Dwi Klik Santosa *
Setiap bangsa, betapa juga biadabnya, mempunyai dongeng dan tahyul. Ada yang terjadi karena diceritakan dari mulut ke mulut untuk menyegarkan cakrawala keseharian. Ada juga yang dimaksudkan sebagai muslihat untuk menakut-nakuti anak-anak, supaya ia jangan terlampau nakal.Ada pula yang timbul atau muncul karena keajaiban alam, yang menjadi ihwal heran dan takut. Karenanya banyak orang yang lantas menyangka alam ini penuh dengan serba kegaiban dan keajaiban karena mitos dewa-dewa serta biduanda dan bidadarinya yang bermacam-macam itu.
Demikianlah, fantasi terbit sebagai cetakan pikiran, sebagai obyek atau produk peradaban manusia bermula. Semuanya itu barangkali menjadi sebuah ilustrasi bagaimana kreasi itu dimunculkan untuk memberi kekayaan khasanah. Dan, sebuah pernyataan dari seorang founding fathers kita itu, “mitologi atau dongeng adalah salah satu cara untuk melihat peradaban sebuah bangsa.”
Menyenangkan membaca buku Bung Hatta “Alam Pikiran Yunani”. Sebuah pencerahan saya rasa, dari ranah pengetahuan kebudayaan. Kita sama-sama tahu, siapa dan latar belakar Bung Besar ini. Seorang ekonom yang militan dan keras kepala dalam memperjuangkan prinsip-prinsip.
Hingga karena kuatnya pohon pokok yang dipegangnya, senantiasa menyisakan cerita yang getir menyoal hubungan dengan sohibnya Soekarno yang Bung Super Besar itu. Beda dan selisih pendapat. Dan mengisi lembaran kisah tersendiri dari sejarah pergulatan perjuangan bangsa ini mencari bentuk.
Adalah logika dan nalar dari sebuah analogi menarik risalah dari pergulatan bangsa Yunani dari abad lampau. Yang demikian mengalir dan dialektik menelurkan para pemikir yang kukuh dan teguh dalam eksplorasi menggali ”kebenaran” sebagai basis dari ilmu pengetahuan.
Pencarian dari hal yang baku soal apa, bagaimana klausul asal mula kehidupan. Menggenang dari yang paling awal, cerlang filosof alam, Thales (625 – 545 SM) bahwa dasar kehidupan itu bermula dari air. Beliau sang pujangga yang hidup di kisaran Mesir, konon sehari-hari tersugesti oleh mengalirnya Sungai Nil yang diangggapnya abadi.
Anaximandros (610 – 547 SM), murid Thales yang cerdas, tidak saja terpukau oleh cara gurunya berdialek dengan alam lalu memutuskan sebuah teori. Lantas beliau pun mencari akan ”asal’ dari segalanya. Beliau tidak menerima saja apa yang diajarkan gurunya. Yang dapat diterima akalnya ialah bahwa yang asal itu satu, tidak banyak. Tetapi yang satu itu bukan air.
Menurut pendapatnya, barang asal itu tidak berhingga dan tidak berkeputusan. Yang asal itu, yang menjadi dasar alam dinamai Anaximandros sebagai ”Apeiron”. Apeiron itu tidak dapat dirupakan, tak ada persamaannya dengan salah satu barang yang kelihatan di dunia ini. Segala yang kelihatan itu, yang dapat ditentukan rupanya dengan pancaindra kita, adalah barang asal, yang tiada berhingga dan tiada berkeputusan, mustahil salah satu dari benda yang berakhir itu.
Segala yang tampak dan terasa dibatasi oleh lawannya. Yang panas dibatasi oleh yang dingin. Dimana bermula yang dingin, di sana berakhir yang panas. Yang cair dibatasi oleh yang beku, yang terang oleh yang gelap. Dan bagaimana yang berbatas itu akan dapat memberikan sifat kepada yang tidak berkeputusan?
Segala yang tampak dan terasa itu, segala yang dapat ditentukan rupanya dengan panca indera kita, semuanya itu mempunyai akhir. Ia timbul (jadi) , hidup, mati dan lenyap. Segala yang berakhir berada dalam ”kejadian” senantiasa , yaitu dalam keadaan berpisah dari yang satu kepada yang lain. Yang cair menjadi beku dan sebaliknya. Yang panas menjadi dingin dan sebaliknya. Semuanya itu terjadi daripada ”Apeiron” dan kembali pula kepada ”Apeiron”. Begitulah, sampai pada analogi, Anaximandros menganggap jiwa yang menjadi dasar hidup itu serupa dengan udara.
Dan, begitulah, simpulan sebagai teori Anaximandros pun sangat-sangat menggelitik bagi Anaximenes (585 – 528 SM) untuk mencermati dan menggulatinya mengisi hari-hari. Sebagai murid yang cerlang beliau pun tak kalah gigih dan trengginas untuk bereksplorasi dan bereksperimen untuk menyelidiki kandungan dan misteri yang tersembunyi di balik ajaran dan simpulan Anaximandros gurunya.
Bahwa ”jiwa itu serupa dengan udara” sebagaimana jiwa kita, yang tidak lain daripada udara, menyatukan tubuh kita, demikian pula udara mengikat dunia ini jadi satu, mendapat sorotan tajam dalam riset Anaximenes. Beliau pun membuka sebuah pertanyaan ; ”Gerakan apakah yang menjadi sebab terjadinya alam yang lahir banyak ragam dan macam itu daripada benda asal yang satu itu?”
Sebagai ahli ilmu alam, Anaximenes mencari jawabnya dengan memperhatikan pengalaman. Semuanya terjadi dari udara. Kalau udara diam saja, sudah tentu tidak terjadi yang lahir itu dengan berbagai macam dan ragam. Sebab itu gerak udaralah yang menjadi sebab jadinya. Udara bisa jarang dan padat. Kalau udara menjadi jarang, terjadilah api. Kalau udara berkumpul menjadi rapat, terjadilah angin dan awan. Bertambah padat sedikit lagi, turun hujan dari awan itu. Dan air terjadi tanah, dan tanah sangat padat menjadi batu.
Anaximenes berpendapat, dunia ini datar seperti meja bundar, dan di bawahnya ditopang oleh udara. Udara yang mengangkatnya itu tidak punya ruang buat bergerak dan bersebar, sebab itu tetap duduknya. Dan oleh karena itu bumi ini tetap pada tempatnya. Matahari, bulan dan bintang itu dilahirkan oleh bumi. Uap yang keluar dari bumi naik ke atas. Di atas ini jadi jarang, dan sebab itu menjadi api. Api itu menyala menjadi matahari, bulan dan bintang. Yeaaahhhh...
Menyenangkan rasanya, membaca dan mencerna logika yang indah dari para pujangga-pujangga masa lampau. Begitu tekun. Begitu kukuh. Betapa seorang yang berdedikasi tinggi untuk membuka tabir misteri semesta ciptaan Yang Tunggal dan Maha Mencipta.
Tidak ada yang sempurna. Begitulah, lalu menimbulkan ”kecurigaan” dan lantas ”disangkal”, diteliti ulang, dan ditelurkan lagi simpulan sebagai teori. Mengalir secara dinamis dan dielektik, saling menggenapi dan berparadigma, dari para pecinta hidup dan pemilik kesetiaan yang luar biasa, mengalir dari Herakleitos, Xenophanes, Parmenides, Zeno Melissos, Phytagoras, Empedokles, Anaxagoras, Leukippos, Demokritos, Protagoras, Gorgais, Hippias, Prodikos, hingga pada babak klasik yang monumental, Trilogi Sokrates, Plato, Aristoteles, dan masa-masa Yunani setelahnya dalam zaman Helen Romana.
Buku ”Alam Pikiran Yunani” karya Bung Hatta secara utuh dalam buku terbitan Universitas Indonesia Press (UI-Press) sebenarnya terjilid lengkap dari 3 (tiga) buku. Yaitu yang tersusun dari Filosfofi Mula (Alam), Filosofi Sofisme dan Klasik serta Filosofi Helen-Romana. Ditulis sewaktu beliau menjalani pembuangan di Digul.
Dengan sebuah keyakinan, bahwa, siapa tahu, catatan-catatannya ini nanti akan berguna bagi generasi penerus setelah bangsa ini merdeka. Menjadi sebuah cara, untuk bercermin dan pembelajaran yang sebaik-baiknya bagi anak bangsa ini dalam mengisi kemerdekaan dengan karya-karya agung yang bisa memajukan ilmu pengetahuan, akal budi dan meninggikan harkat nusantara sebagai entitas salah satu peradaban universal yang adiluhung.
2012
*) Dwi Klik Santosa, lahir 9 Januari 1974, sebagai anak kedua bapak Siswo Suwarno dan ibu Satiri. Pernah menjalani pendidikan akademis di Jakarta dan Jogja (pada jurusan Komunikasi, UPN Veteran Jogyakarta), dan selama malang-melintang menjadi mahasiswa terpinalti sebagai aktivis. Pernah menjadi wartawan, dan mendirikan sanggar bermain bagi anak-anak dan remaja di kampung lahirnya. Pegiat seni-budaya, berkelana dan singgah dari tempat ke tempat di Sukoharjo, Solo, Jogja dan Jakarta. Bekerja sebagai copywriter di Zentha Hitawasana, Jakarta. http://sastra-indonesia.com/2021/01/membaca-untuk-memahami-alam-pikiran-yunani-bung-hatta/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar