Kamis, 25 Februari 2021

Sajak Melankolisme Taufik Ismail

Aguk Irawan Mn *
sinarharapan.co.id
 
Dengan rasa rindu kukenang pemilihan umum setengah abad yang lewat
Dengan rasa kangen pemilihan umum pertama itu kucatat
Peristiwa itu berlangsung tepatnya di tahun lima puluh lima
Ketika itu sebagai bangsa kita baru sepuluh tahun merdeka
***
 
Sebagai pencinta sastra, siapa pun barangkali tak pernah tidak memperhatikan proses kreativitas sastrawan Taufik Ismail. Maka ketika belum lama ini Taufik Ismail membacakan sajaknya yang terbaru “Ketika Indonesia Dihormati Dunia” di depan KPU, lantas media massa dengan reaksi yang cepat merekamnya, sampai sekarang kita masih ingat bahwa bait sajak di atas adalah bait pertama dari sajaknya Taufik Ismail yang baru itu.
 
Dalam bersastra, karya Taufik memang nyaris tak pernah kering dan sepi dari muatan politik. Bahkan Taufik sering membenturkan isu budaya, pendidikan, ekonomi dan sosial dengan hiruk-pikuk yang berbau politik. Demikian halnya dengan Asrul Sani, Pramoedya Ananta Toer, B. Soelarto, Muchtar Lubis, Wiratmo Soekito dan penulis-penulis lain, maka Taufik sebagai sastrawan pelopor penandatangan Manikebu ingin juga memperlihatkan bahwa dengan berkesenian serta bersastra ia tetap menekuni politik. Hal ini bisa dibuktikan sejak pertama kali ia menyandang gelar penyair pada tahun 1966. ketika itu, dengan semangat yang luar biasa, melalui sajak “Tirani” dan “Benteng”nya ia cukup andil menumbangkan Orde Lama (Soekarno), dan kita lihat di sana bagaimana ia menggambarkan zaman yang bergolak dan penuh idealisme itu. Lalu dilaksanakanlah Pemilu dengan hura-hura berdarah, segala tipu dan fitnah dalam teriakan histeris jurdil dan pesta demokrasi. Dan dengan gegap gempita masyarakat bergegas menyongsong lahirnya Orba. Kemudian saat Orba ditumbangkan (1998), Taufik ?malu-malu? meluncurkan buku berjudul Malu (Aku) Menjadi Orang Indonesia.
 
Sajak Taufik memang mempunyai spirit juang yang tinggi. Daya ekspresi bahasa yang diluncurkan bisa membawa sentak tangan yang dikepalkan, telunjuk jari yang diacungkan, dan lengan baju yang disingsingkan. Dalam sajak-sajak “Tirani” terhadap Orde Lama dapat kita lihat pemandangan seperti itu, meskipun sajak ini hanya berlaku satu kali saja, yakni terhadap Orde Lama. Tapi pilihan kata Taufik tampak begitu berbobot dan “matang”, bahkan hinggga sekarang masih mempunyai kekuatan yang sulit tertandingi oleh sastrawan lain. Saya yakin bahwa sajak-sajak tirani Taufik Ismail tetap akan bernilai universal, meskipun Taufik hanya memilih “diam” dalam menghadapi kenyataan Orde Baru yang lebih tirani di permukaan Indonesia. Dengan demikian, bukankah ini lebih akan mempertegas bahwa Taufik adalah sastrawan politikus.
 
Kemudian tidak berlebihan jika lahir hipotesis bahwa Taufik adalah sastrawan politikus, yang kemudian citra ini lambat laun semakin pupus dan tergantikan dengan stigma negatif ketika Taufik menciptakan sajak yang ganjil. Coba kita renungkan baat terakhir dari sajak itu.
 
Antara rasa rindu dan malu puisi ini kutuliskan
Rindu pada pemilu yang bersih dan indah, pernah kurasakan
Malu pada diri sendiri, tak mampu merubah perilaku Bangsaku.
 
Taufik seperti mengalami kekecewaan yang luar biasa, sangat terpukul dengan kondisi Orde Reformasi. Bahkan ia seakan telah menyesali kenyataan kehidupan berkebangsaan yang sekarang ini kita jalankan bersama. Mungkin Taufik menganggap bahwa proses reformasi ini terlalu pahit bagi kehidupan politiknya. Sehingga benar apa yang dikatakan Ulil Abshar Abdalla, bahwa sajak Taufik Ismail “Ketika Indonesia Dihormati Dunia” adalah sajak “melankolis”, meratap, melihat masa lalu seolah-olah sebagai “surga” yang tak akan kembali. Pada kenyataannya sajak Taufik memang mencerminkan sebagian pandangan yang berkembang dalam masyarakat; pandangan yang ingin saya sebut “melankolisme-masokis”.
 
Menjenguk sejarah memang penting dan sangat dibutuhkan bagi kesinambungan membangun Indonesia; di masa kini dan akan datang, agar penyegaran perjuangan selalu ada. Tapi meratapi kepergian masa lalu yang menggembirakan dan terus memujanya, adalah sikap memilukan bagi seorang yang berjiwa patriot. Sebab yang terpenting bagi kita sekarang adalah menciptakan ?surga? di Indonesia yang telah lama dirampok oleh Orba. Agaknya, sajak Taufik memang ambivalen dan hiperbolis dalam melihat masa lalu. Sementara kita pun mengerti bahwa pemilu 1955 memang tak semuanya sempurna, dan sejarah telah mencatat ada kejanggalan-kejanggalan di dalamnya yang berbelit. Selain masa itu, Pemilu 1955 militer masih belum begitu simpati terhadap kekuasaan dan belum menjadi gurita yang membelit negara.
 
Menurut Z. Afif. Pemilu 1955 dilaksanakan oleh para republiken, orang-orang yang sangat merasakan penindasan kolonialisme yang juga memperalat feodalisme. Orang-orang yang bercita-cita membangun sebuah republik yang benar-benar berlandaskan trias-politika yang sesungguhnya. Dan masa itu lepra politik uang seperti di tubuh elite politik belum berjangkit, walaupun tidak terbantahkan memang ada tikus dalam kepegawaian yang makan sedikit-sedikit milik negara untuk menombok belanja rumah.
 
Mungkin Taufik lupa, bahwa ada perbedaan yang perlu diingat antara Pemilu 1955, Pemilu Orba dan Pemilu sekarang. Pemilu 1995 bertujuan untuk mewujudkan republik yang demokratis dan parlemen yang ditempati oleh wakil-wakil rakyat. Pemilu Orba untuk memperkukuh kekuasaan otokrasi militerisme dan dilaksanakan dengan sistem politik uang dan nepotisme melalui Golkar. Sementara Pemilu sekarang berusaha keras menuju masyarakat yang berkedaulatan penuh. Untuk itu, nostalgia masa lalu yang menurut Taufik patut dibanggakan, biarlah sebagai arsip pribadi dan bahan cerita untuk anak dan cucu.
 
Sampai akhir sajak itu ditulis “Ketika Indonesia Dihormati Dunia” Taufik menunjukkan ratapan yang dahsyat dan merindui masa lalu yang sudah tenggelam. Ia seakan telah memerankan tokoh dalam kehidupan tanpa opsi dan solusi. Sastra yang seharusnya sebagai ruang pertemuan antara batin dan kenyataan, kandas di jalan, atau dalam bahasa Rene Wellek, Taufik gagal memakai medium bahasa untuk institusi sosial. Menurut Teeuw sastra jenis ini telah kehilangan peran dalam meredamkan ketegangan antara konvensi (tradisi) dan inovasi (pembaruan). Sebab peran sastra sepanjang masa hendak memperjuangkan peralihan-peralihan formasi baru yang dapat dianggap menjalani transformasi dan sintesis. Tanpa adanya kerinduan yang berlebihan terhadap kebangkitan kembali nilai-nilai masa lalu.
 
Maka bentuk seni dan kebudayaan yang mencerahkan dan memberi semangat yang tinggi bagi pembangunan Indonesia ke depan masih tetap diperlukan sebagai lawan dari sastra melankolis yang lebih mengedepankan sikap apatis dan pesimisnya, adalah sastra heroik memang sepatutnya lebih ditampilkan kepada khalayak pada masa-masa “hilang rasa eling” sebagai pengimbang bahasa propaganda dan retorika luar biasa gencar yang acap kali membuat telinga pekak dan mata gelap. Dengan demikian, lepas dari kekurangannya, sajak Taufiq, bagaimanapun adalah cermin rakyat yang bimbang menghadapi gelombang masa depan, untuk itu tetap patut dibaca di depan rakyat untuk mengkritisi sikap pemerintah terhadap pemilu.
 
Akhirnya saya sepakat dengan Ulil. Tak usah meratap, melihat masa lampau terus-menerus sebagai “firdaus” yang hilang. Gejala ini tidak sehat untuk membangun negeri ini di masa depan. Karena ada banyak perkembangan positif di negeri kita yang harus diberi apresiasi; dan perkembangan itu hanya mungkin karena ada reformasi. Nilai, harga, dan bobot sebagai hasil yang diperoleh selama reformasi tak kalah dengan Proklamasi Kemerdekaan, Pemilu 1955, Sidang Konstituante, atau pidato-pidato Bung Karno yang menyulut “adrenalin” masyarakat kecil. Hasil-hasil selama reformasi juga tak kalah bobotnya dengan pembangunan selama periode Soeharto.
 
Bagaimanapun kita memang harus mengakui, kecuali kalau kita masih ingin terus memberi napas pada status quo (Orde Baru).
 
Kairo, 9 April 2004
 
*) Penulis adalah Staf Peneliti Kebudayaan LKiS Yogyakarta, Mahasiswa Jurusan Aqidah dan Filsafat Al Azhar Kairo, Mesir. http://sastra-indonesia.com/2009/03/sajak-melankolisme-taufik-ismail/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

20 Tahun Kebangkitan Sastra-Teater Lamongan A Jalal A. Anzieb A. Khoirul Anam A. Mustofa Bisri A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja Abdoel Moeis Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdullah Abubakar Batarfie Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Achdiat K. Mihardja Achiar M Permana Adek Alwi Adhi Pandoyo Adib Baroya Aditya Ardi N Adri Sandra Adu Pesona Sang Wakil Cawapres RI Afrizal Malna Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Buchori Agus Dermawan T. Agus Mulyadi Agus Prasmono Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahmad Farid Yahya Ahmad Hasan MS Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Saifullah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alawi Al-Bantani Alfatihatus Sholihatunnisa Alfian Dippahatang Ali Audah Alim Bakhtiar Amie Williams Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amril Taufik Gobel An. Ismanto Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 AndongBuku #3 Andrea Hirata Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Antologi Sastra Lamongan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Arafat Nur Ardi Wina Saputra Ardy Suryantoko Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arman A.Z. Arsyad Indradi Asarpin Ashimuddin Musa Asrul Sani Astuti Ananta Toer Atafras Audifax Awalludin GD Mualif Ayu Nuzul Azizah Hefni B Kunto Wibisono Bahrul Amsal Bambang Kempling Beni Setia Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bloomberg Bre Redana Budaya Budi Darma Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Candra Adikara Irawan Candrakirana Cangaan Ujungpangkah Gresik Jawa Timur Capres Cawapres 2019 Catatan Ceramah Cerpen Chairil Anwar Chicilia Risca CNN Indonesia Coronavirus COVID-19 D. Zawawi Imron Damiri Mahmud Darju Prasetya Darman Moenir Deddy Arsya Denny JA Denny Mizhar Devy Kurnia Alamsyah Dhoni Zustiyantoro Dian Sukarno Didin Tulus Dien Makmur Din Saja Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Donny Anggoro Donny Darmawan Dr. Hilma Rosyida Ahmad Dwi Cipta Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dyah Ayu Fitriana Ecep Heryadi Edy Suprayitno Eka Budianta Eka Kurniawan Elok Dyah Messwati Engkos Kosnadi Erdogan Erwin Setia Esai Esti Nuryani Kasam Evan Ys F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Fahrur Rozi Faidil Akbar Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathul Qorib Fatkhul Anas Feby Indirani Felix K. Nesi Festival Teater Religi Festival Teater Religi Pelajar SLTA Se-kabupaten Lamongan Fira Basuki Forum Santri Nasional (FSN) Frischa Aswarini Fuad Mardhatillah UY Tiba Fuad Nawawi Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gde Artawan Geger Riyanto Geguritan Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Guenter Grass Gus Ahmad Syauqi Gus tf Gusti Eka Habib Bahar bin Smith Haiku Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Han Gagas Hary B Koriun Hasan Basri Hasnan Bachtiar Heri Ruslan Herman Hesse Hertha Mueller Heru Kurniawan Hestri Hurustyanti Holy Adib Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu I Made Prabaswara I Made Sujaya IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah) Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Iksaka Banu Imam Jazuli Imam Nawawi Imammuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Mahadi Indra Tjahyadi Irfan Afifi Irine Rakhmawati Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS J.S. Badudu Jadid Al Farisy Jajang R Kawentar Jawa Timur Jean Marie Gustave le Clezio JJ. Kusni Jl Raya Simo Sungelebak Jo Batara Surya John H. McGlynn Jordaidan Rizsyah Jual Buku Paket Hemat Juara 3 Lomba Lompat Jauh DISPORA LAMONGAN Jurnalisme Sastrawi K.H. Ma'ruf Amin Kadek Suartaya Kaheesa Kirania Putri Ayu Kahfie Nazaruddin Kalis Mardiasih Kamaluddin Ramdhan Kanti W. Janis Karanggeneng Kardono Setyorakhmadi Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Pantura (KBP) KetemuBuku Jombang KH. M. Najib Muhammad KH. Muhammad Amin (1910-1949) Khairul Mufid Jr Khawas Auskarni Khoirul Abidin Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kitab Arbain Nawawi Kodrat Setiawan Kompas TV Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra dan Teater Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) Kopuisi Kostela Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kurnia Effendi Kuswaidi Syafi’ie L Ridwan Muljosudarmo L.K. Ara Lamongan Lan Fang Lawi Ibung Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Literasi Liza Wahyuninto Lukas Luwarso Lukisan Lukman Lukman Santoso Az Lutfi Mardiansyah M Farid W Makkulau M. Faizi M.D. Atmaja Madrasah Aliyah Matholi'ul Anwar Madrasah Ibtida’iyah Thoriqotul Hidayah 1 Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S Mahayana Manado Manneke Budiman Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mario F. Lawi Marsel Robot Martin Aleida Marwanto Mashuri Massayu Masuki M. Astro Masyhudi Media Seputar Pendidikan Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Purnama di Kampung Halaman Mereka yang Menjerat Gus Dur MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mien Uno Moh. Dzunnurrain Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Rafi Azzamy Mohammad Rokib Mohammad Yamin Muafiqul Khalid MD Much. Khoiri Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alfatih Suryadilaga Muhammad Antakusuma Muhammad Fikry Mauludy Muhammad Hafil Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad N. Hassan Muhammad Subarkah Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Muhyiddin Mukadi Mukani Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Musa Ismail Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang E S Nara Ahirullah Naskah Teater Nezar Patria Noor H. Dee Nunus Supardi Nur Haryanto Nur Wachid Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Okky Madasari Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Pameran Lukisan Parimono V / 40 Plandi Jombang PC. Lesbumi NU Babat PDS HB Jassin Pelukis Dahlan Kong Pelukis Tarmuzie Penculikan Aktivis 1988 Pendidikan Pengajian Pengarang kelahiran Lamongan Pentigraf Pepaosan Perbincangan Peringatan Hari Pahlawan 10 November Pilang Tejoasri Laren Lamongan Jawa Timur Pipiet Senja Politik Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Jokowi Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi (PMK) Puji Santosa Pustaka LaBRAK PUstaka puJAngga R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Reuni dan Halal Bihalal Mts Putra-Putri Simo 1992 Ribut Wijoto Riki Antoni Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Robin Al Kautsar Rodli TL Roland Barthes Rosi Rosihan Anwar RR Miranda Rumah Budaya Pantura (RBP) S. Jai S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabrank Suparno Safitri Ningrum Sainul Hermawan Sajak Salman Aristo Sandiaga Uno Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Sastra Tasikmalaya (SST) Sarasehan dan Launching Buku Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Kuno Suku Sasak Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Satu Jam Sastra Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seni Gumira Ajidarma Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Pendidikan Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sirdjanul Ghufron Siwi Dwi Saputro Slamet Rahardjo Rais Soediro Satoto Soekarno Soeparno S. Adhy Soesilo Toer Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Handi Lestari Sri Wintala Achmad STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sujatmiko Sukarno Suminto A. Sayuti Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahrudin Attar Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Sylvianita Widyawati Tangguh Pitoyo Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teater nDrinDinG Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tias Tatanka Timur Sinar Suprabana Titi Aoska Tiyasa Jati Pramono Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Toni Masdiono Tri Broto Wibisono TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Jember Universitas Negeri Jember Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyu Aji Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Wiji Thukul Wildan Nugraha Wildana Wargadinata Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yerusalem Ibu Kota Palestina Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Herwibowo Yuditeha Yusri Fajar Yuval Noah Harari Zainal Arifin Thoha Zainuddin Sugendal Zara Zettira ZR Zehan Zareez Zuhdi Swt