Pos Kupang, 6 Sep 2009
Pagi berganti setiap hari. Juga matahari dan air di perigi. Tapi kami tetap tinggal di rumah yang sama. Menimbang langit yang sama. Mandi di air yang sama.
Pagi adalah matahari yang menyirami kami dengan kekuatan untuk bersyukur. Kami dibangunkan oleh derit pintu pagi yang dibukakan matahari agar kami dapat bergegas, sebab malam telah dikalahkan. Kami awali semuanya dengan kekhusyukan doa-doa kami yang kami pakai sebagai landasan pijak untuk menapaki hari-hari kami.
Pagi dan malam selalu baru, bukan hanya untuk menunjukkan bahwa waktu selalu berputar tapi juga menyadarkan kami bahwa kami selalu membutuhkan doa, dan pengampunan dari Tuhan kami.
Bagaimana kami dapat melangkah bila sepasang kaki kami dilumpuhkan dosa-dosa kami? Bagaimana kami dapat bersandar jika pepohonan kami telah mati dan lapuk? Karena itulah kami jaga sepasang kaki dengan saling menolong dan menguatkan. Karena itulah kami siram pepohonan kami dengan memohon pengampunan atas setiap salah dan dosa kami. Dan semuanya kami jalankan di sini ùrumah mungil di pinggir kota.
Rumah mungil ini selalu menghangatkan segala yang dingin, bahkan kebekuan hati kami sendiri. Jika memang matahari tak bisa lagi menghangatkan rumah kami, tak lagi bisa menghangatkan kami yang berdiam di dalamnya, maka kami percaya bahwa rumah kamilah yang kini sedang menghangatkan matahari.
Sebab di rumah ini, setiap kami memiliki pijar kami masing-masing yang membuat kami selalu mampu saling mendukung dan menghangatkan.
Jikalau matahari kekal, maka pijar yang kami miliki pastilah sekekal matahari. Tapi matahari tak lagi kekal sebab tak mampu menghangatkan rumah kami. Maka pijar kami lebih kekal dari matahari, bahkan setelah kami pergi meninggalkan rumah mungil ini.
Inilah yang ingin kami bagikan kepadamu. Sebab inilah rumah mungil yang membesarkan kami; rumah yang dinding-dindingnya mulai retak dimakan usia namun mampu mempersatukan kami. Sebelum menemukan rumah ini, kami adalah orang asing yang tak saling kenal.
Tapi jika kami telah saling mengenal pada awalnya, maka di rumah ini hubungan kami semakin dipererat. Bahkan, setiap goresan di tubuh salah satu dari kami, mampu melukai setiap kami. Setiap nyeri yang tertancap di tubuhnya, menyakitkan pula bagi kami.
Jika engkau ingin merasakan apa yang kami rasakan, datanglah ke rumah kami dan jadilah bagian dari kami. Meski terletak di pinggir kota, rumah mungil kami sangat mudah ditemukan. Dari arah mana pun di kota, ikutilah jalan yang ditunjukkan pepohonan angsana.
Dan tepat setelah pusat perbelanjaan terbesar di kota ini, akan kautemukan sebuah jalan setapak ke rumah kami. Di situlah kendaraanmu harus berhenti. Di ujung jalan itulah engkau harus meletakkan batasmu dengan duniamu sebelum menelusuri jalan ke rumah kami.
Untuk sampai di sini, engkau harus memilih dengan baik pakaian yang akan kaugunakan. Sebab setelah memasuki jalan setapak itu, banyak semak duri dan kerikil tajam yang mengintai setiap inci kulitmu. Jangan engkau menyerah hanya karena hal itu.
Duri-duri dan kerikil hanyalah setitik noda yang berusaha mengaburkan lukisan pelangimu. Karena itu, tugasmu adalah menempatkan noda itu di deret warna paling cocok di antara lukisan pelangimu agar ia menjadi bagian indah dari lukisanmu.
Bila engkau masih bingung, di mana engkau harus meletakkan noda itu, anggaplah itu sebagai sebuah jalan salib. Dan tetaplah menelusuri jalan itu, rasakan setiap kelokan dan tanjakannya, sebab sengsaramu tak akan pernah sebesar sengsara Tuhan di Via Dolorosa.
Dan di ujung jalan itu, rumah kami berdiri sebagai cahaya yang menantimu. Songsonglah cahaya itu sebab jalan salibmu telah menyelamatkanmu.
***
Tapi ini rumah kami, di mana malam-malam kami menjengkal jarak bintang, mendepa jauh rembulan, sebelum siang menakar peredaran darah anak bumi. Inilah rumah kami. rumah yang membuat kami selalu ingin pulang, meskipun sekadar untuk mandi di air perigi.
Rumah kami mungil dan sederhana, semungil dan sesederhana kehidupan yang kami taburi dengan segala keakraban. Hidup terlalu singkat untuk dihabiskan dengan saling membenci.
Mencintai dengan penuh kesederhanaan merupakan alasan kami bertahan dalam kebersamaan ini. Tak perlu kalkulasi untung rugi, kami saling mencintai dan itulah yang kami tunjukkan dalam tingkah hidup bersama di rumah ini.
Tak ada yang istimewa dalam diri kami. Kami sama sepertimu; mampu menangis juga tertawa, tak sungkan bersedih maupun bergembira. Tapi semuanya kami bagi bersama. Setiap orang mendapat bagiannya masing-masing.
Bila ada duka yang menghantam salah satu dari kami, maka setiap tetes airmatanya kami bagikan sama rata agar tangis tak perlu sebesar bila duka dihadapi sendiri. Bila suka menguntai senyum, maka kami akan sama-sama puas tertawa bahkan bila masing-masing hanya dibagikan sedetik tawa.
Tak perlu fakta matematis untuk membuktikan keadilan kami dalam berbagi.
Setiap akibat pastilah berawal pada sebab. Tangis dan tawa kami pun merupakan bagian tak terpisahkan dari rantai sebab akibat ini. Salah satu mata rantainya adalah perpisahan.
Seperempat abad rumah ini telah berdiri. Tapi hanya empat tahun batas normal yang digariskan bagi kami sebagai anak untuk berada di rumah ini. Tapi segalanya tergantung pada kami.
Ada sebagian yang tak ingin berlama-lama di sini dan memutuskan untuk berangkat lebih awal. Kebersamaan mungkin sudah mencapai batas jemu dalam diri mereka.
Dan selalu ada tangis, selalu ada airmata yang dicucurkan. Tak pernah jelas arti janin airmata yang dilahirkan kelopak mata kami. Yang selalu kami harapkan adalah semoga airmata mampu melegakan segala yang menyesaki hati.
Termasuk kehilangan. Padahal jauh sebelumnya telah kami sadari bahwa pertemuan adalah awal sebuah kehilangan. Karena itulah harapan bahwa kehilangan menjelma awal sebuah pertemuan pun kami layangkan kepada Tuhan.
Karena itu pula, doa menjadi bagian dari mata rantai ini. Sebagaimana cinta menguatkan kebersamaan kami, demikian pun doa menguatkan perpisahan kami. Inilah anomali yang terjadi pada kami.
Tak melulu cinta yang hadir bila kami bersama. Selalu ada percekcokan dan selisih pendapat. Tapi doa mempererat jarak bila kami berjauhan. Sebab jauh di dalam hati kami telah kami sebarkan benih yang kami harapkan kelak tumbuh dan membawa kami kembali sebagai orangtua di rumah ini.
***
Bila kami ingin pulang, kami pun pergi karena hanya setelah pergi orang akan pulang. dan mobil inilah yang membawa kami pergi ke perbatasan paling jauh.
Perbatasan paling jauh dalam diri kami.
Kami selalu ingin pulang ke rumah bila berada di luar. Hal ini pun bahkan dirasakan oleh mereka yang hanya sehari berada di rumah ini. Meski telah kami temukan banyak cinta di luar, tapi tak ada yang mampu menandingi kehangatan cinta yang kami rasakan di dalam rumah. Dan keinginan itulah yang membuat kami selalu berusaha hidup baik di tengah kehidupan kami di luar.
Agar bila kami kembali, harumnya kebaikan dapat kami sebarkan hingga ke dalam rumah. Agar kami tak menyesal telah memiliki cinta dari dalam rumah yang menguatkan langkah kami di luar.
Dalam rumah inilah, kami saling berbagi, memahami dan berusaha menjadi diri sendiri. Bukan hanya semata persatuan, tetapi kemajemukan pun turut menguatkan kami agar kami saling mengisi celah yang kosong.
Karena itulah rumah ini kokoh berdiri selama seperempat abad. Meskipun pernah dipugar, ia tetaplah sama bagi kami; rumah mungil di pinggir kota.
Bagi setiap angkatan, rumah ini akan tetap menjadi rumah mungil yang kaya akan cinta, kebersamaan, persatuan dan kemajemukan. Juga bagi kami yang sebentar lagi akan pergi meninggalkan rumah ini.
Kami harus pergi agar ada angkatan lain yang datang mengisi kekosongan kami. Meskipun nantinya kami meninggalkan rumah ini, tapi perjalanan paling jauh telah kami tempuh di dalam rumah ini; perjalanan ke dalam diri kami sendiri.
Betapa kami masih ingin membagikan cerita ini bagimu tapi bis kami telah menanti di luar; bis yang akan mengantarkan kami untuk melanjutkan cerita tentang rumah kami kepada dunia luar.
Tapi engkau tak perlu khawatir. Jika engkau ingin seperti kami, datanglah ke rumah kami. Jadilah bagian dari angkatan yang akan mengisi kekosongan yang kami tinggalkan. Percayalah, selalu ada kehangatan dan cinta yang menantimu di rumah mungil ini.
Demikianlah kami seringkali pergi, karena kami tahu nikmatnya pulang.
Kupang, 15 Agustus 2009
Untuk Seminari St. Rafael Oepoi yang merayakan Pesta Perak 25 tahun pada 29 September 2009
https://kupang.tribunnews.com/2009/09/06/rumah-mungil-di-pinggir-kota
Tidak ada komentar:
Posting Komentar