A.P. Edi Atmaja *
rimanews.comDalam nomenklatur strukturalisme, telah lama terpancang dalil bahwa ilmu bahasa (lingustik) hanyalah bagian dari ilmu tanda (semiologi) yang amat luas cakupannya. Dalil itu pertama kali dicetuskan oleh Ferdinand de Saussure dalam bukunya, Cours de Linguistique Generale, yang terbit pada 1916.
Sejak awal, semiologi memang dimaksudkan buat menggeledah segala sistem tanda, apa pun substansi dan ranahnya. Citra, gerak tubuh, suara musik, benda, ataupun gabungan di antara substansi-substansi itu membangun, jika bukan bahasa, setidaknya sistem penandaan. Namun, hari-hari ini, terasa sekali kenyataan bahwa bahasa memegang peran utama dalam semiologi: tiada sistem tanda yang selengkap bahasa manusia. Kian sulit membayangkan sistem citra dan objek yang petandanya bisa mandiri dari bahasa (hal vii).
Roland Barthes, dalam buku ringkas ini, mendedahkan elemen-elemen semiologi dengan bertolak dari asumsi tadi, yakni bahwa semiologi justru merupakan cabang dari linguistik. Beranjak dari akar konsep-konsep analitis linguistik, Barthes menyulam elemen-elemen semiologi secara lebih struktural dan sinkronis ketimbang Saussure.
Mula-mula, Barthes menjelaskan konsep bahasa (langue) dan tuturan (parole) yang merupakan sentral pemikiran Saussure. Menurut Saussure, bahasa adalah institusi sosial yang tidak tunduk pada campur tangan dari luar—tiada seorang pun yang mampu menciptakan atau mengubah kondisi ini. Bahasa adalah sebentuk perjanjian bersama yang mutlak diterima jika orang hendak berkomunikasi (hal 2). Berkebalikan dengan bahasa, tuturan pada dasarnya merupakan tindakan seleksi dan aktualisasi perseorangan, yang menjadi kekhasan saban individu.
Bahasa dan tuturan mesti dipahami dalam posisi dialektis yang saling menghubungkan: tiada bahasa tanpa tuturan dan tiada tuturan tanpa bahasa. Barthes mengafirmasi keterhubungan itu dalam sistem busana, makanan, mobil, dan perabot rumah. Menu makanan, sebagai contoh, mengilustrasikan dengan baik pertautan antara bahasa dan tuturan. Setiap menu tersusun dari struktur tertentu—yang bersifat nasional, regional, atau sosial—tapi struktur menu itu diisi dengan makanan yang berbeda-beda tergantung selera individu (hal 19).
Pada elemen semiologi berikutnya, Barthes mengulas penanda (signifiant) dan petanda (signifie). Dalam terminologi Saussurean, penanda dan petanda merupakan komponen tanda (hal 27). Ranah penanda berurusan dengan ekspresi, sementara ranah petanda berkenaan dengan isi.
Di bagian selanjutnya, Barthes mengurai dua poros bahasa: sintagma dan sistem. Secara sederhana dapat dimisalkan, sintagma adalah penyandingan elemen pakaian yang berlainan menjadi busana lengkap (peci-kemeja-sarung membentuk “busana Muslim”), sementara sistem adalah sekumpulan benang, detail, atau bagian pakaian yang tak bisa dikenakan pada bagian tubuh yang sama (hal 61).
Barthes memungkasi bukunya dengan menjabarkan denotasi, konotasi, dan penelitian semiologis. Konotasi menjadi penting lantaran ia terdiri dari penanda, petanda, dan proses yang menyatukan keduanya—disebut penandaan. Penanda-penanda konotasi dibentuk oleh tanda-tanda dari sistem denotasi (hal 93). Penelitian semiologis pun semestinya bukan bertujuan untuk merekonstruksi bahasa, melainkan sistem penandaan.
Membaca buku ini, kita seolah diajak menyelami setiap jengkal sistem tanda yang terangkai dalam semesta bahasa. Kadang, kita tersesat kala mengarungi kelebatan teks anggitan Barthes ini. Namun, kita pun lalu menemukan pencerahan.
***
Judul: Elemen-elemen Semiologi
Judul Asli: Elements of Semiology (New York: Hill and Wang, 1994)
Penulis: Roland Barthes
Penerjemah: Kahfie Nazaruddin
Penerbit: Jalasutra, Yogyakarta
Tahun: Cetakan I, September 2012
Tebal: xii + 120 halaman
ISBN: 978-602-8252-80-5
*) Peminat kajian bahasa di LPM Gema Keadilan, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro. http://sastra-indonesia.com/2021/01/bahasa-semesta-tanda/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar