Kompas, 07 Okt 2007
DALAM buku esai terbarunya, The Curtain, Milan Kundera menyinggung perihal sastra dunia (atau dalam istilah Goethe, Die Weltliteratur) dengan mengatakan: “Tidak, percayalah, tak akan ada yang mengenal Kafka saat ini—tak seorang pun—jika ia tetap menjadi seorang Ceko.”
Konteks pernyataannya tersebut adalah meski Franz Kafka seorang Yahudi dan menulis serta tinggal di Ceko, pada kenyataannya Kafka dikenal sebagai penulis Jerman. Menurut Kundera, hanya karena menulis dalam bahasa Jerman dan kemudian diperkenalkan sebagai penulis Jerman, Kafka bisa kita kenal sekarang ini.
Saya membaca buku esai itu di tengah-tengah acara Ubud Writers & Readers Festival (UWRF) yang baru saja berakhir, 25-30 September 2007 di Ubud, Bali. Datang sebagai seorang penonton biasa, saya serasa menemukan konteks esai tersebut dalam acara festival ini. Menurut Kundera, bangsa yang memiliki tradisi kesusastraan besar cenderung tak melihat konteks sastra dunia sebab mereka merasa tradisi sastranya telah mencukupi. Bangsa dengan tradisi kesusastraan kecil juga berlaku sama dengan alasan yang terbalik: mereka melihat sastra dunia sebagai sesuatu yang asing, dan karenanya menjadi defensif, hanya hidup dalam tradisinya sendiri. Di UWRF, kenyataan tersebut tampak, meskipun dialog antartradisi tetap dilakukan oleh para peserta.
Saya datang pertama kali ke UWRF dua tahun lalu (1995) sebagai peserta. Acara tahun itu dihadiri antara lain oleh Amitav Ghosh, yang dikenal melalui novel The Glass Palace, sebuah novel “Asia” karena berkisah mengenai pergolakan di Burma, melebar ke Malaya dan India, tetapi ditulis dalam bahasa Inggris. Juga hadir penulis yang dikenal melalui novel (terutama setelah diangkat ke layar lebar oleh Hollywood) The English Patient, Michael Ondaatje.
Tahun ini Ubud kembali kedatangan penulis mencorong lainnya: Kiran Desai. Melalui novelnya, The Inheritance of Loss, penulis India yang menghabiskan waktunya antara India dan New York ini baru saja memperoleh The Man Booker Prize. Kiran Desai berbagi kisah mengenai sulitnya menembus penerbitan internasional dan mengaku, novelnya tersebut ditolak oleh editor di New York. Namun, setelah diterbitkan (tentu melalui editor lain), apalagi setelah memperoleh penghargaan dan kemudian menjadi international best seller, editor yang sama berkilah, “Naskah yang kubaca berbeda dengan naskah yang kamu terbitkan.” Padahal kenyataannya itu naskah yang sama!
Secara umum UWRF memang menyenangkan bagi seorang penulis dan penggemar sastra, dan bisa dikatakan memang “berkelas dunia”. Bahkan majalah Harper’s Bazaar UK menyebutnya sebagai “One of the six best literary festival in the world.” Sangat menyedihkan kenyataannya, festival sebesar ini tak banyak dihadiri oleh para penulis dalam negeri kita. Sebagian besar penulis yang ada di sana adalah peserta yang memang harus mengisi sesi acara. Bahkan penulis dari Bali sendiri, di luar pengisi sesi acara, tak akan lebih dari hitungan jari tangan jumlahnya.
Ada apakah dengan penulis Indonesia? Apakah mereka merasa memiliki tradisi kesusastraan yang besar, sehingga merasa tak perlu untuk bergaul dengan kesusastraan di luar dirinya? Dengan kata lain, merasa telah cukup memiliki (misalnya) penyair serupa Amir Hamzah, Chairil Anwar hingga yang terkini, Joko Pinurbo? Ataukah kesusastraan Indonesia demikian kecilnya, sehingga para penulisnya menjadi defensif dan menganggap kesusastraan di luar dirinya tak memiliki relevansi apa pun dengan kehidupan di Indonesia? Menjadikan sastra dunia sebagai sesuatu yang tak terjangkau, atau bahkan “menyeramkan”?
Bagi saya sendiri, sejujurnya lebih cenderung mengakui tradisi kesusastraan kita memang kecil, meskipun harus diakui ada ratusan juta (calon) pembaca serta sejarah literatur yang panjang. Jika ada yang menganggap tradisi kesusastraan Indonesia sebagai sesuatu yang besar, bisa dikatakan sebagai upaya membesar-besarkan diri, barangkali disebabkan ketidaktahuan (atau keengganan) untuk menyadari ada yang lebih besar. Namun, bukan berarti itu bisa menjadi alasan bersikap defensif, menganggap sastra lain sebagai yang asing dan tak terjangkau, tak berpijak kepada kenyataan masyarakat sastranya.
Bagaimana menjelaskan karya-karya Pramoedya Ananta Toer tanpa mengakui keberadaan karya-karya Maxim Gorki atau John Steinbeck, misalnya? Bagaimana pula menjelaskan karya-karya Iwan Simatupang, tanpa menyimak sejarah eksistensialisme di Prancis?
Jelas kita bukan penganut xenophobia. Kita menerima tradisi yang berbeda-beda secara terbuka, jika tak bisa dikatakan liberal. Namun harus diakui, masih banyak penulis yang mengatakan, “Mengapa kita harus mempergunakan teori-teori sastra barat, mengapa tidak menciptakan teori sendiri? Kenapa harus mengutip pendapat penulis asing?” Menggantungkan segala sesuatu kepada tradisi sastra besar (yang notabene asing) memang keterlaluan, tetapi menutup diri juga sama keterlaluannya.
Melalui UWRF, sebenarnya terbuka untuk membawa kita ke sebuah pergaulan yang kosmopolitan. Selain UWRF, memang ada satu atau dua festival lain yang mengklaim sebagai festival sastra internasional meskipun yang dimaksud internasional baru sebatas menghadirkan penulis dari beberapa negara; dengan penulis yang nyaris sungguh-sungguh tak dikenal. UWRF melangkah lebih maju, berani menghadirkan penulis-penulis yang bisa kita katakan “papan atas” untuk kesusastraan dunia kontemporer. Siapa yang lebih pantas untuk dihadirkan selain Kiran Desai di hari-hari ini, misalnya? Tentu saja kita berharap ada banyak penulis sekelasnya bisa dihadirkan pada tahun-tahun mendatang.
Permasalahannya, kembali bagaimana festival yang sangat baik ini, dengan kehadiran penulis-penulis dunianya, bisa merangsang iklim kreativitas bagi kesusastraan Indonesia. Untuk hal ini, tampaknya harapan tersebut masih bagaikan mimpi. Pertama, tentu saja minimnya kehadiran penulis Indonesia (di luar pengisi sesi acara) di acara tersebut. Kedua, tampaknya panitia festival memang tidak memaksudkan festival ini sebagai ajang bagi publik kesusastraan Indonesia.
Sudah agak menjadi “rahasia umum” kalau festival ini memang lebih kental aroma turismenya. Promosi acara ini jauh lebih mudah ditemukan di kantong-kantong pariwisata daripada di kantong-kantong kesusastraan atau kebudayaan. Diskusi-diskusi kesusastraan sebagian besar dilaksanakan di restoran dan bukan di kantong kebudayaan. Tidak mengherankan jika hampir seratus persen pengunjung yang memadati venue festival adalah turis, atau paling tidak, ekspatriat.
Kehadiran Kiran Desai, pada akhirnya tak bermakna apa-apa untuk kesusastraan Indonesia. Hampir seluruh pengunjung sesi acara Kiran Desai merupakan turis. Ini berlaku pula untuk sesi-sesi acara yang lain.
Itu bukan hal yang salah, tentu saja. Bisa menjadikan sebuah peristiwa kesusastraan sebagai magnet untuk mendatangkan turis (apalagi turis asing yang membawa devisa), tentu luar biasa. Orang datang ke Ubud, Bali, tak hanya untuk melihat pegunungan yang sejuk, kebudayaan masyarakat sekitar, tetapi juga berjumpa penulis kelas dunia. Sekarang yang terpenting, bagaimana menjadikan festival ini tak melulu sebagai kegiatan “pariwisata”, tetapi secara adil, juga bisa menjadi peristiwa “kesusastraan”.
Dengan demikian, untuk tahun-tahun yang akan datang, UWRF tak hanya menjadi tempat berkumpul turis, tetapi juga menjadi rendez-vous bagi para penulis Indonesia, atau paling tidak penulis Bali, tanpa menunggu menjadi “undangan”. Sebuah tempat di mana kesusastraan Indonesia bergaul secara kosmopolit dengan berbagai tradisi di luar dirinya, dan tak melulu disibukkan oleh keributan antara satu kelompok kesusastraan dan kelompok kesusastraan lainnya, apalagi kalau yang diributkan tak ada hubungannya dengan kesusastraan.
Kerja keras untuk panitia dan tentu juga para penulis Indonesia untuk mau lebih bergaul. Sambil berharap festival serupa juga bisa dilaksanakan di tempat lain: Jakarta, Yogyakarta, Riau, atau Makassar.
***
*) Eka Kurniawan, Penulis. http://sastra-indonesia.com/2011/09/festival-penulis-tanpa-penulis/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar