Senin, 16 November 2020

Asrul Sani dan Keharusan untuk Berkhotbah

 
(Asrul Sani, sastrawan dan sutradara film ternama asal Indonesia. Tahun 2000 Asrul Sani menerima penghargaan Bintang Mahaputra dari Pemerintah RI)
 
Bahrul Amsal *
 
Saya percaya ide menulis bisa ditemukan dari membaca kembali tulisan-tulisan yang telah lama tersimpan. Jika Anda memiliki kebiasan menulis, sesungguhnya itu jauh lebih mengasyikkan jika membiarkan pikiranmu dijerat rencana-rencana ambisius seperti saat orang-orang menantikan pergantian awal tahun. Tapi, jika menulis adalah suatu keharusan, itu malah jauh lebih menyesakkan. Anda seperti mendapatkan kutukan. Anda harus melakukannya.
 
Saya menjadi ingat artikel AS Laksana dengan judul yang justru samar-samar di dalam benak saya. Kalau tidak salah tulisan itu dibuat untuk membahas sepak terjang kepenyairan seorang Asrul Sani. Salah satu problem dilematis dalam artikel itu dikemukakan AS Laksana mengenai apakah keharusan penyair atau penulis ikut berkewajiban menanggung beban situasi sosial yang melingkupinya. Atau dengan kata lain, mungkinkah seorang penyair mengharuskan tulisan-tulisannya mengandung unsur-unsur tanggung jawab sosial? Samakah seorang penyair dengan ideolog?
 
Pertanyaan ini pula yang mendasari apakah ada “keharusan” bagi siapa pun untuk menulis? Jika memang harus, apa yang melatarbelakanginya? Suatu tanggung jawab sejarahkah?
 
Barangkali karena itu banyak cerpen-cerpen Asrul Sani disebut sebagai sastra gigantis. AS Laksana bahkan banyak menelusuri kepenulisan Asrul Sani, terutama di dalam cerpen-cerpennya, tokoh-tokoh yang kaku dan sok-sok filosofis. Hampir semua dialog dalam cerpen-cerpen Asrul Sani, di dorong, direnungkan, dan difilosofiskan tokoh-tokohnya. Imbasnya, tokoh macam demikian menjadi orang yang berkarakter dingin dan datar, sekaligus pengkhotbah.
 
Menurut saya, tokoh yang diidealkan sebagai pengkotbah bukanlah tipe karakter yang lentur dan mencerahkan. Terkadang, tokoh yang berpotensi menjadi pengkotbah malah menutup segi-segi sudut pandang yang dimungkinkan dalam setiap penokohannya. Dalam dialog, misalnya, lawan bicara didudukkan seperti pesakitan yang harus lebih banyak mendengar dan dinasehati. Akhirnya, dialog menjadi semacam ceramah keagamaan tinimbang perbincangan manusiawi selayaknya keadaan sehari-hari.
 
Begitulah, dalam tulisan itu pula AS Laksana menuliskan kesulitan setiap penulis cerpen ketika membangun dialog dalam ceritanya. Pertanyaannya, apakah mungkin dialog hanya bagian cerpen yang sengaja diadakan hanya untuk menjadi saluran nilai tertentu, ataukah seperti kejadian sehari-hari, suatu peristiwa organik yang tidak diarahkan dan dibuat-buat?
 
Tentu ini bukan perbandingan antara cerita-cerita yang bermuatan nilai luhur dengan cerita yang berserakan nilai lumpur. Tapi, di artikel itu AS Laksana mengatakan hampir semua cerpen-cerpen yang ditulis Asrul Sani tidak jauh berbeda seperti buku diktat filsafat. Bahkan disebutkan AS Laksana, Asrul Sani hanya meminjam mulut tokoh-tokoh cerpennya sebagai corong aspirasi pribadinya.
 
Kecenderungan ini dibilangkan AS Laksana sebagai kecenderungan kenabian. Kecenderungan kenabian kadang membuat orang melihat medan ekspresi seni seperti medan dakwah. Hampir segala medan harus diimbuhi pesan-pesan bermoral. Semuanya harus tunduk di dalam kriteria moral tertentu.
 
Kecenderungan kenabian saya kira banyak dialami di dalam tulisan-tulisan yang mirip pamflet. Bisa dibilang, entah itu esai ataupun cerpen, misalnya, hanyalah tubuh tumpangan niatan moralis yang kadung tidak menemukan jalan solutif di alam kenyataan. Sehingga di dalam pengertian tertentu, karya tulis yang dibentuk dengan cara demikian akan jatuh di dalam karya tulis yang terdorong motif heroisme.
 
Akan sulit ditemukan indikatornya apakah karangan macam demikian hanyalah eskapisme dari realitas sebenarnya. Sehingga, imbasnya, idealitas hampir akan banyak menyesaki seluruh ide-ide tulisan di dalamnya. Dengan kata lain, hampir semua idealitas ditumpahkan begitu saja tanpa tersisa dalam karya tulis sampai tidak menyisakan ruang kosong untuk permenungan sang pembaca.
 
Namun, nilai intristik karya tulis kadang dipengaruhi situasi sosial-budaya yang melingkupinya. Itu juga yang menyebabkan mengapa karangan-karangan Asrul Sani sarat dengan beban ide. Situasi di luar tulisan-tulisan Asrul Sani-lah yang membuatnya memiliki keharusan untuk berurusan dengan nilai-nilai ideal.
 
Situasi inilah yang saya kira juga banyak dialami oleh penulis-penulis di masa revolusi Indonesia.  Zaman bergerak sekuat tenaga di atas tanah pertiwi menentang penjajahan. Jika militer saat itu mengangkat tinggi-tinggi senjata demi mempertahankan tanah airnya, situasi yang hampir sama dialami pula penulis-penulis era revolusi, pasca revolusi, dan era setelahnya untuk merumuskan paras Ibu Pertiwi yang seharusnya.
 
“Ibu Pertiwi yang seharusnya” inilah yang menurut saya menjadi lapisan alam bawah sadar siapa pun saat itu ketika berkeinginan dan membayangkan alam indonesia yang ideal.  Itu berarti di bawah bayang-bayang “ibu pertiwi yang seharusnya” setiap keadaan diukur dan dirinci sedemikian rupa agar Indonesia kala itu menjadi bangsa yang bermartabat.
 
Di situlah menurut saya aras pemikiran ideologis kadang tak memiliki batasan tegas antara sastra ataupun seni. Dimensi pemikiran yang menghendaki suatu pernyaatan harus didirikan dalam bangun-pikir yang logis dan sistemik, berjalinkelindan dengan semangat kebebasan imajinatif dan ekspresif yang dipompa dari jantung sastra dan seni.
 
Di antara tegangan keharusan keketatan ide-ide dengan kebebasan imajinatif dan ekspresif itulah, saya kira yang membuat Asrul Sani dan penulis di masanya mengambil pijakan salah satu di antaranya. Dan, saya kira itulah sebabnya mengapa tulisan-tulisan Asrul Sani ketat dengan muatan ide-ide. Bahkan, puisi-puisi gigantisnya.
 
Sampai di sini, mestikah suatu tulisan diimbuhi ide-ide besar? Semacam tulisan yang mengusung agenda-agenda tertentu?
 
Saya berpikir alangkah menyenangkan jika pilihan-pilihan pekerjaan seseorang ditengarai perasaan suka cita. Riang gembira dan bebas tanpa beban. Bukan soal amanah apa yang mensituasikannya, melainkan kebahagiaan apa yang ada di baliknya.
 
Begitu pula ketika suatu karya tulis mesti bergerak di antara kebebasan dan kesenangan berkespresi. Bukan sebagai karya yang didorong semacam “rasa bertanggung jawab” terhadap sesuatu di luar karya tulis itu sendiri. Artinya, seperti yang disebutkan Eka Kurniawan, tanggungg jawab seorang penulis yang paling utama adalah melahirkan karya-karya yang baik. Tapi, bagaimanakah karya tulis yang baik itu? Saya kira ini inti soal lain yang segera harus dijawab dari karya setiap penulis.
 
Barangkali kebahagiaan belakangan ini adalah hal paling berharga yang mudah tercuri dari jiwa kita. Banyak di antara kita menjadi tokoh-tokoh cerpen yang sarat khotbah ketika mengungkapkan sesuatu. Menjadi orang yang berkarakter serius dan menegangkan. Ibarat seperti ahli agama yang mendefenisikan dunia hanya dari dua sisi ekstrim surga dan neraka.
 
Dan, ibarat ilustrasi George Orwell dalam 1984, suasana kehidupan saat ini seperti diawasi semacam The Big Father yang banyak dan paling berhak menentukan pilihan-pilihan manusiawi kita. Hidup seolah-olah bagaikan di dalam istana cermin. Nampak indah dari dalam, tapi sangat rapuh dan begitu gampang ditembusi pengawasan dari entah siapa. Seperti misalnya, soal haram-halal, sudah banyak menyosor mengontrol dan menyasar hal ihwal yang sebetulnya sepele. Era kiwari, haram-halal, boleh-tidak boleh, harus-tidak harus bukan sekadar imbas pertimbangan yang panjang dan hati-hati, malah lebih mirip obral barang-barang bekas yang mudah ditemukan.
 
Inti dari soal ini, dunia lain hal dan kehidupan kita lain soal. Walaupun keduanya memiliki ikatan di bagian-bagian tertentu, saya merasa hal yang paling memerdekakan adalah menjaga apa yang kita punyai dengan semangat bergembira. Seperti misalnya menulis bukan karena didorong dengan imperatif tertentu, melainkan suatu upaya menakar seberapa besar jiwa kita menjadi tempat sampah atau sebalikya, menjadi wadah daur ulang.
 
1 Jan 2017
 
*) Bahrul Amsal, penulis buku “Jejak Dunia yang Retak” (2012).Pada tahun 2016 menjadi salah satu kontributor buku antologi 100 esai-esai pilihan Koran Tempo Makassar: Telinga Palsu (Nala Cipta, Makassar). Akhir 2016 menulis epilog buku kumpulan puisi Nyanyian Seribu Jiwa. Mendirikan, mengasuh dan aktif di Kelas Literasi Paradigma Institute Makassar (2015), komunitas kajian Pojok Bunker Makassar (2015), dan komunitas Ngobrol Ngopi Kolektif Lemo-Lemo (2020). Dapat berkorespondensi melalui bahrulamsal@gmail.com.

https://sastra-indonesia.com/2020/11/asrul-sani-dan-keharusan-untuk-berkhotbah/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

20 Tahun Kebangkitan Sastra-Teater Lamongan A Jalal A. Anzieb A. Khoirul Anam A. Mustofa Bisri A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja Abdoel Moeis Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdullah Abubakar Batarfie Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Achdiat K. Mihardja Achiar M Permana Adek Alwi Adhi Pandoyo Adib Baroya Aditya Ardi N Adri Sandra Adu Pesona Sang Wakil Cawapres RI Afrizal Malna Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Buchori Agus Dermawan T. Agus Mulyadi Agus Prasmono Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahmad Farid Yahya Ahmad Hasan MS Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Saifullah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alawi Al-Bantani Alfatihatus Sholihatunnisa Alfian Dippahatang Ali Audah Alim Bakhtiar Amie Williams Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amril Taufik Gobel An. Ismanto Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 AndongBuku #3 Andrea Hirata Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Antologi Sastra Lamongan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Arafat Nur Ardi Wina Saputra Ardy Suryantoko Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arman A.Z. Arsyad Indradi Asarpin Ashimuddin Musa Asrul Sani Astuti Ananta Toer Atafras Audifax Awalludin GD Mualif Ayu Nuzul Azizah Hefni B Kunto Wibisono Bahrul Amsal Bambang Kempling Beni Setia Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bloomberg Bre Redana Budaya Budi Darma Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Candra Adikara Irawan Candrakirana Cangaan Ujungpangkah Gresik Jawa Timur Capres Cawapres 2019 Catatan Ceramah Cerpen Chairil Anwar Chicilia Risca CNN Indonesia Coronavirus COVID-19 D. Zawawi Imron Damiri Mahmud Darju Prasetya Darman Moenir Deddy Arsya Denny JA Denny Mizhar Devy Kurnia Alamsyah Dhoni Zustiyantoro Dian Sukarno Didin Tulus Dien Makmur Din Saja Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Donny Anggoro Donny Darmawan Dr. Hilma Rosyida Ahmad Dwi Cipta Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dyah Ayu Fitriana Ecep Heryadi Edy Suprayitno Eka Budianta Eka Kurniawan Elok Dyah Messwati Engkos Kosnadi Erdogan Erwin Setia Esai Esti Nuryani Kasam Evan Ys F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Fahrur Rozi Faidil Akbar Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathul Qorib Fatkhul Anas Feby Indirani Felix K. Nesi Festival Teater Religi Festival Teater Religi Pelajar SLTA Se-kabupaten Lamongan Fira Basuki Forum Santri Nasional (FSN) Frischa Aswarini Fuad Mardhatillah UY Tiba Fuad Nawawi Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gde Artawan Geger Riyanto Geguritan Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Guenter Grass Gus Ahmad Syauqi Gus tf Gusti Eka Habib Bahar bin Smith Haiku Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Han Gagas Hary B Koriun Hasan Basri Hasnan Bachtiar Heri Ruslan Herman Hesse Hertha Mueller Heru Kurniawan Hestri Hurustyanti Holy Adib Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu I Made Prabaswara I Made Sujaya IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah) Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Iksaka Banu Imam Jazuli Imam Nawawi Imammuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Mahadi Indra Tjahyadi Irfan Afifi Irine Rakhmawati Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS J.S. Badudu Jadid Al Farisy Jajang R Kawentar Jawa Timur Jean Marie Gustave le Clezio JJ. Kusni Jl Raya Simo Sungelebak Jo Batara Surya John H. McGlynn Jordaidan Rizsyah Jual Buku Paket Hemat Juara 3 Lomba Lompat Jauh DISPORA LAMONGAN Jurnalisme Sastrawi K.H. Ma'ruf Amin Kadek Suartaya Kaheesa Kirania Putri Ayu Kahfie Nazaruddin Kalis Mardiasih Kamaluddin Ramdhan Kanti W. Janis Karanggeneng Kardono Setyorakhmadi Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Pantura (KBP) KetemuBuku Jombang KH. M. Najib Muhammad KH. Muhammad Amin (1910-1949) Khairul Mufid Jr Khawas Auskarni Khoirul Abidin Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kitab Arbain Nawawi Kodrat Setiawan Kompas TV Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra dan Teater Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) Kopuisi Kostela Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kurnia Effendi Kuswaidi Syafi’ie L Ridwan Muljosudarmo L.K. Ara Lamongan Lan Fang Lawi Ibung Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Literasi Liza Wahyuninto Lukas Luwarso Lukisan Lukman Lukman Santoso Az Lutfi Mardiansyah M Farid W Makkulau M. Faizi M.D. Atmaja Madrasah Aliyah Matholi'ul Anwar Madrasah Ibtida’iyah Thoriqotul Hidayah 1 Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S Mahayana Manado Manneke Budiman Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mario F. Lawi Marsel Robot Martin Aleida Marwanto Mashuri Massayu Masuki M. Astro Masyhudi Media Seputar Pendidikan Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Purnama di Kampung Halaman Mereka yang Menjerat Gus Dur MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mien Uno Moh. Dzunnurrain Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Rafi Azzamy Mohammad Rokib Mohammad Yamin Muafiqul Khalid MD Much. Khoiri Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alfatih Suryadilaga Muhammad Antakusuma Muhammad Fikry Mauludy Muhammad Hafil Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad N. Hassan Muhammad Subarkah Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Muhyiddin Mukadi Mukani Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Musa Ismail Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang E S Nara Ahirullah Naskah Teater Nezar Patria Noor H. Dee Nunus Supardi Nur Haryanto Nur Wachid Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Okky Madasari Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Pameran Lukisan Parimono V / 40 Plandi Jombang PC. Lesbumi NU Babat PDS HB Jassin Pelukis Dahlan Kong Pelukis Tarmuzie Penculikan Aktivis 1988 Pendidikan Pengajian Pengarang kelahiran Lamongan Pentigraf Pepaosan Perbincangan Peringatan Hari Pahlawan 10 November Pilang Tejoasri Laren Lamongan Jawa Timur Pipiet Senja Politik Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Jokowi Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi (PMK) Puji Santosa Pustaka LaBRAK PUstaka puJAngga R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Reuni dan Halal Bihalal Mts Putra-Putri Simo 1992 Ribut Wijoto Riki Antoni Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Robin Al Kautsar Rodli TL Roland Barthes Rosi Rosihan Anwar RR Miranda Rumah Budaya Pantura (RBP) S. Jai S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabrank Suparno Safitri Ningrum Sainul Hermawan Sajak Salman Aristo Sandiaga Uno Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Sastra Tasikmalaya (SST) Sarasehan dan Launching Buku Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Kuno Suku Sasak Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Satu Jam Sastra Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seni Gumira Ajidarma Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Pendidikan Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sirdjanul Ghufron Siwi Dwi Saputro Slamet Rahardjo Rais Soediro Satoto Soekarno Soeparno S. Adhy Soesilo Toer Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Handi Lestari Sri Wintala Achmad STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sujatmiko Sukarno Suminto A. Sayuti Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahrudin Attar Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Sylvianita Widyawati Tangguh Pitoyo Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teater nDrinDinG Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tias Tatanka Timur Sinar Suprabana Titi Aoska Tiyasa Jati Pramono Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Toni Masdiono Tri Broto Wibisono TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Jember Universitas Negeri Jember Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyu Aji Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Wiji Thukul Wildan Nugraha Wildana Wargadinata Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yerusalem Ibu Kota Palestina Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Herwibowo Yuditeha Yusri Fajar Yuval Noah Harari Zainal Arifin Thoha Zainuddin Sugendal Zara Zettira ZR Zehan Zareez Zuhdi Swt