Terkepung hampir setahun, saya kembali berkaca pada kearifan masa lalu. Bagaimana tetap hidup dengan menghemat, jangan sampai ada butir nasi yang tak termakan karena jadi kerak.
Di dalam kamp konsentrasi Operasi Kalong, tahanan sebatang kara seperti saya, diajak kawan-kawan tahanan yang dapat kunjungan keluarga untuk masuk dalam riungan mereka. Masing-masing menyumbang supaya bisa hidup dengan tidak hanya mengandalkan jatah dua besek nasi dari tuan bersenjata yang berkuasa. Jatah yang hanya akan menguras tulang dan daging tubuh kami: beberapa kepal nasi bersayur kangkung campur belatung.
Sebatang kara. Tak punya apa-apa. Ketiadaan mengajarkan saya bagaimana menanak nasi di kaleng palmboom tanpa memberikan kesempatan dasar kaleng merebut nasi menjadi kerak, walau sebutir.
Berdamai baik-baik dengan api yang sudah tinggal bara, mengasah kepekaan, itulah kuncinya.
Dalam kungkungan korona sekarang, untuk menghemat, saya mengambil oper pekerjaan menanak nasi dari istri. Tak ada rice cooker, cuma rasa yang dipertajam untuk menyambut nasi seutuhnya. Tak sebutir beras pun yang menangis lantaran jadi kerak.
Salam sehat.
*) Martin Aleida, sastarwan kelahiran Tanjung Balai, Sumatra Utara, 31 Desember 1943, dengan nama asli Nurlan. Namanya dikenal melalui karya-karyanya berupa cerpen dan novel. Pernah, sebagai wartawan di harian Zaman Baru, dan profesi inilah yang mengantarkannya ke penjara, ditangkap oleh Orde Baru sebab koran tersebut diterbitkan Lembaga Kesenian Rakyat, yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia.
http://sastra-indonesia.com/2020/11/sebutir-nasi-romantisme-tahun-kekerasan/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar