Indra Tjahyadi *
suarakarya-online.com
Ada dua hal menarik yang diutarakan oleh Beni Setia dalam tulisannya yang berjudul “Dandyisme Puisi 80-an” (Suara Karya, 25 November 2006), yakni: (a) tentang keberadaan puisi sufi, dan (b) perihal puisi gelap. Dalam esainya tersebut Beni Setia menyatakan bahwa puisi sufistik era 1980-an tidak lahir dari pengalaman riil, bukan ungkapan sesuatu yang Prima, tapi cuma dandyisme tema. Oleh sebab itu, menurutnya, puisi sufistik dekade 1980-an merupakan puisi palsu.
Dari pernyataan yang dilontarkan oleh Beni Setia tersebut setidaknya dapat ditarik dua pemahaman, yakni: (a) bahwa puisi sufistik Indonesia dekade 1980-an adalah puisi (sufistik) palsu karena ia hanyalah sebuah dandyisme tema yang tidak menyertakan pengalaman riil, sehingga melahirkan bukan ungkapan-ungkapan (puitik) yang Prima; dan (b) bahwa puisi sufistik haruslah menyertakan pengalaman riil sehingga tidak terperangkap pada dandyisme tema dan dapat melahirkan ungkapan-ungkapan (puitik) yang Prima, serta tidak masuk dan terjerembab dalam puisi (sufistik) palsu.
Apabila merujuk pada pemahaman yang pertama, saya menangkap bahwa ada sinyalemen serangan yang cukup serius yang sengaja ingin dilontarkan oleh Beni Setia terhadap keberadaan puisi-puisi yang diklaim sebagai puisi sufistik pada lapangan perpuisian Indonesia dekade 1980-an.
Dalam bukunya “Rahasia Membutuhkan Kata” (Indonesia Tera, 2003), Harry Aveling memaparkan bahwa telah terjadi semacam wabah puisi “sufi” dalam lapangan perpuisian Indonesia dekade 1980-an dengan beberapa tonggaknya, antara lain: Emha Ainun Nadjib, Ahmadun Yosi Herfanda, dan Acep Zamzam Noor, setelah sebelumnya didahului oleh ketertarikan para penyair mapan dekade 1970-an, semacam Abdul Hadi WM, Taufiq Ismail dan Sutardji Calzoum Bachri, pada khazanah Islam yang memang sedang mewabah di Indonesia saat itu.
Ketertarikan yang kuat pada khazanah Islam yang mengidap para penyair mapan dekade 1970-an tersebut dapat dilihat dari karya-karya yang diciptakannya, semisal Abdul Hadi WM dengan puisinya “Tuhan, Kita Begitu Dekat” yang menyiratkan ketertarikannya pada khazanah mistikal dan teologis Islam(i), Taufiq Ismail dengan salah satu puisinya yang berjudul “Membaca Tanda-tanda”, ataupun Sutardji Calzoum Bachri melalui buku puisinya yang ketiga “Kapak” yang secara menyurat dan menyirat menunjukkan binar-binar ketakjuban pada sesuatu yang Ilahiah dan Islam(i). Karena puisi, sebagaimana sastra pada umunya, yang senantiasa berada pada ruang antara tradisi dan inovasi, maka tak pelak lagi, ketertarikan yang kuat tersebut berimbas pada generasi yang muncul sesudahnya.
Disebabkan adanya beban tradisi, maka para penyair dekade 1980-an tidak dapat melepaskan diri atas apa-apa yang telah ada sebelumnya, akan tetapi disebabkan adanya semangat inovasi yang mengalir di dalam urat darah mereka, maka keberadaan mereka pun dapat terlihat dengan jelas dengan adanya beberapa identifikasi pembeda dari para pendahulunya. Karena adanya semangat inovasi maka para penyair dekade 1980-an dapat dikatakan bukanlah bayang-bayang dari para pendahulunya, akan tetapi mereka berada dalam sebuah eksistensi tersendiri.
Merujuk pada Harry Aveling, ada beberapa perbedaan yang terjadi pada puisi generasi penyair Emha Ainun Nadjib, Ahmadun Yosi Herfanda dengan yang sebelumnya, yakni bahwa puisi-puisi generasi mereka dapatlah dikatakan jenis puisi yang meremaja, terang, ringan, bermesra-mesra, dan kesenangan pada referensi Al-Qur’an seperti penyebutan nabi dan mistikus Persia, berlatar dunia neo-romantik tentang daerah pedesaan di luar kota, dan mistik yang kuat. Hampir selalu ada kata cahaya pada cara pengungkapan mereka tentang dunia yang dipenuhi dengan Tuhan yang keagungan-Nya selalu menuntun manusia untuk memuja-Nya secara spontan, karena Tuhan ada di mana-mana dan sangat dekat.
Sampai di sini, tiba-tiba saya tergoda pada pemahaman saya yang kedua atas pernyataan Beni Setia tentang puisi sufistik dalam tulisannya tersebut. Dalam pemahaman yang kedua, saya menangkap ada usaha Beni Setia menyampaikan pemahamannya mengenai puisi sufistik. Melalui pernyataannya tersebut, saya menangkap bahwa dalam kerja penciptaannya sebuah puisi yang sufistik membutuhkan keterlibatan pengalaman riil kreatornya agar puisi sufistik ciptaannya tidak terperangkap dalam dandyisme tema dan terjerembab pada penciptaan ungkapan-ungkapan yang bukan Prima.
Dalam pemahaman umum, seorang sufi bukanlah seseorang yang hanya berpegang pada al-‘aql (intelektual/ akal budi) saja, melainkan seseorang yang mampu meleburkan al-‘aql dengan al-ruh (spirit) ke dalam dirinya. Dalam pemahaman umum tersebut, seorang sufi adalah ia yang memiliki penghayatan yang mendalam, utamanya terhadap hal-ihwal yang transendental, sebab pengetahuan yang diperoleh oleh seorang sufi bukan atau tidak melalui pikiran melainkan langsung masuk ke dalam benak.
Secara ajaran, merujuk pada Lorens Bagus, sufisme merupakan ajaran atau aliran mistik dalam islam yang mulanya muncul dalam abad ke-8 dan tersebar di kekhalifahan Arab, dan kemudian menyebar ke mana-mana. Dan oleh karena menyebar ke mana-mana, maka bukanlah menjadi hal yang mengherankan apabila sufisme memiliki bermacam variasi landasan filosofis ajarannya, semisal mereka yang menerima prinsip neo-platonisme sebagai landasan filosofisnya.
Bagi mereka para pengikut Sufisme yang menerima prinsip neo-platonisme, adanya Allah diterima sebagai satu-satunya realitas, dengan semua hal dan gejala-gejala yang menjadi emanasinya. Menurut mereka, tujuan tertinggi kehidupan adalah persekutuan mistik jiwa individual dengan Allah, yang menuntut pengasingan dari kehidupan manusiawi, dan persekutuan antara kaum beriman dengan Allah tersebut terjadi melalui ekstase.
Sampai di sini, tiba-tiba, saya tergoda lagi untuk melangkah ke titik berikutnya. Bahkan kali ini saya tergoda untuk melompat agak lebih jauh, yakni ke point kedua dari dua hal menarik yang saya temukan dalam tulisan Beni Setia “Dandyisme Puisi 80-an”, yakni perihal puisi gelap.
Dalam tulisannya tersebut, Beni Setia memaparkan bahwa puisi gelap tidak sama dengan pesan yang gelap. Gelap di sini tidaklah sama dengan ketiadaan tema, pesan puisi, makna atau keengganan untuk berkomunikasi dengan simbol canggih yang rasional, yang kebih memungkinkan sebuah pesan bisa atau dapat dilacak. Akan tetapi gelap di sini lebih merujuk pada pola ekspresi simbolik yang terlampau subyektif.
Melalui pernyataan Beni Setia tersebut, saya menangkap bahwa kegelapan puisi disebabkan oleh penggunaan simbol-simbol yang subyektif. Karena simbol-simbolnya subyektif, maka ia secara umum dapat dikatakan tidak rasional.
Sebab rasionalitas senantiasa mengandaikan adanya obyektivitas, dan obyektivitas mengandaikan pemahaman secara umum dan general atas suatu obyek. Akan tetapi hal ini tidak semena-mena menjadikan puisi tersebut, dalam bahasa Beni Setia, tiada tema, pesan puisi ataupun makna, ataupun puisi tersebut enggan melakukan komunikasi dengan simbol canggih yang rasional. Hanya saja ia terlampau kelewat subyektif, maka tema, pesan, ataupun makna sulit ditangkap secara jelas dalam kinerja komunikasi puisi tersebut. inilah mengapa puisi itu gelap atau suatu puisi itu diterima sebagai puisi gelap.
Iwan Fridolin dalam tulisannya yang berjudul “Impian dan Luka Sejarah” berpendapat bahwa secara umum puisi gelap dapat dikatakan sebuah puisi yang maknanya tersembunyi, sukar, atau tidak ada kemungkinan untuk dipahami. Ia mungkin menyajikan makna yang bertingkat-tingkat, keruwetan dan kerumitan pemikiran, atau ketiadaan makna sama sekali.
Ini biasanya ditandai juga oleh penggunaan gaya eliptik, metafor, alusi dan referensi yang muskil, bentuk tipografis, bahasa arkhaik atau berbunga-bunga, serta citraan atau simbol pribadi. Ini, salah satunya, menurut Iwan Fridolin, seperti yang terlihat pada puisi-puisi pada kaum Simbolis. Puisi-puisi mereka dapat disebut puisi gelap karena makna yang dikandungnya penuh dan padat.
Sampai di sini, entah mengapa tiba-tiba saya teringat pada satu bait dari salah satu puisi karya Beni Setia yang termuat dalam buku puisinya “Legiun Asing”, yang diterbitkan oleh Penerbit Balai Pustaka kisaran sembilan belas tahun yang lalu, atau tepatnya pada tahun 1987, yang pernah begitu saya sukai yang berbunyi: tanpa akar kita tak pernah benar-benar ada.
Terima kasih.
*) Penulis adalah penyair, esais, staf pengajar di Fakultas Sastra & Filsafat Universitas Panca Marga, Probolinggo. http://sastra-indonesia.com/2010/07/puisi-sufistik-palsu-gelap-dan-dekade-1980-an/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar