Jumat, 29 Januari 2021

TERTIPU: Menyoal Film “Binatang Jalang” Chairil Anwar

Sunlie Thomas Alexander *

 
PADA hari-hari ini, setelah hampir 72 tahun kematiannya, Chairil Anwar penyair terbesar Indonesia itu, telah difitnah dan dipermalukan dengan puisi-puisian cinta ala alay milenial karya seorang blogger bernama Ali Ridho (catat, bukan Ari Ridho, jangan salah kutip melulu). Dimana puisi-puisian itu, terutama puisi yang berjudul “Cinta dan Benci”, telah dianggap sebagai salah satu puisi karya Chairil!
 
Tentu saja saya tidak tahu siapa si Ali Ridho ini dan saya kira saya juga tak perlu repot-repot mencari tahu siapa dirinya. Tetapi yang jelas dalam blog pribadinya itu, “puisicinta-permaisuri.blogspot.com”, ia telah mempublikasikan tujuh buah puisi di bawah judul “Kumpulan Puisi Cinta Karya Chairil Anwar”. Selain puisi “Cinta dan Benci”, keenam puisi lain dengan kualitas maupun judul tak kalah menggelikan yang dapat kita temukan di sana adalah “Tentara Mandiri”, “Pelangi Warna-Warni”, “Panggilan Hatiku”, “Terjebak”, “Belum Jodoh”, dan “Perampok Jiwa”.
 
Saya tidak tahu apa motif Ali Ridho ini mempublikasikan puisi-puisian karyanya sendiri itu di bawah judul “Kumpulan Puisi Cinta Karya Chairil Anwar”. Apakah sekadar ingin menarik perhatian agar puisi-puisiannya itu dibaca orang atau ada maksud lain? Namun demikian, toh dalam postingan bertitimangsa Jumat, 11 Juli 2014 tersebut, di bagian atas puisi-puisinya itu ia juga menyatakan dengan cukup terang bahwa puisi-puisian itu memang bukan karya Chairil, melainkan karyanya sendiri. Tulisnya:
 
“Betul, Chairil Anwar memiliki beberapa puisi cinta. Dan tentunya kalian semua banyak yang sudah mengetahuinya. Di sini, saya tidak bermaksud mempersembahkan karya Chairil Anwar si penyair terkenal tersebut. Karena, itu melanggar hak cipta. Jadi, saya membuat sendiri puisi cinta ini.
 
Meskipun demikian, kumpulan puisi cinta karya saya ini terinspirasi dari puisi-puisi Chairil Anwar. Selamat menikmati. Maaf, bagi yang merasa tertipu.”
 
Saya rasa kita tak perlu sampai berpusing-pusing untuk menganalisa dari sisi mana puisi-puisian itu bisa dikatakan terinspirasi oleh puisi-puisi cinta Chairil. Itu hanya racauan bocah alay yang mencari sensasi saja. Saya yakin seorang mahasiswa sastra semester satu yang kuliahnya sedikit beres saja tidaklah bakal tertipu bahwa itu adalah puisi-puisi Chairil, baik dilihat dari kualitasnya secara utuh, gaya ungkap, pilihan diksi, bahasa jaman, maupun cuma dari judulnya doang!
 
Apalagi jumlah puisi karya Chairil Anwar si anak Medan itu seyogianya memang tidaklah cukup banyak ketika ia meninggal pada usia 27 tahun. Dalam pengantar cetakan ketiga bukunya Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45 terbitan PT Gunung Agung (cetakan keempat 1978), H.B. Jassin menulis: “Dengan demikian maka sebagai ralat dapatlah dicatat, bahwa Chairil telah menulis 72 sajak asli (1 dalam bahasa Belanda), 2 sajak saduran, 11 sajak terjemahan, 7 prosa asli (1 dalam bahasa Belanda) dan 4 prosa terjemahan, sama sekali jadi 96 tulisan.” (Lihat Pada Cetakan Ketiga, 20 Mei 1967)
 
Tapi kok ya tetap saja banyak yang tertipu? Nah, inilah persoalan yang cenderung membuat kontol karakter-karakter pria dalam cerita stensilan Enny Arrow gagal ngaceng itu!
 
Okelah, jika Anda yang tertipu itu cuma orang yang sama sekali tidak mengerti puisi, tidak punya ketertarikan pada puisi dan tidak punya kepentingan terhadap puisi, hal ini masih bisa dimaklumi. Namun masalahnya di sini Anda-anda yang tertipu (dan mengaku tertipu) itu adalah seorang sutradara film yang akan membawa karya filmnya ke festival film puisi internasional, seorang magister ilmu sastra Universitas Andalas, seorang wartawan surat kabar nasional sekaliber Kompas, dan pegawai-pegawai Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa—sebuah lembaga negara yang notabene mengurusi bahasa dan sastra!
 
Hei, kami kan sudah meminta maaf kepada publik sastra Indonesia dan menyadari kekeliruan bin keteledoran kami? Barangkali dua dari Anda-anda akan menjawab demikian.
 
Baik, meminta maaf dan menyadari kesalahan itu hal yang bagus. Namun toh bukan berarti persoalan selesai begitu saja kendati scene film puisi Binatang Jalang (Under Banner Production & Federasi Pekerja Seni Indonesia) yang menampilkan puisi-puisian “Cinta dan Benci” itu konon akan dipotong dan tulisan Listi Mora Rangkuti berjudul “Analisis Filsafat Sastra Terhadap Puisi “Cinta dan Benci” Karya Chairil Anwar” yang sebelumnya diterbitkan oleh Riausastra.com (26 Desember 2019) telah diralat dan dihapus. Sebab kesalahan yang sudah terjadi itu tetaplah merupakan suatu perkara gawat apabila dikaitkan dengan kapasitas Anda-anda sebagai seorang sutradara dan magister ilmu sastra. Dalam hal ini kita belum bicara soal pengaruh buruknya terhadap kesastraan Indonesia ataupun efeknya terhadap dunia pendidikan ya?
 
Kalau seorang sutradara dari sebuah film puisi yang akan dibawa ke festival internasional dan seorang magister ilmu sastra saja bisa tertipu (atau merasa tertipu) mentah-mentah, lantas bagaimana halnya dengan nasib para pelajar dan mereka yang mulai tertarik untuk belajar sastra kalau begini kondisinya?
***
 
DALAM komentar tanggapannya yang ditujukan kepada Eka Kurniawan di salah satu unggahan status Facebook saya, Listi Mora Rangkuti si Magister Ilmu Sastra dari Universitas Andalas itu menjawab begini (saya kutip tanpa mengubah apapun):
 
“Salam kenal mas Eka.. Puisi ini saya ambil di internet untuk tugas kuliah. Satu kesilafan ketika tidak mencantumkan sumber aslinya dimana puisi ini saya peroleh. Terima kasih atas koreksinya Mas. Saat itu masih penulis amatiran dan tahap belajar ☺ Ke depan akan lebih teliti dan berhati2 lagi dengan tidak mudah percaya mengambil apapun yang ada di internet..
 
Eh iya, itu karya siapa Mas? Agar judul tulisan saya itu saya ganti nama khairil anwar dengan nama pengarang aslinya. Trims..”
 
Enteng sekali bukan jawaban yang diberikan oleh Listi Mora Rangkuti ini? Seolah-olah kesalahan yang telah ia lakukan (baca: tertipu) tersebut merupakan suatu perkara remeh-temeh yang lumrah dan wajar, yang bisa dilakukan oleh siapapun “penulis amatiran [dalam] tahap belajar”. Padahal dalam biodatanya yang tercantum di bawah tulisannya di Riausastra.com jelas-jelas tertulis bahwa ia “Menyelesaikan pendidikan di Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara / Magister Ilmu Sastra Universitas Andalas”. Apalagi—mengutip komentar Hary B Koriun—Listi ini syahdan juga seorang guru (Bahasa dan Sastra Indonesia?) di Riau.
 
Pertanyaan kita: Bagaimana bisa seorang magister ilmu sastra sampai melakukan “kekhilafan” demikian? Bagaimana bisa seorang yang telah mempelajari sastra sejak strata satu hingga memperoleh gelar magister ilmu sastra tidak mengetahui tentang puisi-puisi Chairil Anwar dan tidak mampu membedakan kualitas serta stilistika puisi-puisi Chairil dengan puisi-puisian ala alay milenial sehingga memutuskan untuk menganalisa puisi “Cinta dan Benci” itu sebagai tugas kuliah lalu menerbitkan analisanya tersebut di web? Memangnya apa yang telah ia pelajari di kampus sejak S1??? Lagi pula siapa yang menanyakan apakah sebagai magister ilmu sastra, ia juga tergolong penulis amatiran atau profesional?
 
Saya rasa kita tidak perlu tahu berapa nilai yang diperoleh si Listi dari tugas kuliahnya yang mengambil bahan kajian secara asal-asalan dari internet tanpa mencantumkan sumber rujukan tersebut. Namun yang sedikit menganggu pikiran saya di sini adalah “Apakah dosennya yang memberi tugas juga ikut-ikutan tertipu dan menganggap puisi yang ia analisa itu memang karya Chairil Anwar—seperti halnya wartawan Kompas bernama Nawa Tunggal yang ikut tertipu ketika menulis ulasannya (“Memfilmkan Puisi Chairil Anwar”) atas film Binatang Jalang karya Exan Zen di rubrik Hiburan/Seni Kompas Minggu (24 Januari 2021)?
 
Ini tugas akademik lho? Atau, dunia pendidikan di Indonesia memang sudah sedemikian parah kerusakannya seperti yang dikeluhkan oleh Saut Situmorang?
 
Siapa yang bisa menjamin jika “kesalahan tertipu” ini tidak terus berlanjut pada hari-hari ke depan, bahkan dalam kasus yang lebih parah meski si Ali Ridho telah dengan terang mengatakan itu adalah puisinya sendiri bukan puisi Chairil?
***
 
NAMUN Listi rupanya memang tidak sendirian dalam hal melakukan “klarifikasi membela diri” begini. Exan Zen, sang sutradara film puisi Binatang Jalang, nyatanya juga memberikan “klarifikasi mengandung permintaan maaf” yang seakan-akan hendak menyatakan bahwa kesalahan fatal yang ia lakukan dengan mengangkat puisi “Cinta dan Benci” karya Ali Ridho sebagai karya Chairil bukanlah sepenuhnya merupakan kesalahan dirinya.
 
Mari kita perhatikan kutipan bunyi klarifikasi Exan yang ia sampaikan dalam bentuk lima poin di akun Facebook-nya (27 Januari 2021) berikut ini:
 
“Dari mana saya mendapatkan puisi Cinta dan Benci sebagai karya Chairil Anwar...? Seperti saat saya menjawab salah seorang penanya di medsos dengan memberikan link internet, sudah pasti sumbernya dari Google. Beberapa sumber tersebut antara lain: Gasbanter Journal, yang memberitakan soal “penghargaan Dewan Kesenian Bogor (DKB) Award 2007 untuk kategori seniman sastra yang diterima oleh putrinya, Evawani Elissa Chairil Anwar” menuliskan kumpulan puisi karya Chairil Anwar paling populer dan menginspirasi, pada daftar urutan nomer 12 berjudul Cinta dan Benci, diapit oleh puisi Cintaku Jauh di Pulau di nomer 11 dan Sajak Putih di nomer 13. Terkait ramainya kiriman link ke medsos dan GWA dengan blog Puisi Cinta Romantis Karya Khalil Gibran berjudul “Kumpulan Puisi Cinta Karya Chairil Anwar” dimana penulis blog tersebut menuliskan [...]”
 
“[...] Melihat tulisan di blog tersebut ditulis pada hari Jumat 11 Juli 2014, dan mengingat DKB Award untuk Chairil Anwar itu tahun 2007, selisih waktunya cukup jauh, yaitu 7 tahun lebih dulu DKB Award, saya menangkap kesan bahwa puisi Cinta dan Benci itulah yang mengilhami si penulis blog untuk menulis puisi cinta dari judul Tentara Jiwa sampai Perampok Jiwa. Tapi bisa saja kesan yang saya tangkap ini adalah keliru karena puisi tersebut kini menjadi masalah yang cukup besar.”
 
Lalu pada poin Kelima sebagai penutup, ia menulis yang antara lain berbunyi: “Apapun isi, maksud dan tujuan dari semua polemik yang terjadi, saya menganggap sebagai perhatian, sebagai masukan yang baik dan apresiatif.”
 
Pertanyaan-pertanyaan saya di sini adalah:
 
Pertama, bagaimana Exan Zen bisa menarik kesimpulan bahwa Gasbanter Journal (gasbanter.com) lewat tulisan berjudul “27 Kumpulan Puisi Karya Chairil Anwar yang Menginspirasi” memang telah terlebih dulu menerbitkan puisi “Cinta dan Benci” daripada penerbitan puisi itu oleh Ali Ridho di “puisicinta-permaisuri.blogspot.com” (Jumat 11 Juli 2014), padahal tulisan di Gasbanter Journal itu tidak mencantumkan tanggal pengunggahannya sama sekali (meskipun di bagian bawah tulisan tersebut tercantum jelas: “©2019 / Gasbanter Journal”?
 
Lagipula, apakah tulisan di Gasbanter Journal berjudul “27 Kumpulan Puisi Karya Chairil Anwar yang Menginspirasi” itu memang merupakan sebuah tulisan yang memberitakan soal “penghargaan Dewan Kesenian Bogor (DKB) Award 2007 untuk kategori seniman sastra yang diterima oleh putrinya, Evawani Elissa Chairil Anwar” (serta diterbitkan pada tahun itu juga [2007]) seperti dibilang si Exan? Atau, tulisan tersebut adalah tulisan di kemudian hari (2019?) yang HANYA menyebutkan bahwa Chairil Anwar pernah menerima Dewan Kesenian Bogor (DKB) Award pada tahun 2007 sebagai salah satu dari sekian banyak contoh upaya untuk menghormati dirinya dan karya-karyanya?
 
Coba perhatikan kutipanku dari Gasbanter Journal (https://gasbanter.com/kumpulan-puisi-karya-chairil-anwar/) yang dimaksud oleh si sutradara di bawah ini:
 
“Pukul setengah tiga sore, 28 April 1949, Chairil Anwar meninggal di usia muda akibat mengidap sejumlah penyakit. Untuk mengenang karya-karyanya, hari kematiannya diperingati sebagai Hari Chairil Anwar.
 
Meski telah lama berpulang, pada Juni 2007 ia masih dianugerahi penghargaan Dewan Kesenian Bogor (DKB) Award 2007 untuk kategori seniman sastra yang diterima oleh puterinya, Evawani Elissa Chairil Anwar.”
 
Lah, kok bisa-bisanya Exan Zen menulis “Melihat tulisan di blog tersebut (puisicinta-permaisuri.blogspot.com milik Ali Ridho) ditulis pada hari Jumat 11 Juli 2014, dan mengingat DKB Award untuk Chairil Anwar itu tahun 2007, selisih waktunya cukup jauh, yaitu 7 tahun lebih dulu DKB Award, saya menangkap kesan bahwa puisi Cinta dan Benci itulah yang mengilhami si penulis blog untuk menulis puisi cinta dari judul Tentara Jiwa sampai Perampok Jiwa”??? Memangnya bagian mana dari tulisan di Gasbanter Journal yang menyebutkan bahwa tulisan mereka itu diterbitkan pada tahun 2007? Kemudian apakah pada tulisan itu ada dikatakan bahwa "dalam acara/berita penghargaan DKB Award 2007 untuk Chairil yang diterima oleh puterinya, puisi “Cinta dan Benci” disebut-sebut sebagai salah satu karya Chairil Anwar"???
 
Jika tidak, pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana Exan Zen bisa sampai “menangkap kesan” dari tulisan di atas “bahwa puisi Cinta dan Benci (dalam Gasbanter Journal) itulah yang mengilhami si penulis blog (maksudnya Ali Ridho) untuk menulis puisi cinta dari judul Tentara Jiwa sampai Perampok Jiwa”? Yang mana dalam hal ini secara tidak langsung berarti ia juga mencurigai bahwa puisi “Cinta dan Benci” yang dinyatakan oleh Ali Ridho sebagai karyanya sendiri (bukan karya Chairil) itu bukanlah karya Ali tetapi diambil Ali dari Gasbanter Journal dan kemudian diakui oleh Ali sebagai karyanya sendiri. Atau, setidaknya Exan cuma “menangkap kesan” bahwa keberadaan puisi Cinta dan Benci dalam daftar 27 puisi Chairil di Gasbanter Journal telah mengilhami Ali Ridho untuk menulis puisi “Cinta dan Benci” versi Ali sendiri dengan teks yang sama persis? Artinya (lagi) di sini, Ali Ridho itu—kesan si Exan dalam klarifikasinya—telah memplagiat salah satu dari 27 puisi Chairil Anwar yang didaftarkan oleh Gasbanter Journal, yakni puisi “Cinta dan Benci”!
 
Masya Allah, cara berkelit (dan menulis) si sutradara ini nampaknya sudah benar-benar macam benang kusut yang kontra logika berpikir dan berbahasa!
 
Lagian, seperti yang dipertanyakan oleh Denai Sangdenai, apakah Gasbanter Journal itu memang sebuah jurnal yang serius sehingga bisa dijadikan sebagai rujukan (referensi) untuk membuat sebuah film puisi yang akan dibawa ke festival film puisi internasional? Atau, itu hanyalah jurnal abal-abal alias web yang menamakan diri sebagai jurnal (silakan kawan-kawan mengecek isinya sendiri ya?)?
 
“Kok kesannya dengan menyebut-nyebut journal gitu, dia seolah-olah telah melakukan riset?” demikian tanya Denai dalam percakapan WA dengan saya semalam.
 
“Gasbanter Journal itu siapa ya pengelolanya? Ketika aku kunjungi web journal itu, gak disebutkan satu pun nama pengelolanya. Setahuku, sebuah journal yang kredibel pasti mencantumkan pengelolanya,” tulis Denai lagi dalam komentarnya di sebuah postingan Facebook Rukmi Wisnu Wardani.
 
“Polemik”??? Ngerti nggak si Exan ini apa itu “polemik”? Orang marah atas kesalahan fatalnya kok dianggap sebagai “polemik”?
 
Ya, betullah kata Saut dalam komentarnya dalam postingan Rukmi yang sama, bahwa: “Kek kata Nuruddin Asyhadie  di atas, sangat nampak cuci tangannya dari tanggung jawab publik terutama publik Sastra Indonesia soal klaim idiotnya atas sampah sebagai puisi Chairil Anwar itu dengan menyebut-nyebut nama anak Chairil, penghargaan Dewan Kesenian Bogor dll. Padahal semuanya itu justru cumak menunjukkan betapa awamnya dia tentang Chairil Anwar tapi belagak udah tau walo cumak dengan modal googling!”
 
Mengerikan? Bagi saya jelas mengerikan dan menggelikan. Ternyata sebuah tugas akademik dan kerja kesenian seperti pembuatan film di Indonesia hanya cukup membutuhkan dan mengandalkan referensi (dan riset) dari postingan-postingan tidak jelas di internet, padahal buku-buku puisi Chairil Anwar begitu banyak tersedia di toko buku, lapak online, dan perpustakaan!
 
Lalu, kapankah Kompas.com dengan wartawannya yang bernama Jawahir Gustav Rizal itu, yang telah dua kali menurunkan berita tentang kasus ini mau mengulas tulisan rekannya Nawa Tunggal di Kompas Minggu lalu yang ikut “tertipu mentah-mentah”? Atau, Kompas tidak merasa bahwa wartawannya juga turut melakukan kesalahan dengan keawamannya akan keaslian puisi Chairil? Marilah kita perhatikan sedikit tulisan di Kompas Minggu (24 Januari 2021) yang berjudul “Memfilmkan Puisi Chairil Anwar” itu:
 
“Tokoh laki-laki itu diperankan Lucky L Moniaga. Tokoh ini kemudian memulai babak dengan ungkapan bait-bait pembuka puisi Chairil yang berjudul “Cinta dan Benci”.
 
Aku tidak pernah mengerti//banyak orang menghembuskan cinta dan benci//dalam satu napas.
Tapi sekarang aku tahu//bahwa cinta dan benci adalah saudara//yang membodohi kita, memisahkan kita.
 
Ia berhenti sejenak. Kemudian dilanjutkan kata-kata puisi berikutnya oleh seorang tokoh perempuan. Tokoh ini diperankan Tengku Marina.
 
Sekarang aku tahu bahwa//cinta harus siap merasakan sakit//cinta harus siap untuk kehilangan//cinta harus siap untuk terluka.... Dan, seterusnya.
 
Kedua tokoh berdialog dengan kata-kata puisi Chairil diikuti ekspresi gerak tubuh. Mereka tak ubahnya kedua penari sebelumnya. Mereka menari di satu ruang yang dibatasi dinding-dinding penuh mural.”
 
Lalu, bagaimana pula halnya dengan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa yang juga sempat ikut mempublikasikan puisi “Cinta dan Benci” ini sebagai karya Chairil Anwar di akun Facebook resminya? Apakah cukup hanya dengan menghapus postingan tersebut?
 
Hm, sebagai penutup dari ocehan ini, saya ingin mengutip Saut sekali lagi: “Betapa parahnya pelecehan Sastra di Indon!!!”[]

SEDIKIT RALAT:
 
Puisi palsu Chairil Anwar yang sempat diposting oleh Facebook resmi Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa tetapi kemudian dihapus bukan puisi “Cinta dan Benci” tetapi sebuah puisi yang berjudul “Ibu”.
“Terima kasih untuk RALAT-nya di kolom komentar, Ahda Imran. Aku lupa puisi palsu CA yang mana di Badan Bahasa itu karena tidak bisa ngecek lagi saat nulis ini sebab sudah mereka hilangkan. Tapi kukira intinya sama: Ngawur tak bertanggungjawab.”
 
NB:

Dan di bawah ini hasil temuan screenshot Holy Adib pada “puisi sampah” (Istilah Saut Situmorang) yang bertitel Ibu, adalah bukan karya Chairil Anwar (CA), tetapi Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memostingnya sebagai karya penyair CA. (NJ, Tukang Posting di Website Sastra-Indonesia.com).


30 Jan 2021

*) Sunlie Thomas Alexander memiliki nama lahir Tang Shunli, (lahir di Bangka, Kepulauan Bangka-Belitung, 7 Juni 1977), sastrawan berkebangsaan Indonesia keturunan Tionghoa. Ia dikenal melalui karya-karyanya berupa cerpen, puisi, esai, kritik sastra, catatan sepak bola, dan ulasan seni yang dipublikasikan di berbagai surat kabar serta jurnal yang terbit di Indonesia dan di luar negeri: Kompas, Jawa Pos, Koran Tempo, Media Indonesia, Horison, Suara Merdeka, Jurnal Cerpen Indonesia, Jurnal Poetika, Kedaulatan Rakyat, DetikSport, Jurnal Ruang, Gong, Lampung Post, Bangka Pos, Hai, Nova, Hakka Monthly, dll. Tahun 2016, menerima beasiswa residensi penulis di Taiwan dari Menteri Kebudayaan Republik China Taiwan, dan tahun 2018 menerima beasiswa residensi ke Belanda dari Komite Buku Nasional Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. http://sastra-indonesia.com/2021/01/tertipu-2/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

20 Tahun Kebangkitan Sastra-Teater Lamongan A Jalal A. Anzieb A. Khoirul Anam A. Mustofa Bisri A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja Abdoel Moeis Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdullah Abubakar Batarfie Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Achdiat K. Mihardja Achiar M Permana Adek Alwi Adhi Pandoyo Adib Baroya Aditya Ardi N Adri Sandra Adu Pesona Sang Wakil Cawapres RI Afrizal Malna Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Buchori Agus Dermawan T. Agus Mulyadi Agus Prasmono Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahmad Farid Yahya Ahmad Hasan MS Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Saifullah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alawi Al-Bantani Alfatihatus Sholihatunnisa Alfian Dippahatang Ali Audah Alim Bakhtiar Amie Williams Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amril Taufik Gobel An. Ismanto Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 AndongBuku #3 Andrea Hirata Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Antologi Sastra Lamongan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Arafat Nur Ardi Wina Saputra Ardy Suryantoko Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arman A.Z. Arsyad Indradi Asarpin Ashimuddin Musa Asrul Sani Astuti Ananta Toer Atafras Audifax Awalludin GD Mualif Ayu Nuzul Azizah Hefni B Kunto Wibisono Bahrul Amsal Bambang Kempling Beni Setia Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bloomberg Bre Redana Budaya Budi Darma Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Candra Adikara Irawan Candrakirana Cangaan Ujungpangkah Gresik Jawa Timur Capres Cawapres 2019 Catatan Ceramah Cerpen Chairil Anwar Chicilia Risca CNN Indonesia Coronavirus COVID-19 D. Zawawi Imron Damiri Mahmud Darju Prasetya Darman Moenir Deddy Arsya Denny JA Denny Mizhar Devy Kurnia Alamsyah Dhoni Zustiyantoro Dian Sukarno Didin Tulus Dien Makmur Din Saja Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Donny Anggoro Donny Darmawan Dr. Hilma Rosyida Ahmad Dwi Cipta Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dyah Ayu Fitriana Ecep Heryadi Edy Suprayitno Eka Budianta Eka Kurniawan Elok Dyah Messwati Engkos Kosnadi Erdogan Erwin Setia Esai Esti Nuryani Kasam Evan Ys F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Fahrur Rozi Faidil Akbar Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathul Qorib Fatkhul Anas Feby Indirani Felix K. Nesi Festival Teater Religi Festival Teater Religi Pelajar SLTA Se-kabupaten Lamongan Fira Basuki Forum Santri Nasional (FSN) Frischa Aswarini Fuad Mardhatillah UY Tiba Fuad Nawawi Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gde Artawan Geger Riyanto Geguritan Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Guenter Grass Gus Ahmad Syauqi Gus tf Gusti Eka Habib Bahar bin Smith Haiku Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Han Gagas Hary B Koriun Hasan Basri Hasnan Bachtiar Heri Ruslan Herman Hesse Hertha Mueller Heru Kurniawan Hestri Hurustyanti Holy Adib Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu I Made Prabaswara I Made Sujaya IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah) Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Iksaka Banu Imam Jazuli Imam Nawawi Imammuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Mahadi Indra Tjahyadi Irfan Afifi Irine Rakhmawati Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS J.S. Badudu Jadid Al Farisy Jajang R Kawentar Jawa Timur Jean Marie Gustave le Clezio JJ. Kusni Jl Raya Simo Sungelebak Jo Batara Surya John H. McGlynn Jordaidan Rizsyah Jual Buku Paket Hemat Juara 3 Lomba Lompat Jauh DISPORA LAMONGAN Jurnalisme Sastrawi K.H. Ma'ruf Amin Kadek Suartaya Kaheesa Kirania Putri Ayu Kahfie Nazaruddin Kalis Mardiasih Kamaluddin Ramdhan Kanti W. Janis Karanggeneng Kardono Setyorakhmadi Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Pantura (KBP) KetemuBuku Jombang KH. M. Najib Muhammad KH. Muhammad Amin (1910-1949) Khairul Mufid Jr Khawas Auskarni Khoirul Abidin Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kitab Arbain Nawawi Kodrat Setiawan Kompas TV Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra dan Teater Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) Kopuisi Kostela Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kurnia Effendi Kuswaidi Syafi’ie L Ridwan Muljosudarmo L.K. Ara Lamongan Lan Fang Lawi Ibung Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Literasi Liza Wahyuninto Lukas Luwarso Lukisan Lukman Lukman Santoso Az Lutfi Mardiansyah M Farid W Makkulau M. Faizi M.D. Atmaja Madrasah Aliyah Matholi'ul Anwar Madrasah Ibtida’iyah Thoriqotul Hidayah 1 Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S Mahayana Manado Manneke Budiman Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mario F. Lawi Marsel Robot Martin Aleida Marwanto Mashuri Massayu Masuki M. Astro Masyhudi Media Seputar Pendidikan Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Purnama di Kampung Halaman Mereka yang Menjerat Gus Dur MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mien Uno Moh. Dzunnurrain Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Rafi Azzamy Mohammad Rokib Mohammad Yamin Muafiqul Khalid MD Much. Khoiri Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alfatih Suryadilaga Muhammad Antakusuma Muhammad Fikry Mauludy Muhammad Hafil Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad N. Hassan Muhammad Subarkah Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Muhyiddin Mukadi Mukani Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Musa Ismail Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang E S Nara Ahirullah Naskah Teater Nezar Patria Noor H. Dee Nunus Supardi Nur Haryanto Nur Wachid Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Okky Madasari Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Pameran Lukisan Parimono V / 40 Plandi Jombang PC. Lesbumi NU Babat PDS HB Jassin Pelukis Dahlan Kong Pelukis Tarmuzie Penculikan Aktivis 1988 Pendidikan Pengajian Pengarang kelahiran Lamongan Pentigraf Pepaosan Perbincangan Peringatan Hari Pahlawan 10 November Pilang Tejoasri Laren Lamongan Jawa Timur Pipiet Senja Politik Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Jokowi Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi (PMK) Puji Santosa Pustaka LaBRAK PUstaka puJAngga R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Reuni dan Halal Bihalal Mts Putra-Putri Simo 1992 Ribut Wijoto Riki Antoni Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Robin Al Kautsar Rodli TL Roland Barthes Rosi Rosihan Anwar RR Miranda Rumah Budaya Pantura (RBP) S. Jai S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabrank Suparno Safitri Ningrum Sainul Hermawan Sajak Salman Aristo Sandiaga Uno Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Sastra Tasikmalaya (SST) Sarasehan dan Launching Buku Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Kuno Suku Sasak Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Satu Jam Sastra Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seni Gumira Ajidarma Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Pendidikan Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sirdjanul Ghufron Siwi Dwi Saputro Slamet Rahardjo Rais Soediro Satoto Soekarno Soeparno S. Adhy Soesilo Toer Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Handi Lestari Sri Wintala Achmad STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sujatmiko Sukarno Suminto A. Sayuti Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahrudin Attar Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Sylvianita Widyawati Tangguh Pitoyo Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teater nDrinDinG Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tias Tatanka Timur Sinar Suprabana Titi Aoska Tiyasa Jati Pramono Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Toni Masdiono Tri Broto Wibisono TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Jember Universitas Negeri Jember Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyu Aji Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Wiji Thukul Wildan Nugraha Wildana Wargadinata Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yerusalem Ibu Kota Palestina Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Herwibowo Yuditeha Yusri Fajar Yuval Noah Harari Zainal Arifin Thoha Zainuddin Sugendal Zara Zettira ZR Zehan Zareez Zuhdi Swt