pikiran-rakyat.com
DALAM sebuah kesempatan di Leiden, pada tahun 1999 lalu seusai mengikuti Festival de Winternachten di Den Haag, Belanda, penyair kenamaan asal Belanda, Remco Campert mengatakan, bahwa menulis puisi bukan sekadar merangkai kata. Di dalamnya ada sejumlah pengalaman yang diekspresikan. Dalam kaitan itu seorang penyair harus memberikan perhatian dengan serius pada bagaimana ia membangun makna dalam larik demi larik puisi yang ditulisnya.
Makna yang dimaksud tidak hanya dalam konteks mencipta simbol atau metafora, tetapi juga dalam hal menulis kalimat, yang rangkaian larik demi lariknya ketika dihimpun memperlihatkan keutuhan logika, sehingga makna yang muncul bisa ditangkap oleh pembaca tanpa mengalami hambatan apa pun. Ini artinya pada sisi yang lain, puisi tersebut berhasil membangun daya komunikasinya sendiri.
Sebagai penyair yang cukup terpandang di Belanda, Remco berteman baik dengan Rendra, penyair kenamaan dari Indonesia. Apa yang dikatakan Remco benar adanya, karena itu menulis puisi jelas tidak gampang. Dalam konteks yang demikian ketika seseorang ingin menulis puisi, ia tidak hanya wajib mengetahui apa dan bagaimana bentuk-bentuk pengucapan puisi, tetapi juga wajib mengetahui apa dan bagaimana metafora atau simbol itu beroperasi dalam sebuah teks puisi yang ditulisnya.
Berkait dengan persoalan di atas, laman Mata Kata kali ini menampilkan sejumlah puisi yang ditulis oleh Ardi Mulyana Haryadi (Garut), Iis Sumiati (Bandung) dan Fahmi Nur Almustaqim (Bandung). Dari sejumlah puisi yang dikirim Ardi, redaksi memilih satu puisi yang diberi judul Perahu Kayu. Puisi ini relatif baik dibandingkan dengan sejumlah lainnya, walau menimbulkan pertanyaan yang cukup mendasar, bertitik pangkal pada pilihan diksi sebuah kayu yang diungkapnya pada larik pertama. Pertanyaannya adalah sebuah kayu seperti apa yang bisa jadi perahu sebagaimana digambarkan pada larik ketiga? Sementara itu dalam sejumlah puisi yang ditulis oleh Iis Sumiati maupun Fahmi relative beresih dari persoalan logika dibanding dengan apa yang ditulis oleh Ardi.
Lepas dari semua itu, ketiga penyair tersebut di atas mempunyai bakat yang kuat untuk jadi penyair, dengan catatan, menulis puisi harus terus didalami dengan menambah pengetahuan pada bentuk-bentuk penulisan puisi maupun dalam hal memperkaya diri sendiri dengan berbagai ilmu pengetahuan. Itu tidak hanya dari ranah filsafat, politik, dan ekonomi, tetapi juga dari ranah budaya, termasuk di dalamnya dari berbagai ranah seni tradisonal.
Apa sebab? Karena menulis puisi pada akhirnya bukan hanya persoalan hati belaka, di dalamnya ada persoalan intelektual. Rendra menyebutnya, hati dan pikiran harus menyatu. Sehubungan dengan itu, sekali lagi, menulis puisi bukan berdasar pada daya khayal, tetapi berdasar pada pengalaman batin, yang diolah dan ditulis ulang dalam bentuknya yang baru, yang disebut dengan dunia rekaan itu.
Sajak-sajak Ardi Mulyana Haryadi
Perahu Kayu
Ini ada titipan sebuah kayu
Dari cinta kasih orang tuaku
Katanya, “berlayarlah nak, samudra ganas itu temanmu”
Aku tak mengerti apa artinya itu
Seakan dunia ini padam
Tapi sauh yang kutemu itu pas
Ya, sangatlah pas
Dan, layar yang terbuat dari sebuah sajak pun terkembang sudah
Perahu kayuku itu sudah jadi
Tinggal mencari jati diri, di lautan
Garut, 2011
ARDI MULYANA HARDI, lahir di Serang, 13 November 1987. Saat ini yinggal di Kp. Pasar 03/04 Ds. Wanamekar Kec. Wanaraja Kab. Kab. Garut 44183. Pendidikan Mahasiswa Pascasarjana Program Studi Linguistik UPI Bandung. ratusan puisinya tersimpan rapi di dalam blognya ardimulyana87.blogspot.com baik yang ditulis dalam bahasa Indonesia, bahasa Sunda, dan bahasa Inggris. Kumpulan karyanya dikemas dalam bentuk buku elektronik yaitu Menulis di Atas Badai (evolitera. 2010), Ketika Guru Menggugat (evolitera, 2010), Diudak Kinasih kumpulan sajak Sunda (evolitera, 2011). Dan saat ini sedang melanjutkan studi di Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia pada Program Studi Linguistik.
Sajak-sajak Iis Sumiati
Kepadamu Ibu
Arus sembahyangku mengalir ke dalam hati
Ibu, menanamkan akar-akar kasih yang patah
Dalam derita rindu anaknya
Mungkin tak akan kurangkul sebuah doa
Jika harum cintamu tak singgah di antara tangisku
Ibu, apakah sajadah sucimu berisikan air mata
Sebab kulihat awan mengiringi suara hembusan
Kasih sayangmu yang kian hambur
Aku membuat ranjang-ranjang cinta untukmu
Walau raut wajahmu mencairkan matahari
Tapi aku akan mengantarkan sekeping rembulan
Pada malam tahajudmu
Ibu,,apakah aku masih belahan jiwamu
Atau,
Hanya serpihan debu jejak usiamu
Tangisan di Akhir Cerita
Awalku adalah senyuman
Tersungging manis tak bertepi
Seakan menceritakan semua yang terjadi
Tentang kisahku bersama malaikatku
Senyumku menembus segala ruang
Menyelinap di kalbu
Tapi sekarang menggores luka
Karna dia
Yang kucinta telah berbuat dusta
Ruangku adalah hidupku
Sekarang tak ada mimpi indah lagi
Kini hanya hati yang lelah
Dan hati yang menangis
Di akhir cerita.
Akhir Perjalanan
Tertidur aku dalam perjalanan hidupku
Beralaskan tanah
Diselimuti udara dingin
Hembusan nafas telah terhenti
Di bawah nisan
Balutan kafan membungkus tubuhku
Dihiasi binatang-binatang
Yang ikut membungkus tubuhku
Terpenjara aku dalam kubur
Tanpa suara
Membuat suasana menjadi hening
Ruang gelap tanpa cahaya
Di sinilah sekarang aku berada
Dalam kubur ranpa suara.
* Iis Sumiati lahir di Bandung pada 15 Januari 1992. Agama Islam. Alamat surat chamyeljamyel@yahoo.com
Sajak-sajak Fahmi Nur Almustaqim
Pasar Malam
Bising mendengar manusia berbicara satu sama lain
Diiringi gemuruh suara motor yang berknalpot rombeng,
Di dalam tong-tong sampah menurut orang kota
Deru mesin menari, mengalun, mengitari arena komidi putar
Kios baju, kios mainan, warung makan, pencopet,
dan para penjaga karcis ikut berjoged
Terbawa dendangan irama musik dari para pedagang CD bajakan
Malam ini semuanya menjaga mata
Tak kan berkedip sampai pagi hari
Karena esokhari para penari, manusia pecinta malam akan pergi
Untuk mencari lagi ladang yang sepi, untuk sesuap nasi
Syair untuk Sha
Sha, langit kini biru bersih dari dosa
Sungai mengarak sampai kekota berlumpur duka
Riskan jika kau pergi tanpa ada cerita
Ingin kau terdiam, terlelap penuh cinta dan makna
Sha, tangisanku bukan air mata buaya
Ini hati yang lirih, karma clausa tertawa
Bukan karenamu mendung pagi jadi derita
Tak tahan hati dikutuk menjadi manusia nista
Sha, sungguh aku rindu
Semua tentang dirimu yang kemayu
Tak tega jika dirimu pilu
Terkantuk karna semua hal yang ambigu
Sha, kau tesenyum aku ibarat kutu
Kutu yang bahagia lalu tertimpa batu
Sedih hati bila dirimu membisu
Terdiam seraya hadir dalam pikiranku.
* Fahmi Nur Almustaqim mahasiswa STSI Bandung Jurusan Teater. anggota Forum Pemahaman Nilai Islam.
***
http://sastra-indonesia.com/2011/06/puisi-bukan-sekadar-merangkai-kata/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar