Ketika dihadapkan pada kewajiban membuat PTK (Penelitian Tindakan Kelas) atau CAR (Class Action Research), bisa jadi muncul pertanyaan yang mendasar pada diri kita. Pekerjaan sebagai guru sudah banyak, mengapa harus dibebani lagi dengan membuat PTK? Bukankah sudah ada para peneliti pendidikan yang hasil penelitiannya dapat dimanfaatkan para guru?
Berikut alasan yang membuat antipati guru terhadap PTK berkurang, anggapan bahwa hasil-hasil penelitian penddidikan dapat dimanfaatkan guru, ternyata tak seluruhnya benar, seperti apa yang diungkapkan Raka Joni dalam Wardani dan Kuswaya W. (2011). Penelitian pendidikan pada umunya dilakukan para pakar atau peneliti dari LPTK, sehingga masalah yang diteliti kurang dihayati oleh guru, meski penelitian tersebut dilaksanakan di kelas. Sebagai akibatnya, guru yang menjadi objek kajian, tidak terlibat dalam pembentukan pengetahuan, kemudian penyebarluasan hasil penelitian ke kalangan praktisi di lapangan memakan waktu cukup lama, lantaran publikasi melalui jurnal ilmiah sering membutuhkan waktu cukup lama juga.
Meskipun demikian, seorang guru yang sudah mendapat predikat profesional, yang indikatornya mempunyai Sertifikat Pendidik dan layak mendapat Tunjangan Professional Pendidik (TPP), sebagian besar mereka tidak mempunyai hasrat ataupun minat untuk mengembangkan diri.
Banyak seminar atau diklat yang dilaksanakan bertema pembuatan PTK, banyak juga guru mengikuti untuk mengembangkan diri sebagai guru profesional, tapi kebanyakan menganggap kegiatan tersebut “liburan atau ajang reuni” dari aktivitas mengajar. Sehingga kebanyakan tidak memperhatikan isi dari seminar atau diklat, yang akibatnya kembali tanpa menghasilkan apapun yang berguna untuk dirinya. Meskipun tak sedikit juga guru yang sungguh-sungguh mengikuti kegiatan tersebut.
Salah satu dasar guru harus menyusun PTK ialah Permenpan Nomor 16 tahun 2009 tentang jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya pasal 16 ayat 2 Guru Pertama; mengamanahkan bahwa pangkat Penata Muda Golongan ruang III/a sampai dengan guru utama, golongan ruang IV/e wajib melakukan kegiatan pengembangan keprofesian berkelanjutan, yang meliputi sub-unsur pengembangan diri, publikasi ilmiah, dan/atau karya inovatif.
Pada diklat fungsional “Peningkatan Kompetensi Guru dalam Menyusun Karya Tulis Ilmiah” yang diselenggarakan PGRI Kabupaten Lamongan, tanggal 23, 24 dan 25 Januari 2016, salah satu nara sumber berkata, seorang yang mendeklarasikan dirinya profesional, harus memenuhi 3 persyaratan: Expertise (keahlian), Responsibility (tanggung jawab), kemudian Corporatenes (kesejawatan atau jiwa korsa).
Proses belajar-mengajar harus lebih bermakna, selalu mengikuti kemajuan, terus mengadakan perbaikan dan senantiasa mengikuti keterbaruan (up to date), jika tidak, hanya menjadi proses belajar bagaikan sebuah fosil belaka. Guru selalu berpesan agar siswanya rajin belajar, apakah gurunya juga rajin belajar dan selalu berinovasi?
Dalam penyusunan PTK (Penelitian Tindakan Kelas) atau CAR (Class Action Research), tentu berbeda dengan penyusunan penelitian yang lain. Dalam penyusunan PTK, guru dipicu oleh masalah yang muncul pada suatu proses belajar-mengajar dan membutuhkan waktu secepat mungkin untuk menyelesaikan, cari jalan keluar dan memperbaiki proses belajar yang selama ini dilakukan. Perbaikan itu diprakarsai diri guru sendiri (an inquiry of practice from within). Guru melakukan refleksi diri (self reflective inquiry), bagi bahan pengumpulan data, mengingat yang sudah dilakukan di kelas, apa dampaknya yang terpenting, dan memikirkan; mengapa timbul dampak tersebut (?).
Guru merefleksi diri sendiri dengan pertanyaan. Misalkan: Apakah penjelasan saya terlalu cepat? Apakah siswa diam berarti paham ataukah bingung? Apakah siswa sudah saya beri kesempatan bertanya? Apakah siswa sudah saya beri media menarik sekaligus bermakna? Apakah saya telah mengomentari semua hasil latihan siswa? Dan lainnya.
Dari pertanyaan tersebut, guru mencoba mencari jalan keluar. Fokus PTK hanya pada kegiatan pembelajaran berupa perilaku guru dan siswa dalam berinteraksi, yang tujuan utamanya adalah perbaikan dilakukan secara bertahap terus-menerus selama kegiatan penelitian. Maka dalam PTK dikenal adanya siklus yang terdiri dari perencanaan, pelaksanaan, observasi, refleksi dan revisi (perencanaan ulang). Hal ini merupakan perbedaan PTK dengan penelitian lainnya, jika dalam satu siklus kurang terlihat hasil memuaskan, maka dapat melakukan siklus berikutnya sampai mencapai hasil optimal. Intinya cari fokus masalahnya, fokus tindakannya, dan bagaimanakah hasilnya.
Buatlah suatu bahan atau cara untuk perbaikan pembelajaran dengan hal baru, sebagai seorang guru harus mampu berinovasi, agar setiap pelajaran yang diberikan ke siswa selalu bermakna - mengena. Misal penggunaan media PAKUTATA dalam mengajar membaca di kelas 1, media PETA TEMPEL dalam mengajar IPS di kelas 4, media ORIGASUMI dalam mengajar surat resmi di kelas 6, dll. Begitupun dengan metode-metode yang diterapkan dalam mengajar harus mengandung unsur 4M (menarik, menantang, menyenangkan dan mengena). Semua guru pasti bisa menyusun PTK, asal ada niat dalam diri dan upaya terus memperbaiki pendidikan generasi penerus bangsa.
Sebelum menasehati muridmu
bertanyalah kepada dirimu:
Apakah kamu sudah
melakukan
apa yang
akan kamu nasehatkan?
***
*) Nurul Komariyah, M.Pd., lahir 22 September 1985 di Dusun Bagel, Sumberagung, Sukodadi, Lamongan. Mengajar di SDN Sumberaji, Sukodadi, dan aktif di Kepramukaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar