Maman S. Mahayana *
Kegairahan hidup dan
semangat yang meledak-ledak! Itulah kesan yang segera muncul ketika kita
pertama kali dapat mengobrol dengan sosok Sitor Situmorang. Sebagai seorang
Batak, ia sangat terbuka, lugas, dan gampang diajak bicara. Semalaman kita bisa
dengan enteng berdiskusi, berdebat atau berbual-bual ke sana ke mari, jika ada
topik pembicaraan yang diminatinya. Gaya dan sikapnya yang terkesan sangat
egaliter itu, tidak jarang bakal menyeret kita pada pusaran masalah yang
disodorkannya. Itulah sebabnya, mengobrol dan berdiskusi dengan seorang Sitor
Situmorang, selalu memberi keasyikan dan pesona tersendiri. Jika tak
berhati-hati, ia akan menghipnotis kita dengan masalah-masalah yang sebenarnya
bukan masalah kita. Itu juga salah satu kepiawaiannya menyodorkan problem
dirinya yang lalu digiring seolah-olah menjadi problem bersama.
Meskipun demikian, dalam
hal tertentu atau jika ia punya masalah yang belum dapat diselesaikannya, Sitor
juga terkesan seperti sengaja menyimpan misteri. Jika sudah begitu, sangat
mungkin ia lebih suka memilih menyendiri, mengasingkan diri, menikmati sepi,
atau asyik-masyuk dalam perjalanan kegelisahannya mencari. Itulah sosok
pengelana yang terjerat oleh hasratnya yang tak pernah berhenti mencari. Dan ia
akan terus melakukan itu dalam hiruk-pikuk keramaian atau dalam sepi yang membakarnya.
Demikianlah, kesan yang samar-samar dapat kita tangkap dari sosok pribadi Sitor
Situmorang, salah seorang penyair penting dan terkemuka di negeri ini.
Boleh jadi lantaran itu
pula, ciri yang paling menonjol dari kepenyairan Sitor adalah gerak langkahnya
yang seperti tiada pernah berhenti mencari. Periksalah puisi-puisi awalnya
sebagaimana yang termuat dalam Surat Kertas Hijau (Jakarta: Dian Rakyat, 1985
(cet. III, Cet. I, 1953). Dikatakannya, “Kujelajahi bumi dan alis kekasih/
Kuketok dinding segala kota/Semua menyisih// Dalam kegelandangannya itu,
lahirlah sikap yang justru sangat menentukan gerak langkah perjalanan hidupnya
kemudian: Sejak itu sepakat kebuntuan/Jadi teman seperjalanan kekosongan/Dalam
sajak mencari kepenuhan/Perang antara kesetiaan dan pengembaraan// (“Berita
Perjalanan”)
Hampir semua puisinya
dalam antologi itu mewartakan sebuah pencarian yang panjang. Dan sepi terasing
menjadi bagian yang tak pernah lepas dari perjalanannya itu hingga kini. Dalam
hal itulah, dapat dipahami jika kemudian A. Teeuw –di antara keterpesonaannya
pada puisi-puisi Sitor—menyebutnya sebagai manusia penyair dari tiga zaman,
tiga negeri, dan tiga bahasa. Inilah yang dikatakan kritikus asal Belanda itu
dalam bukunya Tergantung pada Kata (Jakarta: Pustaka Jaya, 1980: 32—33).
“Tiga zaman: sesudah
Chairil Anwar, dia menjadi penyair Angkatan 45 yang terkemuka, dengan varian
eksistensialisnya sendiri; lantar dia menonjol pula di zaman demokrasi
terpimpin, dengan sajak yang … kehilangan sari kepenyairannya; kemudian,
sesudah selingan delapan tahun terpaksa bungkam dalam tahanan, dia muncul lagi
di panggung puisi Indonesia dengan arus sajak baru yang mewakili perkembangan
baru ….
Tiga negeri: sebagai
penyair Sitor menunjukkan tiga sifat orientasi geografi budaya: jelas dia
penyair Batak, yang setiap kali kembali pada tanah asal. Sudah tentu dia
penyair Indonesia pula, wakil negara … Dan akhirnya (atau awalnya; sebab Surat
Kertas Hijau sebagian besar lahir dari “bumi Prancis”) dia penghuni Eropa,
khususnya Prancis, tetapi pula Italia dan Belanda dan beberapa negeri lagi.”
Tiga bahasa: sudah tentu
puisi yang dikarangnya terutama dalam bahasa Indonesia –tetapi sesudah
pembebasannya dari tahanan, dia mencipta pula cukup banyak puisi dalam bahasa
Inggris (The Rites of the Bali Aga) dan dalam bahasa Belanda.”
Pernyataan Teeuw itu
tentu saja sangat beralasan. Bagaimanapun juga, sikap hidup Sitor yang ingin
terus mencari dan menikmati kegelisahannya dalam sepi –yang dalam bahasa Sitor
sendiri, ”kegelisahan tanda hidup”—menyeretnya pada sejumlah risiko yang harus
dihadapinya. Dan Sitor bukan sosok manusia yang suka melepaskan diri dari
tanggung jawab. Ia konsekuen atas pilihan hidup yang dijalaninya. Niscaya pula
di dalamnya, termasuk sikap kepenyairannya. Dalam arti luas, sikap itu menjadi
sebuah ideologi yang dianut dalam kehidupan berkesenian.
Sikap hidup berkesenian
itu, tentu saja didasari oleh komitmennya terhadap perjuangan kebangsaan yang
diyakini sebagai keharusan. Maka, di awal memasuki kehidupan berkesenian,
selepas keterlibatannya di dalam pergolakan perjuangan mempertahankan
kemerdekaan hingga ia ditangkap Belanda dalam agresi kedua dan kemudian
dijebloskan ke penjara Wirogunan Yogyakarta, ketika ia merasa ikut terpanggil
memikirkan masalah-masalah kebudayaan, Sitor Situmorang dengan lantang membela
konsepsi kesenian Angkatan 45.
Manakala keberadaan
Angkatan 45 mendapat serangan dan tentangan yang secara tegas dikatakan
Jogaswara, bahwa "Angkatan 45 Sudah Mampus" (Spektra, No. 1, Th. I,
1949), Sitor dalam artikelnya, “Konsepsi Seni Angkatan 45” (Gelanggang, 27
November 1949), justru menafikan pandangan itu. “Angkatan 45 tidak mampus,
tetapi sungguh masih hidup segar dan lincah!" Jika bagi pelukis Affandi
konsepsi seni Angkatan 45 itu sebagai “Peri-kemanusiaan” yang menurut Chairil
Anwar, “human-dignity”, maka Sitor menerjemahkannya sebagai harga-diri manusia.
Pembelaannya atas gagasan Chairil itu, jelas mencerminkan pandangan dan
sekaligus sikapnya dalam berkesenian. Dari berbagai pandangan dan istilah yang
berkembang berkenaan dengan konsepsi seni Angkatan 45 itulah, H.B. Jassin
kemudian merumuskannya dengan istilah humanisme universal. Sebuah ideologi
kultural yang menempatkan martabat manusia dan kemanusiaan sejagat sebagai
dasar dalam perjuangan di lapangan kesenian dan kebudayaan.
***
Selanjutnya, Sitor Situmorang
tidak lagi terlibat dalam simpang-siur perdebatan mengenai konsepsi seni
Angkatan 45 lantaran ia pergi ke Belanda (1950) dan kemudian ke Prancis (1952).
Tahun 1953 ia kembali ke tanah air sambil mengusung oleh-olehnya mengenai
eksistensialisme. Ia hanyut dalam problem filsafat itu yang –sadar atau
tidak—masuk dan menyelusup dalam tiga antologi puisi, Surat Kertas Hijau
(1953), Dalam Sajak (1955), Wajah tak Bernama (1955), satu antologi cerpen
Pertempuran dan Salju di Paris (1956), dan satu antologi drama Jalan Mutiara
(1954).
Ketika kepengarangannya
begitu penting dalam peta kesusastraan Indonesia masa itu dan karya-karyanya
mendapat sorotan luas, Sitor kembali meninggalkan Indonesia untuk studi tentang
film dan drama di Amerika Serikat (1956). Setahun studi di negeri Paman Sam itu
(1956—1957), ia pulang ke Indonesia dan kemudian menjadi Pemimpin Umum harian
Berita Indonesia dan Warta Dunia (1957) dan menjadi dosen di Akademi Theater
Nasional Indonesia. Di samping itu, ia juga kemudian dipercaya menduduki
jabatan Ketua Lembaga Kebudayaan Nasional (1959). Boleh jadi karena berbagai
kesibukannya yang cenderung rutin itu atau mungkin juga lantaran kemapanannya,
sosok Sitor Situmorang seperti telah melupakan sikap hidupnya. Bahkan,
belakangan, ia ikut hanyut dalam hingar-bingar kegiatan politik praktis. Di
situlah kepribadian Sitor yang semula menyatakan “kegelisahan tanda hidup”
seperti tenggelam. Ia condong mengabdikan diri pada hiruk-pikuk politik.
Perubahan pun terjadi. Ia
tercatat sebagai anggota Partai Nasional Indonesia (PNI). Tidak terelakkan,
sikap berkeseniannya, juga mengikuti arus deras kehidupan politik. Tentu saja
keadaan itu sangat besar pengaruhnya dalam diri kepengarangannya. Maka,
karya-karyanya yang terbit ketika itu, sungguh tidak mewakili pribadi asli
sosok pengelana yang tiada henti mencari atau seseorang yang senantiasa
diterjang kegelisahan. “Kelincahan dan kemerduan yang tadinya terdapat dalam
sajak-sajaknya diganti dengan bahasa bombastis dan slogan-slogan murah. Hal itu
tampak sekali dalam sajak-sajaknya yang terkumpul dalam antologi Zaman Baru
(1962),” begitulah komentar Ajip Rosidi (1976: 118) atas terjadinya perubahan
kepengarangan Sitor Situmorang.
Politik agaknya memang
sering kali mengubah sikap dan pandangan seseorang tentang sesuatu. Itu pula
yang terjadi dalam diri Sitor Situmorang. Mengenai hal itu, perhatikanlah
pendapat Subagio Sastrowardojo (1989; 202) berikut ini: “Sitor Situmorang pada
dasarnya adalah seorang individualis, yang telah terbukti sanggup menciptakan sajak-sajak
yang bagus dalam kumpulan-kumpulan sajaknya yang terdahulu, justru karena
menyatakan dirinya secara jujur dalam sajak. Tetapi sekali ia berusaha
melibatkan dirinya ke dalam kepentingan kolektif dalam ujud ideologi politik,
agama, atau budaya, sajak-sajaknya lalu kehilangan keyakinan. Penyelaman dan
penyatuan dirinya tidak bisa lebih dari lintasan permukaan.”
Tak hanya itu, Sitor
Situmorang yang semula membela Chairil Anwar, kini hendak disisihkan.
Dikatakannya, “Chairil Anwar adalah individualis tak bertanah air, kosmopolitan
versi Indonesia. … Jadi, dapatlah dikatakan, bahwa Chairil Anwar adalah penyair
yang dalam sikap maupun pengakuan adalah kosmopolitan yang tidak punya arti
buat revolusi kita, kecuali sebagai dokumentasi tentang keasingan dan keisengan
di tengah revolusi dan di tengah masyarakat sendiri. … Penamaan “Angkatan 45”
oleh karenanya sepanjang dihubungkan dengan prestasi Chairil Anwar, makin tidak
tepat lagi.” Begitu penegasan Sitor Situmorang dalam artikelnya, “Chairil Anwar
dalam Alam Manipol” (Sastra Revolusioner. Lembaga Kebudayaan Nasional Daerah
Jawa Barat, 1965; 30—31).
***
Tetapi, bukan Sitor
Situmorang namanya jika ia berhenti mengalami kegelisahan. Maka, selepas ia
dibebaskan dari tahanan politik (1966—1974), ia seperti menemukan dirinya
kembali. Di dalam penjara, ia memang diam dalam pengertian yang
“sediam-diamnya”. Dan seperti sikap hidupnya semula, “kegelisahan tanda hidup”
Sitor pun diterjang oleh perasaan itu. Di sini terjadi lagi perubahan sikapnya
dalam berkesenian.
Ketika ia dibelenggu
ideologi politik, ia mengusung propaganda Sastra Revolusioner. Menurutnya,
“suatu gagasan dan kegiatan kebudayaan yang basis sosialnya adalah pada
perjuangan revolusioner, dengan sokoguru-sokoguru penyelesaian revolusi,
sokoguru pembebasan rakyat: buruh dan tani… dan segalanya diabdikan kepada
politik revolusioner …” (Sastra Revolusioner, hlm. 16), maka sikap dan
pandangan mengenai sastra revolusioner itupun, dicampakkannya sejalan dengan
kebebasan dirinya. Sitor kembali menjadi manusia pencari yang tak pernah
berhenti, penggelisah yang menikmati kegelisahannya sebagai tanda hidup! Sitor
pun kembali menggelandang.
“… kebebasan yang baru
ditemukan Sitor sesudah delapan tahun terpaksa diam dan terasing, membuatnya
mabuk dan mempunyai nafsu lapar untuk hidup, dan puisi menjadi salah satu
kebutuhan hidup yang pokok, yang harus dipenuhi belaka. Curahan puisinya tidak
hanya terbatas dalam bahasa Indonesia –ia juga menerbitkan sajak-sajaknya dalam
bahasa Inggris … dan dalam bahasa Belanda. … Dorongan kreatifnya begitu kuat,
sehingga Sitor bisa disebut … sebagai penyembur sajak,” begitu A. Teeuw (Sastra
Indonesia Modern II, hlm. 112) melihat lahirnya kembali penyair ini.
Selepas itu, dari tangan
Sitor Situmorang lahirlah sejumlah karyanya yang terasa begitu jujur dan lebih
mencerminkan kembali sikap berkeseniannya semula: “kegelisahan tanda hidup!”
Tercatat, beberapa karyanya yang penting: Dinding Waktu (1976), Angin Danau
(1982), Bloem op enn Rots (1990), dan Rindu Kelana (1994).
***
Bagaimanapun, dalam
perjalanan kesusastraan Indonesia, sosok penyair Sitor Situmorang, tetaplah
punya tempat tersendiri. Dan karya-karya yang telah dihasilkannya, tidak hanya
memancangkan tonggak-tonggak penting, tetapi juga mengungkapkan sikap
kepenyairan dan berkeseniannya. Di luar persoalan itu, yang sungguh mengagumkan
dari kesadarannya berkesenian adalah hasrat untuk tak berhenti menjalani proses
belajar: Belajar sepanjang hayat!
Dalam sebuah diskusi yang
diselenggarakan Komunitas Bambu beberapa tahun lalu, Sitor menyampaikan
pengakuannya: “Guru spiritual saya tidak lain adalah Hamzah Fansuri! Dan saya
banyak belajar dari penyair sufi itu.” Niscaya Hamzah Fansuri hanyalah satu
satu saja dari sekian banyak guru spiritual lain yang memberi pencerahan pada
kepenyairan Sitor. Boleh jadi karena itu pula, Sitor tak hendak menghentikan
proses belajar. Tentu saja ia juga tak mau mencampakkan kegelisahannya, agar ia
dapat terus berkarya. Maka, pantaslah jika sikap hidup Sitor cukup dinyatakan
dalam satu kalimat: Kegelisahan tanda hidup! Kita tunggu saja karyanya yang
mencerminkan sikap hidupnya itu!
***
*) Maman S. Mahayana,
lahir di Cirebon, Jawa Barat, 18 Agustus 1957. Dia salah satu penerima Tanda
Kehormatan Satyalancana Karya Satya dari Presiden Republik Indonesia, Dr. H.
Susilo Bambang Yudhoyono (2005). Menyelesaikan pendidikannya di Fakultas Sastra
Universitas Indonesia (FS UI) tahun 1986, dan sejak itu mengajar di
almamaternya yang kini menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas
Indonesia (FIB-UI). Tahun 1997 selesai Program Pascasarjana Universitas
Indonesia. Pernah tinggal lama di Seoul, dan menjadi pengajar di Department of
Malay-Indonesian Studies, Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea
Selatan. Selain mengajar, banyak melakukan penelitian. Beberapa hasil
penelitiannya antara lain, “Inventarisasi Ungkapan-Ungkapan Bahasa Indonesia”
(LPUI, 1993), “Pencatatan dan Inventarisasi Naskah-Naskah Cirebon” (Anggota Tim
Peneliti, LPUI, 1994), dan “Majalah Wanita Awal Abad XX (1908-1928)” (LPUI,
2000). http://sastra-indonesia.com/2010/06/kegelisahan-tanda-hidup/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Sabtu, 21 November 2020
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
20 Tahun Kebangkitan Sastra-Teater Lamongan
A Jalal
A. Anzieb
A. Khoirul Anam
A. Mustofa Bisri
A. Rodhi Murtadho
A. Syauqi Sumbawi
A.P. Edi Atmaja
Abdoel Moeis
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdullah Abubakar Batarfie
Abdurrahman Wahid
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Achdiat K. Mihardja
Achiar M Permana
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adib Baroya
Aditya Ardi N
Adri Sandra
Adu Pesona Sang Wakil Cawapres RI
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan MN
Agus Buchori
Agus Dermawan T.
Agus Mulyadi
Agus Prasmono
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Hasan MS
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Saifullah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alawi Al-Bantani
Alfatihatus Sholihatunnisa
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Alim Bakhtiar
Amie Williams
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amril Taufik Gobel
An. Ismanto
Andhi Setyo Wibowo
Andi Andrianto
Andong Buku #3
AndongBuku #3
Andrea Hirata
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Antologi Sastra Lamongan
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Arafat Nur
Ardi Wina Saputra
Ardy Suryantoko
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Saifudin Yudistira
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Asarpin
Ashimuddin Musa
Asrul Sani
Astuti Ananta Toer
Atafras
Audifax
Awalludin GD Mualif
Ayu Nuzul
Azizah Hefni
B Kunto Wibisono
Bahrul Amsal
Bambang Kempling
Beni Setia
Benny Benke
Beno Siang Pamungkas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Bloomberg
Bre Redana
Budaya
Budi Darma
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Candra Adikara Irawan
Candrakirana
Cangaan Ujungpangkah Gresik Jawa Timur
Capres Cawapres 2019
Catatan
Ceramah
Cerpen
Chairil Anwar
Chicilia Risca
CNN Indonesia
Coronavirus
COVID-19
D. Zawawi Imron
Damiri Mahmud
Darju Prasetya
Darman Moenir
Deddy Arsya
Denny JA
Denny Mizhar
Devy Kurnia Alamsyah
Dhoni Zustiyantoro
Dian Sukarno
Didin Tulus
Dien Makmur
Din Saja
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Donny Anggoro
Donny Darmawan
Dr. Hilma Rosyida Ahmad
Dwi Cipta
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Dyah Ayu Fitriana
Ecep Heryadi
Edy Suprayitno
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Elok Dyah Messwati
Engkos Kosnadi
Erdogan
Erwin Setia
Esai
Esti Nuryani Kasam
Evan Ys
F. Budi Hardiman
F. Rahardi
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Fahrur Rozi
Faidil Akbar
Farah Noersativa
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathul Qorib
Fatkhul Anas
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Festival Teater Religi
Festival Teater Religi Pelajar SLTA Se-kabupaten Lamongan
Fira Basuki
Forum Santri Nasional (FSN)
Frischa Aswarini
Fuad Mardhatillah UY Tiba
Fuad Nawawi
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Gde Artawan
Geger Riyanto
Geguritan
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Guenter Grass
Gus Ahmad Syauqi
Gus tf
Gusti Eka
Habib Bahar bin Smith
Haiku
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Han Gagas
Hary B Koriun
Hasan Basri
Hasnan Bachtiar
Heri Ruslan
Herman Hesse
Hertha Mueller
Heru Kurniawan
Hestri Hurustyanti
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hujuala Rika Ayu
I Made Prabaswara
I Made Sujaya
IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah)
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Iksaka Banu
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imammuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra Intisa
Indra Mahadi
Indra Tjahyadi
Irfan Afifi
Irine Rakhmawati
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan ZS
J.S. Badudu
Jadid Al Farisy
Jajang R Kawentar
Jawa Timur
Jean Marie Gustave le Clezio
JJ. Kusni
Jl Raya Simo Sungelebak
Jo Batara Surya
John H. McGlynn
Jordaidan Rizsyah
Jual Buku Paket Hemat
Juara 3 Lomba Lompat Jauh DISPORA LAMONGAN
Jurnalisme Sastrawi
K.H. Ma'ruf Amin
Kadek Suartaya
Kaheesa Kirania Putri Ayu
Kahfie Nazaruddin
Kalis Mardiasih
Kamaluddin Ramdhan
Kanti W. Janis
Karanggeneng
Kardono Setyorakhmadi
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Kemah Budaya Pantura (KBP)
KetemuBuku Jombang
KH. M. Najib Muhammad
KH. Muhammad Amin (1910-1949)
Khairul Mufid Jr
Khawas Auskarni
Khoirul Abidin
Khoshshol Fairuz
Ki Ompong Sudarsono
Kitab Arbain Nawawi
Kodrat Setiawan
Kompas TV
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA)
Komunitas Sastra dan Teater Lamongan
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Komunitas-komunitas Teater di Lamongan
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI)
Kopuisi
Kostela
Kritik Sastra
Kumpulan Cerita Buntak
Kurnia Effendi
Kuswaidi Syafi’ie
L Ridwan Muljosudarmo
L.K. Ara
Lamongan
Lan Fang
Lawi Ibung
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Literasi
Liza Wahyuninto
Lukas Luwarso
Lukisan
Lukman
Lukman Santoso Az
Lutfi Mardiansyah
M Farid W Makkulau
M. Faizi
M.D. Atmaja
Madrasah Aliyah Matholi'ul Anwar
Madrasah Ibtida’iyah Thoriqotul Hidayah 1
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maman S Mahayana
Manado
Manneke Budiman
Maratushsholihah
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoernomo
Mario F. Lawi
Marsel Robot
Martin Aleida
Marwanto
Mashuri
Massayu
Masuki M. Astro
Masyhudi
Media Seputar Pendidikan
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Memoar Purnama di Kampung Halaman
Mereka yang Menjerat Gus Dur
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mien Uno
Moh. Dzunnurrain
Moh. Jauhar al-Hakimi
Mohammad Rafi Azzamy
Mohammad Rokib
Mohammad Yamin
Muafiqul Khalid MD
Much. Khoiri
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Alfatih Suryadilaga
Muhammad Antakusuma
Muhammad Fikry Mauludy
Muhammad Hafil
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad N. Hassan
Muhammad Subarkah
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhidin M. Dahlan
Muhyiddin
Mukadi
Mukani
Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur
Musa Ismail
Mutia Sukma
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nanang E S
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nezar Patria
Noor H. Dee
Nunus Supardi
Nur Haryanto
Nur Wachid
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Okky Madasari
Olivia Kristina Sinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pagelaran Musim Tandur
Palupi Panca Astuti
Pameran Lukisan
Parimono V / 40 Plandi Jombang
PC. Lesbumi NU Babat
PDS HB Jassin
Pelukis Dahlan Kong
Pelukis Tarmuzie
Penculikan Aktivis 1988
Pendidikan
Pengajian
Pengarang kelahiran Lamongan
Pentigraf
Pepaosan
Perbincangan
Peringatan Hari Pahlawan 10 November
Pilang Tejoasri Laren Lamongan Jawa Timur
Pipiet Senja
Politik
Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan
Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang
Pramoedya Ananta Toer
Presiden Jokowi
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi (PMK)
Puji Santosa
Pustaka LaBRAK
PUstaka puJAngga
R. Ng. Ronggowarsito
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rasanrasan Boengaketji
Raudlotul Immaroh
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Reuni dan Halal Bihalal Mts Putra-Putri Simo 1992
Ribut Wijoto
Riki Antoni
Riki Dhamparan Putra
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Roland Barthes
Rosi
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rumah Budaya Pantura (RBP)
S. Jai
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Sainul Hermawan
Sajak
Salman Aristo
Sandiaga Uno
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Sastra Tasikmalaya (SST)
Sarasehan dan Launching Buku
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Kuno Suku Sasak
Sastri Bakry
Satmoko Budi Santoso
Satu Jam Sastra
Satyagraha Hoerip
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSAstra Boenga Ketjil
Seni Gumira Ajidarma
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seputar Sastra Pendidikan
Sergi Sutanto
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sirdjanul Ghufron
Siwi Dwi Saputro
Slamet Rahardjo Rais
Soediro Satoto
Soekarno
Soeparno S. Adhy
Soesilo Toer
Soetanto Soepiadhy
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sosiawan Leak
Sri Handi Lestari
Sri Wintala Achmad
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Sudarmoko
Sujatmiko
Sukarno
Suminto A. Sayuti
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahrudin Attar
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili
Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari
Sylvianita Widyawati
Tangguh Pitoyo
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Ilat
Teater nDrinDinG
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tias Tatanka
Timur Sinar Suprabana
Titi Aoska
Tiyasa Jati Pramono
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Toni Masdiono
Tri Broto Wibisono
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Tulus Wijanarko
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Jember
Universitas Negeri Jember
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W.S. Rendra
Wage Daksinarga
Wahyu Aji
Warung Boengaketjil
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wiji Thukul
Wildan Nugraha
Wildana Wargadinata
Yanusa Nugroho
Yasraf Amir Piliang
Yerusalem Ibu Kota Palestina
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhi Herwibowo
Yuditeha
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Zainal Arifin Thoha
Zainuddin Sugendal
Zara Zettira ZR
Zehan Zareez
Zuhdi Swt
Tidak ada komentar:
Posting Komentar