dan kecil. Dengan menempatkan diri pada titik kosong, kian mudah seseorang memasukkan pengetahuan baru; sebuah tindakkan menegakkan kekuatan kemanusiaan, sebagai bentuk tanggung jawab kehambaan pada Tuhan.
Dalam teori Lian Gie, untuk membangun masyarakat yang demikian, dibutuhkan pembiasaan minimal 4 hal. Semuanya mengacu pada nilai manfaat kemanusiaan universal yang terbebas dari keegoisan kepentingan diri dan kelompoknya. Pertama ialah terampil mendengar suara manfaat. Ceramah, lagu, puisi, berita dan seterusnya yang mengajarkan kemanfaatan. Kedua adalah terampil melihat penampakan yang manfaat. Melihat film, pertunjukkan drama, siaran TV, dan lain sebagainya yang meneteskan kemanfaatan. Berikutnya, adalah terampil bicara yang manfaat. Sekalipun itu sekedar dongeng untuk anak balita, jika mengajarkan penghormatan terhadap perbedaan, kejujuran, kerendah hatian, dapat pula menaikkan seorang Seto Mulyadi menjadi tokoh yang selalu dicari, melebihi seorang menteri. Seingat saya, sejak saya balita hingga sekarang ini, jika terjadi kasus anak yang menasional, beliaulah yang dicari. Akhirnya sampailah pada tahapan terampil membaca. Di sini tentulah bukan membaca kitab suci agama semata, tetapi semakin variatif bacaan seseorang, semakin ia memiliki persepktif penglihatan yang kaya, semakin cenderung menjadikan seseorang berhati nurani tajam; rendah hati dan merasa kecil.
Bahwa tingkatan peradaban masyarakat yang dianggap sempurna adalah peradaban yang terampil menjaga dokumentasi (khususnya tulisan), tentu itu menjadi salah satu yang semestinya kita idamkan. Akan tetapi sampai hari ini, bahkan budaya membaca pun kita masih dalam tahapan jauh dari terampil. Negara-negara yang sehat jiwa raga semacam Den Mark, Finlandia, Switzerland, New Zealand, Belanda dan seterusnya; yang lebih rasional dan toleran, yang lebih mementingkan keseimbangan kebahagiaan dan kemakmuran, bukan kategori negara-negara yang memuaskan ketamakan materi (capitalist) adalah mereka yang terampil dalam 4 kategori tersebut dan disempurnakan dengan ketrampilan mereka menjaga dokumentasi.
Jika semua kita diberikan Tuhan pikiran dan perasaan yang utuh, tentu dapatlah dimanfaatkan untuk memilih. Apakah kita mendukung dan bahkan mengambil tindakan untuk terampil minimal 4 tahapan di atas, atau sebaliknya, membiarkan masyarakat kita dihuni oleh para pribadi yang memiliki persepktif pandang yang sempit, lalu terbentuklah sebuah kelompok orang yang bersikap jumawa? Sementara, sudah menjadi suratan semesta, bahwa sikap jumawa pada akhirnya selalu mendatangkan malapetaka.
Yogyakarta, 24/11/2020
http://sastra-indonesia.com/2020/11/gemar-membaca-dan-menjadi-jumawa/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar