Sabtu, 21 November 2020

KEGELISAHAN TANDA HIDUP

Maman S. Mahayana *
 
Kegairahan hidup dan semangat yang meledak-ledak! Itulah kesan yang segera muncul ketika kita pertama kali dapat mengobrol dengan sosok Sitor Situmorang. Sebagai seorang Batak, ia sangat terbuka, lugas, dan gampang diajak bicara. Semalaman kita bisa dengan enteng berdiskusi, berdebat atau berbual-bual ke sana ke mari, jika ada topik pembicaraan yang diminatinya. Gaya dan sikapnya yang terkesan sangat egaliter itu, tidak jarang bakal menyeret kita pada pusaran masalah yang disodorkannya. Itulah sebabnya, mengobrol dan berdiskusi dengan seorang Sitor Situmorang, selalu memberi keasyikan dan pesona tersendiri. Jika tak berhati-hati, ia akan menghipnotis kita dengan masalah-masalah yang sebenarnya bukan masalah kita. Itu juga salah satu kepiawaiannya menyodorkan problem dirinya yang lalu digiring seolah-olah menjadi problem bersama.
 
Meskipun demikian, dalam hal tertentu atau jika ia punya masalah yang belum dapat diselesaikannya, Sitor juga terkesan seperti sengaja menyimpan misteri. Jika sudah begitu, sangat mungkin ia lebih suka memilih menyendiri, mengasingkan diri, menikmati sepi, atau asyik-masyuk dalam perjalanan kegelisahannya mencari. Itulah sosok pengelana yang terjerat oleh hasratnya yang tak pernah berhenti mencari. Dan ia akan terus melakukan itu dalam hiruk-pikuk keramaian atau dalam sepi yang membakarnya. Demikianlah, kesan yang samar-samar dapat kita tangkap dari sosok pribadi Sitor Situmorang, salah seorang penyair penting dan terkemuka di negeri ini.
 
Boleh jadi lantaran itu pula, ciri yang paling menonjol dari kepenyairan Sitor adalah gerak langkahnya yang seperti tiada pernah berhenti mencari. Periksalah puisi-puisi awalnya sebagaimana yang termuat dalam Surat Kertas Hijau (Jakarta: Dian Rakyat, 1985 (cet. III, Cet. I, 1953). Dikatakannya, “Kujelajahi bumi dan alis kekasih/ Kuketok dinding segala kota/Semua menyisih// Dalam kegelandangannya itu, lahirlah sikap yang justru sangat menentukan gerak langkah perjalanan hidupnya kemudian: Sejak itu sepakat kebuntuan/Jadi teman seperjalanan kekosongan/Dalam sajak mencari kepenuhan/Perang antara kesetiaan dan pengembaraan// (“Berita Perjalanan”)
 
Hampir semua puisinya dalam antologi itu mewartakan sebuah pencarian yang panjang. Dan sepi terasing menjadi bagian yang tak pernah lepas dari perjalanannya itu hingga kini. Dalam hal itulah, dapat dipahami jika kemudian A. Teeuw –di antara keterpesonaannya pada puisi-puisi Sitor—menyebutnya sebagai manusia penyair dari tiga zaman, tiga negeri, dan tiga bahasa. Inilah yang dikatakan kritikus asal Belanda itu dalam bukunya Tergantung pada Kata (Jakarta: Pustaka Jaya, 1980: 32—33).
 
“Tiga zaman: sesudah Chairil Anwar, dia menjadi penyair Angkatan 45 yang terkemuka, dengan varian eksistensialisnya sendiri; lantar dia menonjol pula di zaman demokrasi terpimpin, dengan sajak yang … kehilangan sari kepenyairannya; kemudian, sesudah selingan delapan tahun terpaksa bungkam dalam tahanan, dia muncul lagi di panggung puisi Indonesia dengan arus sajak baru yang mewakili perkembangan baru ….
 
Tiga negeri: sebagai penyair Sitor menunjukkan tiga sifat orientasi geografi budaya: jelas dia penyair Batak, yang setiap kali kembali pada tanah asal. Sudah tentu dia penyair Indonesia pula, wakil negara … Dan akhirnya (atau awalnya; sebab Surat Kertas Hijau sebagian besar lahir dari “bumi Prancis”) dia penghuni Eropa, khususnya Prancis, tetapi pula Italia dan Belanda dan beberapa negeri lagi.”
 
Tiga bahasa: sudah tentu puisi yang dikarangnya terutama dalam bahasa Indonesia –tetapi sesudah pembebasannya dari tahanan, dia mencipta pula cukup banyak puisi dalam bahasa Inggris (The Rites of the Bali Aga) dan dalam bahasa Belanda.”
 
Pernyataan Teeuw itu tentu saja sangat beralasan. Bagaimanapun juga, sikap hidup Sitor yang ingin terus mencari dan menikmati kegelisahannya dalam sepi –yang dalam bahasa Sitor sendiri, ”kegelisahan tanda hidup”—menyeretnya pada sejumlah risiko yang harus dihadapinya. Dan Sitor bukan sosok manusia yang suka melepaskan diri dari tanggung jawab. Ia konsekuen atas pilihan hidup yang dijalaninya. Niscaya pula di dalamnya, termasuk sikap kepenyairannya. Dalam arti luas, sikap itu menjadi sebuah ideologi yang dianut dalam kehidupan berkesenian.
 
Sikap hidup berkesenian itu, tentu saja didasari oleh komitmennya terhadap perjuangan kebangsaan yang diyakini sebagai keharusan. Maka, di awal memasuki kehidupan berkesenian, selepas keterlibatannya di dalam pergolakan perjuangan mempertahankan kemerdekaan hingga ia ditangkap Belanda dalam agresi kedua dan kemudian dijebloskan ke penjara Wirogunan Yogyakarta, ketika ia merasa ikut terpanggil memikirkan masalah-masalah kebudayaan, Sitor Situmorang dengan lantang membela konsepsi kesenian Angkatan 45.
 
Manakala keberadaan Angkatan 45 mendapat serangan dan tentangan yang secara tegas dikatakan Jogaswara, bahwa "Angkatan 45 Sudah Mampus" (Spektra, No. 1, Th. I, 1949), Sitor dalam artikelnya, “Konsepsi Seni Angkatan 45” (Gelanggang, 27 November 1949), justru menafikan pandangan itu. “Angkatan 45 tidak mampus, tetapi sungguh masih hidup segar dan lincah!" Jika bagi pelukis Affandi konsepsi seni Angkatan 45 itu sebagai “Peri-kemanusiaan” yang menurut Chairil Anwar, “human-dignity”, maka Sitor menerjemahkannya sebagai harga-diri manusia. Pembelaannya atas gagasan Chairil itu, jelas mencerminkan pandangan dan sekaligus sikapnya dalam berkesenian. Dari berbagai pandangan dan istilah yang berkembang berkenaan dengan konsepsi seni Angkatan 45 itulah, H.B. Jassin kemudian merumuskannya dengan istilah humanisme universal. Sebuah ideologi kultural yang menempatkan martabat manusia dan kemanusiaan sejagat sebagai dasar dalam perjuangan di lapangan kesenian dan kebudayaan.
***
 
Selanjutnya, Sitor Situmorang tidak lagi terlibat dalam simpang-siur perdebatan mengenai konsepsi seni Angkatan 45 lantaran ia pergi ke Belanda (1950) dan kemudian ke Prancis (1952). Tahun 1953 ia kembali ke tanah air sambil mengusung oleh-olehnya mengenai eksistensialisme. Ia hanyut dalam problem filsafat itu yang –sadar atau tidak—masuk dan menyelusup dalam tiga antologi puisi, Surat Kertas Hijau (1953), Dalam Sajak (1955), Wajah tak Bernama (1955), satu antologi cerpen Pertempuran dan Salju di Paris (1956), dan satu antologi drama Jalan Mutiara (1954).
 
Ketika kepengarangannya begitu penting dalam peta kesusastraan Indonesia masa itu dan karya-karyanya mendapat sorotan luas, Sitor kembali meninggalkan Indonesia untuk studi tentang film dan drama di Amerika Serikat (1956). Setahun studi di negeri Paman Sam itu (1956—1957), ia pulang ke Indonesia dan kemudian menjadi Pemimpin Umum harian Berita Indonesia dan Warta Dunia (1957) dan menjadi dosen di Akademi Theater Nasional Indonesia. Di samping itu, ia juga kemudian dipercaya menduduki jabatan Ketua Lembaga Kebudayaan Nasional (1959). Boleh jadi karena berbagai kesibukannya yang cenderung rutin itu atau mungkin juga lantaran kemapanannya, sosok Sitor Situmorang seperti telah melupakan sikap hidupnya. Bahkan, belakangan, ia ikut hanyut dalam hingar-bingar kegiatan politik praktis. Di situlah kepribadian Sitor yang semula menyatakan “kegelisahan tanda hidup” seperti tenggelam. Ia condong mengabdikan diri pada hiruk-pikuk politik.
 
Perubahan pun terjadi. Ia tercatat sebagai anggota Partai Nasional Indonesia (PNI). Tidak terelakkan, sikap berkeseniannya, juga mengikuti arus deras kehidupan politik. Tentu saja keadaan itu sangat besar pengaruhnya dalam diri kepengarangannya. Maka, karya-karyanya yang terbit ketika itu, sungguh tidak mewakili pribadi asli sosok pengelana yang tiada henti mencari atau seseorang yang senantiasa diterjang kegelisahan. “Kelincahan dan kemerduan yang tadinya terdapat dalam sajak-sajaknya diganti dengan bahasa bombastis dan slogan-slogan murah. Hal itu tampak sekali dalam sajak-sajaknya yang terkumpul dalam antologi Zaman Baru (1962),” begitulah komentar Ajip Rosidi (1976: 118) atas terjadinya perubahan kepengarangan Sitor Situmorang.
 
Politik agaknya memang sering kali mengubah sikap dan pandangan seseorang tentang sesuatu. Itu pula yang terjadi dalam diri Sitor Situmorang. Mengenai hal itu, perhatikanlah pendapat Subagio Sastrowardojo (1989; 202) berikut ini: “Sitor Situmorang pada dasarnya adalah seorang individualis, yang telah terbukti sanggup menciptakan sajak-sajak yang bagus dalam kumpulan-kumpulan sajaknya yang terdahulu, justru karena menyatakan dirinya secara jujur dalam sajak. Tetapi sekali ia berusaha melibatkan dirinya ke dalam kepentingan kolektif dalam ujud ideologi politik, agama, atau budaya, sajak-sajaknya lalu kehilangan keyakinan. Penyelaman dan penyatuan dirinya tidak bisa lebih dari lintasan permukaan.”
 
Tak hanya itu, Sitor Situmorang yang semula membela Chairil Anwar, kini hendak disisihkan. Dikatakannya, “Chairil Anwar adalah individualis tak bertanah air, kosmopolitan versi Indonesia. … Jadi, dapatlah dikatakan, bahwa Chairil Anwar adalah penyair yang dalam sikap maupun pengakuan adalah kosmopolitan yang tidak punya arti buat revolusi kita, kecuali sebagai dokumentasi tentang keasingan dan keisengan di tengah revolusi dan di tengah masyarakat sendiri. … Penamaan “Angkatan 45” oleh karenanya sepanjang dihubungkan dengan prestasi Chairil Anwar, makin tidak tepat lagi.” Begitu penegasan Sitor Situmorang dalam artikelnya, “Chairil Anwar dalam Alam Manipol” (Sastra Revolusioner. Lembaga Kebudayaan Nasional Daerah Jawa Barat, 1965; 30—31).
***
 
Tetapi, bukan Sitor Situmorang namanya jika ia berhenti mengalami kegelisahan. Maka, selepas ia dibebaskan dari tahanan politik (1966—1974), ia seperti menemukan dirinya kembali. Di dalam penjara, ia memang diam dalam pengertian yang “sediam-diamnya”. Dan seperti sikap hidupnya semula, “kegelisahan tanda hidup” Sitor pun diterjang oleh perasaan itu. Di sini terjadi lagi perubahan sikapnya dalam berkesenian.
 
Ketika ia dibelenggu ideologi politik, ia mengusung propaganda Sastra Revolusioner. Menurutnya, “suatu gagasan dan kegiatan kebudayaan yang basis sosialnya adalah pada perjuangan revolusioner, dengan sokoguru-sokoguru penyelesaian revolusi, sokoguru pembebasan rakyat: buruh dan tani… dan segalanya diabdikan kepada politik revolusioner …” (Sastra Revolusioner, hlm. 16), maka sikap dan pandangan mengenai sastra revolusioner itupun, dicampakkannya sejalan dengan kebebasan dirinya. Sitor kembali menjadi manusia pencari yang tak pernah berhenti, penggelisah yang menikmati kegelisahannya sebagai tanda hidup! Sitor pun kembali menggelandang.
 
“… kebebasan yang baru ditemukan Sitor sesudah delapan tahun terpaksa diam dan terasing, membuatnya mabuk dan mempunyai nafsu lapar untuk hidup, dan puisi menjadi salah satu kebutuhan hidup yang pokok, yang harus dipenuhi belaka. Curahan puisinya tidak hanya terbatas dalam bahasa Indonesia –ia juga menerbitkan sajak-sajaknya dalam bahasa Inggris … dan dalam bahasa Belanda. … Dorongan kreatifnya begitu kuat, sehingga Sitor bisa disebut … sebagai penyembur sajak,” begitu A. Teeuw (Sastra Indonesia Modern II, hlm. 112) melihat lahirnya kembali penyair ini.
 
Selepas itu, dari tangan Sitor Situmorang lahirlah sejumlah karyanya yang terasa begitu jujur dan lebih mencerminkan kembali sikap berkeseniannya semula: “kegelisahan tanda hidup!” Tercatat, beberapa karyanya yang penting: Dinding Waktu (1976), Angin Danau (1982), Bloem op enn Rots (1990), dan Rindu Kelana (1994).
***
 
Bagaimanapun, dalam perjalanan kesusastraan Indonesia, sosok penyair Sitor Situmorang, tetaplah punya tempat tersendiri. Dan karya-karya yang telah dihasilkannya, tidak hanya memancangkan tonggak-tonggak penting, tetapi juga mengungkapkan sikap kepenyairan dan berkeseniannya. Di luar persoalan itu, yang sungguh mengagumkan dari kesadarannya berkesenian adalah hasrat untuk tak berhenti menjalani proses belajar: Belajar sepanjang hayat!
 
Dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan Komunitas Bambu beberapa tahun lalu, Sitor menyampaikan pengakuannya: “Guru spiritual saya tidak lain adalah Hamzah Fansuri! Dan saya banyak belajar dari penyair sufi itu.” Niscaya Hamzah Fansuri hanyalah satu satu saja dari sekian banyak guru spiritual lain yang memberi pencerahan pada kepenyairan Sitor. Boleh jadi karena itu pula, Sitor tak hendak menghentikan proses belajar. Tentu saja ia juga tak mau mencampakkan kegelisahannya, agar ia dapat terus berkarya. Maka, pantaslah jika sikap hidup Sitor cukup dinyatakan dalam satu kalimat: Kegelisahan tanda hidup! Kita tunggu saja karyanya yang mencerminkan sikap hidupnya itu!
***
 
*) Maman S. Mahayana, lahir di Cirebon, Jawa Barat, 18 Agustus 1957. Dia salah satu penerima Tanda Kehormatan Satyalancana Karya Satya dari Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono (2005). Menyelesaikan pendidikannya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FS UI) tahun 1986, dan sejak itu mengajar di almamaternya yang kini menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB-UI). Tahun 1997 selesai Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Pernah tinggal lama di Seoul, dan menjadi pengajar di Department of Malay-Indonesian Studies, Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan. Selain mengajar, banyak melakukan penelitian. Beberapa hasil penelitiannya antara lain, “Inventarisasi Ungkapan-Ungkapan Bahasa Indonesia” (LPUI, 1993), “Pencatatan dan Inventarisasi Naskah-Naskah Cirebon” (Anggota Tim Peneliti, LPUI, 1994), dan “Majalah Wanita Awal Abad XX (1908-1928)” (LPUI, 2000).  http://sastra-indonesia.com/2010/06/kegelisahan-tanda-hidup/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

20 Tahun Kebangkitan Sastra-Teater Lamongan A Jalal A. Anzieb A. Khoirul Anam A. Mustofa Bisri A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja Abdoel Moeis Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdullah Abubakar Batarfie Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Achdiat K. Mihardja Achiar M Permana Adek Alwi Adhi Pandoyo Adib Baroya Aditya Ardi N Adri Sandra Adu Pesona Sang Wakil Cawapres RI Afrizal Malna Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Buchori Agus Dermawan T. Agus Mulyadi Agus Prasmono Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahmad Farid Yahya Ahmad Hasan MS Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Saifullah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alawi Al-Bantani Alfatihatus Sholihatunnisa Alfian Dippahatang Ali Audah Alim Bakhtiar Amie Williams Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amril Taufik Gobel An. Ismanto Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 AndongBuku #3 Andrea Hirata Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Antologi Sastra Lamongan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Arafat Nur Ardi Wina Saputra Ardy Suryantoko Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arman A.Z. Arsyad Indradi Asarpin Ashimuddin Musa Asrul Sani Astuti Ananta Toer Atafras Audifax Awalludin GD Mualif Ayu Nuzul Azizah Hefni B Kunto Wibisono Bahrul Amsal Bambang Kempling Beni Setia Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bloomberg Bre Redana Budaya Budi Darma Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Candra Adikara Irawan Candrakirana Cangaan Ujungpangkah Gresik Jawa Timur Capres Cawapres 2019 Catatan Ceramah Cerpen Chairil Anwar Chicilia Risca CNN Indonesia Coronavirus COVID-19 D. Zawawi Imron Damiri Mahmud Darju Prasetya Darman Moenir Deddy Arsya Denny JA Denny Mizhar Devy Kurnia Alamsyah Dhoni Zustiyantoro Dian Sukarno Didin Tulus Dien Makmur Din Saja Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Donny Anggoro Donny Darmawan Dr. Hilma Rosyida Ahmad Dwi Cipta Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dyah Ayu Fitriana Ecep Heryadi Edy Suprayitno Eka Budianta Eka Kurniawan Elok Dyah Messwati Engkos Kosnadi Erdogan Erwin Setia Esai Esti Nuryani Kasam Evan Ys F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Fahrur Rozi Faidil Akbar Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathul Qorib Fatkhul Anas Feby Indirani Felix K. Nesi Festival Teater Religi Festival Teater Religi Pelajar SLTA Se-kabupaten Lamongan Fira Basuki Forum Santri Nasional (FSN) Frischa Aswarini Fuad Mardhatillah UY Tiba Fuad Nawawi Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gde Artawan Geger Riyanto Geguritan Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Guenter Grass Gus Ahmad Syauqi Gus tf Gusti Eka Habib Bahar bin Smith Haiku Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Han Gagas Hary B Koriun Hasan Basri Hasnan Bachtiar Heri Ruslan Herman Hesse Hertha Mueller Heru Kurniawan Hestri Hurustyanti Holy Adib Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu I Made Prabaswara I Made Sujaya IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah) Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Iksaka Banu Imam Jazuli Imam Nawawi Imammuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Mahadi Indra Tjahyadi Irfan Afifi Irine Rakhmawati Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS J.S. Badudu Jadid Al Farisy Jajang R Kawentar Jawa Timur Jean Marie Gustave le Clezio JJ. Kusni Jl Raya Simo Sungelebak Jo Batara Surya John H. McGlynn Jordaidan Rizsyah Jual Buku Paket Hemat Juara 3 Lomba Lompat Jauh DISPORA LAMONGAN Jurnalisme Sastrawi K.H. Ma'ruf Amin Kadek Suartaya Kaheesa Kirania Putri Ayu Kahfie Nazaruddin Kalis Mardiasih Kamaluddin Ramdhan Kanti W. Janis Karanggeneng Kardono Setyorakhmadi Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Pantura (KBP) KetemuBuku Jombang KH. M. Najib Muhammad KH. Muhammad Amin (1910-1949) Khairul Mufid Jr Khawas Auskarni Khoirul Abidin Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kitab Arbain Nawawi Kodrat Setiawan Kompas TV Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra dan Teater Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) Kopuisi Kostela Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kurnia Effendi Kuswaidi Syafi’ie L Ridwan Muljosudarmo L.K. Ara Lamongan Lan Fang Lawi Ibung Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Literasi Liza Wahyuninto Lukas Luwarso Lukisan Lukman Lukman Santoso Az Lutfi Mardiansyah M Farid W Makkulau M. Faizi M.D. Atmaja Madrasah Aliyah Matholi'ul Anwar Madrasah Ibtida’iyah Thoriqotul Hidayah 1 Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S Mahayana Manado Manneke Budiman Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mario F. Lawi Marsel Robot Martin Aleida Marwanto Mashuri Massayu Masuki M. Astro Masyhudi Media Seputar Pendidikan Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Purnama di Kampung Halaman Mereka yang Menjerat Gus Dur MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mien Uno Moh. Dzunnurrain Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Rafi Azzamy Mohammad Rokib Mohammad Yamin Muafiqul Khalid MD Much. Khoiri Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alfatih Suryadilaga Muhammad Antakusuma Muhammad Fikry Mauludy Muhammad Hafil Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad N. Hassan Muhammad Subarkah Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Muhyiddin Mukadi Mukani Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Musa Ismail Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang E S Nara Ahirullah Naskah Teater Nezar Patria Noor H. Dee Nunus Supardi Nur Haryanto Nur Wachid Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Okky Madasari Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Pameran Lukisan Parimono V / 40 Plandi Jombang PC. Lesbumi NU Babat PDS HB Jassin Pelukis Dahlan Kong Pelukis Tarmuzie Penculikan Aktivis 1988 Pendidikan Pengajian Pengarang kelahiran Lamongan Pentigraf Pepaosan Perbincangan Peringatan Hari Pahlawan 10 November Pilang Tejoasri Laren Lamongan Jawa Timur Pipiet Senja Politik Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Jokowi Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi (PMK) Puji Santosa Pustaka LaBRAK PUstaka puJAngga R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Reuni dan Halal Bihalal Mts Putra-Putri Simo 1992 Ribut Wijoto Riki Antoni Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Robin Al Kautsar Rodli TL Roland Barthes Rosi Rosihan Anwar RR Miranda Rumah Budaya Pantura (RBP) S. Jai S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabrank Suparno Safitri Ningrum Sainul Hermawan Sajak Salman Aristo Sandiaga Uno Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Sastra Tasikmalaya (SST) Sarasehan dan Launching Buku Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Kuno Suku Sasak Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Satu Jam Sastra Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seni Gumira Ajidarma Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Pendidikan Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sirdjanul Ghufron Siwi Dwi Saputro Slamet Rahardjo Rais Soediro Satoto Soekarno Soeparno S. Adhy Soesilo Toer Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Handi Lestari Sri Wintala Achmad STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sujatmiko Sukarno Suminto A. Sayuti Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahrudin Attar Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Sylvianita Widyawati Tangguh Pitoyo Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teater nDrinDinG Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tias Tatanka Timur Sinar Suprabana Titi Aoska Tiyasa Jati Pramono Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Toni Masdiono Tri Broto Wibisono TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Jember Universitas Negeri Jember Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyu Aji Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Wiji Thukul Wildan Nugraha Wildana Wargadinata Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yerusalem Ibu Kota Palestina Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Herwibowo Yuditeha Yusri Fajar Yuval Noah Harari Zainal Arifin Thoha Zainuddin Sugendal Zara Zettira ZR Zehan Zareez Zuhdi Swt