Pulau kita tak keliru. Tapi, memang terlalu cantik.
Padahal kita tak butuh kecantikan. Apalagi untuk
sebuah ketenggelaman yang akan tiba. Ketenggelaman
yang seluruh dirinya dibungkus asap dan kabut.
Yang cuma matanya saja menyala. Dan dengusnya
pernah mengisi setiap relung-lubang. Saat kita
yang telanjang mengingati kelalaian yang sering
merangsek. Sambil membidik bagian-tepi-pelipis.
Agar dapat mengusir si pengelabu. Memang pulau
kita tak keliru. Tapi, karena terlalu cantik, maka
banyak yang menyuntingnya. Dan banyak pula yang
akan menukarnya dengan puisi atau kembang.
Yang kelak akan berkhianat, atau menyingkap
pakaian kita di malam yang dingin. Agar kita
mematung di dermaga itu. Sambil menunjuk-nunjuk
jejak pesawat di angkasa yang memberat.
Yang pernah menyelinap di selimut-masa-kanak-kita.
Dan menidurkan kita seperti si waktu-apung.
Si waktu-apung yang selalu menjulurkan tangannya.
Untuk merapikan pulau kita. Pulau kita yang beda.
Memang, pulau kita tak keliru. Dan kita, kadang
ada baiknya membuka seluruh daya-peluk-lekuk. Dan
memahami, jika esok ketenggelaman itu tiba sudah,
tak ada yang boleh menyebut pulau kita sembarangan!
(Gresik, 2007)
KASTOBA
Ketika dia mati kepalanya aku letakkan di selatan.
Dan ketika aku mati kepalaku dia letakkan di utara.
Kami, berdua, adalah pasangan kekasih yang sesekali
waktu mengguriskan titian panjang. Terus sampai
pada mimpi yang merapat di kelokan-gelap-ranjang.
Dan di langit yang sengit, beribu biji api menyiagakan
tubuhnya. Mencoba mengejari kami. Seperti kejaran talkin
yang mujarab. Yang selalu berpendaran di ujung jukung.
Yang mencari pintu pantai. Tempat para-penyair-mabuk
kembali dari dunia yang lain yang kerap menyesatkannya.
Dunia yang pernah kami kunjungi. Dunia setiap yang
dipanggil dengan kegemetaran, selalu leluasa melepaskan
jerohannya. Dan menghantui siapa saja yang melintas
dengan nyawa tinggal seleher. Sambil terus menghafali
letak-liang-gelap yang bertuliskan nama sendiri.
Dan sebagai pasangan kekasih, kami memang mati bersamaan.
Padahal kami tak berjanji. Apalagi memarafkan amanat
di kersik-surat-segel. Kami hanya percaya, sejak lahir:
“Hidup kami memang menyatu,” Yang hanya terpisah
di dua wadag yang saling mengenal dan menyayang.
Seperti matahari dan bulan yang kerap mengintip. Dan
kerap saling mengirim kabar dan muslihat. Sampai
setiap ketakmungkinan yang benderang menetes. Di kedua
mata kami yang jingga. Dan makin menjingga oleh uluran
embun dari ujung saga. Embun yang menyemburi si penjaga.
Dan di hadapanmu, apa yang makin menjingga itu menyepuh.
Menyepuh setiap yang tak lagi kau ingat. Juga setiap
yang tak lagi membuatmu mampu menerakan teka-teki.
Tentang kepala, pasangan kekasih, selatan, utara dan
juga tentang beribu biji api yang menyiagakan tubuhnya.
Beribu biji api yang mencoba mengejari kami itu!
(Gresik, 2007)
KUDUK-KUDUK
Dan memang pantai masih tak bergeming. Tetap rapat pada kekelabuan. Pada setiap yang datang dari yang tak terpikir. Dan angkasa. Dan setiap yang telah merusak ketinggian angkasa, seperti ribuan igauan yang akan turun dan berpesta di sini. Seperti pesta para penerjang yang menyerak. Dengan napas tersenggal. Dengan keringat yang membanjir. Seperti ketika bayi 7 bulan turun ke tanah. Seekor korban dipotong. Dan yang mampu membaca lintasan angin pun menusuk-nusuk jantungnya sendiri: huh!
Ya, mereka memang menjaga bapak di bakau-bakau. Tapi, ibu dan kaumnya mereka jaga dimana? Arena telah digaris. Di sudutnya, sepasang mata yang dipenuhi rasa menyelidik pun telah mendatangkan sekian penghitung. Yang akan mengusir ketidak-beranian yang licin. “Siapa yang lari itu pengecut!” Dan kau, yang barangkali lari, telah kehilangan kaki dan tangan. Hanya lidahmu yang terus menggelinjang. Padahal di depanmu, mereka, si penerjang makin asik dengan lompatan dan ocehannya.
Dan mereka memang menghibur dan menyenangkan benturan. Wujudnya cadas. Liat dan keling. Dan sekian nama yang lolos pun diguritkan dalam-dalam. Sedang yang jatuh duluan dan terjebak, cuma bisa menangis sambil menjabak-jambak rambutnya. Nama mereka tak boleh disebut-sebut. Lihat, lihatlah, lidah mereka jadi tak terkontrol. Apa menggelinding atau digelinding selalu dipaku di tengah asap. Jutaan warna terus menyergap. Dan jutaan yang lain pun menyerbu. Tapi dari persembunyian yang rahasia, ada juga yang menyela: “Selalu saja letusan tak lumrah itu lahir belakangan!”
(Gresik, 2007)
*) Dari kumpulan puisi Mardi Luhung bertitel “BUWUN” diterbitkan PUstaka puJAngga, 2010.
MARDI LUHUNG: Lahir di Gresik, 5 Maret 1965. Dia lulusan Fakultas Sastra Jurusan Sastra Indonesia Universitas Jember. Puisinya tersebar di berbagai media, seperti: Kalam, Surabaya Post, Kompas, Media Indonesia, Koran Tempo, HAI, Kuntum, Tebuireng, Memorandum, Kolong, Teras, Buletin DKS, Kidung DKJT, Karya Darma dan Jurnal Selarong. Sedangkan buku yang memuat puisinya adalah: Antologi Puisi Indonesia (KSI, 1997), Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia (Grasindo, 2003), Horison Sastra Indonesia: Kitab Puisi (Horison, 2002), Bapakku Telah Pergi (BMS, 1995), TUK volume II Bertandang dalam Proses (TUK, 1999), Mimbar Penyair Abad 21 (DKJ, 1996), Birahi Hujan (DKJ-AKAR-Logung, 2004) dan Living Together (Kalam, 2005). Buku puisi tunggalnya: Terbelah Sudah Jantungku (1996) dan Wanita yang Kencing di Semak (2002). Pernah memenangkan lomba penulisan esai tingkat nasional pada Sayembara Mengarang tentang Apresiasi Sastra untuk Guru SLTA yang diadakan oleh Kepala Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1999). Mengikuti Program Penulisan Mastera (Majelis Sastra Asia Tenggara) dalam Bidang Puisi (2002), Cakrawala Sastra Indonesia (2004), International Literary Biennale (2005) serta diundang dalam Festival Kesenian Yogyakarta XVIII/2006. http://sastra-indonesia.com/2010/07/puisi-puisi-mardi-luhung-2/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar