Rabu, 28 April 2021

Sastra Yang Tidur Dalam Kulkas

Saut Situmorang *
 
“Aku tidur di depan sebuah kulkas. Suaranya berdengung seperti kaus kakiku di siang hari yang terik. Di dalam kulkas itu ada sebuah negara yang sibuk dengan jas, dasi, dan mengurus makanan anjing. Sejak ia berdusta, aku tak pernah memikirkannya lagi.” Demikianlah bunyi empat baris pertama prose-poem Afrizal Malna yang berjudul “Persahabatan Dengan Seekor Anjing” dari bukunya Dalam Rahim Ibuku Tak Ada Anjing (Bentang, 2002).
 
Sajak prosa Afrizal tersebut, bagi saya, merupakan semacam metafor atas apa yang selama ini dikenal sebagai “sastra Indonesia”. Saya bilang selama ini karena, bagi saya, saat ini sudah tak ada lagi “sastra Indonesia” itu. Walau bahasa ekspresinya masih memakai bahasa “Indonesia”, tapi isi dari “sastra” yang disebut sebagai “sastra Indonesia” tersebut sudah bukan sastra lagi melainkan sesuatu yang cuma berpretensi sebagai “sastra” belaka. Dunia “sastra Indonesia” saat ini telah menjadi sebuah “negara” dalam sebuah “kulkas” dengan “partai-partai spanduk dan kaos oblong”. Sebuah negara “yang sibuk dengan jas, dasi, dan mengurus makanan anjing” sambil “mencekik suara rakyat”nya sendiri, yaitu para sastrawan, para seniman sastra, yang dalam kepala masing-masing tak ada ambisi ekstra-literer kecuali hanya bagaimana mencipta karya-karya sastra yang baik dan perlu untuk dibaca oleh pembaca lokal maupun internasional. Baik karena memang ditulis sebagai sebuah karya seni dan perlu untuk dibaca karena memang menawarkan sebuah ide, sebuah pemikiran yang bisa memperkaya pengalaman intelektual pembacanya. Para seniman sastra yang mempertaruhkan reputasi kesenimannya hanya pada mutu karyanya, bukan pada politik berkesenian yang semata-mata didukung oleh besarnya jumlah uang dan dusta belaka.
 
Arogansi yang cuma bersandar pada besarnya jumlah uang dan retorika dusta sudah merajelela dalam dunia kang ouw sastra Indonesia. Para dilettante sastra, para petualang sastra merajalela, menjadi paus-paus sastra baru, mencipta kanon-kanon sastra baru. Tapi tak pernah sekalipun para paus-paus sastra baru ini mampu membuktikan di mana sebenarnya kedahsyatan kanon-kanon sastra baru yang mereka ciptakan itu. Berhasilnya mereka menjadi paus-paus sastra baru yang mencipta kanon-kanon sastra baru pun bukan disebabkan oleh kedahsyatan argumentasi teori seperti yang biasanya terjadi dalam sebuah dunia yang demokratis dan beradab tapi cuma karena dominasi besarnya jumlah uang dalam bentuk media massa yang mereka miliki semata. Media mereka inilah yang menjadi alat retorika dusta mereka. Media mereka inilah arogansi mereka.
 
Impotensi kritik sastra di Indonesia merupakan sebuah penyebab utama merajalelanya para dilettante sastra. Otoritas akademis/teoritis sebuah institusi kritik sastra di “negara yang sibuk mengurus makanan anjing” ini sudah digantikan oleh otoritas modal kapitalis.
 
Kondisi pascakolonial ini makin diperparah oleh munculnya sebuah fenomena baru, yaitu maraknya keberadaan komunitas pengarang. Komunitas pengarang yang sejatinya adalah perkumpulan sekelompok pengarang independen yang berideologi artistik yang sama — seperti yang kita kenal dalam sejarah peradaban Barat pada para pengarang Neo-Klasik, para pengarang Romantik, para pengarang Simbolis, para pengarang Ekspresionis, para pengarang Futuris, para pengarang Imagis, para pengarang Dada, Surrealis, Absurd, Eksistensialis, Realis-Magis, Beat, L-A-N-G-U-A-G-E, Konkrit, Marxis, Feminis, Pascakolonial, Posmo… — di negeri ini ternyata cuma menjadi komunitas sastra arisanis belaka.
 
Namanya saja “komunitas pengarang” tapi orientasi hidupnya bukanlah mengarang dalam pengertian kreatif kata tersebut melainkan menunggu antrean arisan untuk diundang baca puisi atau baca prosa oleh komunitas sastra yang paling dominan kekuasaan uangnya.
 
Idealisme para leluhur mereka yaitu para pengarang Barat (yang sering mereka ejek atau puja-puji setinggi langit walau tak pernah mereka baca/pahami dengan sebenarnya itu) yang telah berhasil mewariskan beragam aliran estetika di atas telah mereka campakkan ke dalam tong sampah sejarah. Akibatnya, bukan pluralisme gaya menulis yang terjadi tapi keseragaman fascis estetika. Bukan keseragaman eksplorasi artistik yang menghasilkan gerakan seni (art movement), tapi fetishisme selera seseorang, atau dua orang, yang menjadi duta besar kepentingan politik komunitas sastra yang paling besar kekuasaan uangnya. Koran dan majalah adalah kedutaan-besar komunitas sastra yang paling besar kekuasaan uangnya.
 
Skandal sastra adalah kanonisasi sastra, tapi dalam versi Indonesia, skandal sastra adalah sekedar skandal sastra. Skandal sastra yang disebabkan buku puisi Baudelaire Les fleurs du mal (1857) di Prancis, yang disebabkan novel Lady Chatterley’s Lover (1928) DH Lawrence di Inggris, yang disebabkan novel esek-esek Henry Miller Tropic of Cancer (1934) atau buku puisi Howl (1956) Allen Ginsberg di Amerika Serikat, misalnya, telah membuka sebuah horison kemungkinan gaya mengarang yang baru pada masing-masing budaya, telah menyebabkan musim semi artistik pada dunia sastra masing-masing budaya.
 
Tapi skandal sastra pada apa yang dulu disebut “sastra Indonesia” itu cuma memperparah kondisi impotensi kritik sastra dan meningkatkan kekuatan dominasi komunitas sastra tertentu yang memang sengaja menciptakan skandal-skandal sastra tersebut.
 
Skandal sastra adalah alat untuk melegitimasi sekaligus memperkokoh status quo komunitas sastra yang paling besar kekuasaan uangnya. Skandal sastra itu sendiri bisa mengambil bentuk pembuatan klaim-klaim pseudo-kritik sastra atas karya-karya sastra tertentu, biasanya menjatuhkan untuk karya produk komunitas lain dan mengelu-elukan kalau dikarang anggota komunitas sendiri. Klaim-klaim pseudo-kritik sastra itu sendiri diumumkan bukan lewat jalur komunikasi informasi yang netral tapi melalui media massa nasional yang dimiliki komunitas yang berkepentingan dimaksud. Skandal sastra juga dilakukan lewat pemberian hadiah sastra kepada pengarang-pengarang tertentu atau, ini yang paling sering menjadi pilihan strategis, melalui undangan festival sastra yang diselenggarakan komunitas yang berkepentingan dimaksud. Tapi dengan satu catatan pinggir: para pengarang “tertentu” yang dipilih tersebut memang sudah tertentu ideologi kepengarangannya, yaitu minimum bukan merupakan pengarang yang akan kritis terhadap sepak-terjang komunitas dimaksud. Seorang pengarang boleh saja kritis atas dekadensi kultural yang dikembangbiakkan komunitas dimaksud tersebut tapi asal dia tutup mulut dan pura-pura tidak tahu maka kesempatan untuk terpilih dalam arisan menikmati kue kesastraan ala komunitas tersebut sudah jauh lebih terpastikan.
 
Seperti yang diteriakkan penyair Beat, Allen Ginsberg, dalam baris pembuka yang sangat terkenal dari puisi panjangnya Howl yang kontroversial itu, “I saw the best minds of my generation destroyed by madness, starving hysterical naked”, begitulah yang saya lihat sudah dan sedang terjadi pada otak-otak cemerlang generasi saya yang rusak karena gila ketenaran instan 15-minute fame ala MTV, lapar histeris akan legitimasi status kesastrawanannya, oleh silau ilusi pseudo-kosmopolitanisme yang dengan naif disangkanya direpresentasikan oleh komunitas yang “kekuatannya” semata-mata bersandar pada besarnya jumlah uang yang dimilikinya, bukan pada canggihnya pengetahuan dan kemampuannya.
 
Kenapa saya terus menerus menyinggung soal “besarnya jumlah uang” yang dimiliki oleh komunitas (-komunitas) sastra tertentu dalam esei saya ini? Jawabannya sederhana; dalam bahasa bangsa saya bangsa Batak Toba dikatakan bahwa “hepeng do na mangatur negaraon”. Memang uanglah yang mengatur negara “yang sibuk dengan jas, dasi, dan mengurus makanan anjing” ini, yang terpesona pada superfisialitas, pada kosmetik, pada obskuritas.
 
Bagaimana mungkin bisa memiliki media cetak yang art paper kertasnya dan berkilauan sampul pembungkusnya tanpa memiliki uang dalam jumlah yang besar! Bagaimana mungkin bisa menyelenggarakan apa yang dengan arogan mereka klaim sebagai “festival sastra internasional” (walau tak ada orang yang pernah mendengar nama-nama apalagi membaca karya dari yang mereka katakan sebagai “para sastrawan internasional” tersebut!) kalau tak punya uang dalam jumlah yang besar!
 
Yang kemudian menjadi persoalan (di luar persoalan “keinternasionalan” dan “keseniman” para undangan dari luar tadi) tentu saja adalah asal-usul dari uang yang jumlahnya besar itu sendiri. Kecurigaan saya, nama eksotis Dunia Ketiga “sastra Indonesia” yang digadaikan di luar sana (di mana konsep “dosa sejarah” kolonialisme Barat sudah menjadi moralisme baru political correctness dalam konteks wacana pascakolonialisme) untuk mengongkosi penyelenggaraan sebuah event sastra “internasional” yang sekaligus dijadikan alat legitimasi domestik atas kosmopolitanisme komunitas lokal yang melakukannya. Di sinilah retorika dusta telah menjadi diplomasi kultural yang canggih. Atau dalam bahasa pepatah orang awak di Sumatera sana: Sekali mendayung, dua tiga pulau terlewati.
 
Kenapa semua ini bisa terjadi justru setelah negeri ini terlepas dari cengkraman kediktatoran penguasa militer? Jawab kenapa.
***
 
*) Saut Situmorang, penyair dan eseis, tinggal di Jogjakarta.

http://sastra-indonesia.com/2009/04/sastra-yang-tidur-dalam-kulkas/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

20 Tahun Kebangkitan Sastra-Teater Lamongan A Jalal A. Anzieb A. Khoirul Anam A. Mustofa Bisri A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja Abdoel Moeis Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdullah Abubakar Batarfie Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Achdiat K. Mihardja Achiar M Permana Adek Alwi Adhi Pandoyo Adib Baroya Aditya Ardi N Adri Sandra Adu Pesona Sang Wakil Cawapres RI Afrizal Malna Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Buchori Agus Dermawan T. Agus Mulyadi Agus Prasmono Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahmad Farid Yahya Ahmad Hasan MS Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Saifullah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alawi Al-Bantani Alfatihatus Sholihatunnisa Alfian Dippahatang Ali Audah Alim Bakhtiar Amie Williams Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amril Taufik Gobel An. Ismanto Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 AndongBuku #3 Andrea Hirata Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Antologi Sastra Lamongan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Arafat Nur Ardi Wina Saputra Ardy Suryantoko Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arman A.Z. Arsyad Indradi Asarpin Ashimuddin Musa Asrul Sani Astuti Ananta Toer Atafras Audifax Awalludin GD Mualif Ayu Nuzul Azizah Hefni B Kunto Wibisono Bahrul Amsal Bambang Kempling Beni Setia Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bloomberg Bre Redana Budaya Budi Darma Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Candra Adikara Irawan Candrakirana Cangaan Ujungpangkah Gresik Jawa Timur Capres Cawapres 2019 Catatan Ceramah Cerpen Chairil Anwar Chicilia Risca CNN Indonesia Coronavirus COVID-19 D. Zawawi Imron Damiri Mahmud Darju Prasetya Darman Moenir Deddy Arsya Denny JA Denny Mizhar Devy Kurnia Alamsyah Dhoni Zustiyantoro Dian Sukarno Didin Tulus Dien Makmur Din Saja Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Donny Anggoro Donny Darmawan Dr. Hilma Rosyida Ahmad Dwi Cipta Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dyah Ayu Fitriana Ecep Heryadi Edy Suprayitno Eka Budianta Eka Kurniawan Elok Dyah Messwati Engkos Kosnadi Erdogan Erwin Setia Esai Esti Nuryani Kasam Evan Ys F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Fahrur Rozi Faidil Akbar Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathul Qorib Fatkhul Anas Feby Indirani Felix K. Nesi Festival Teater Religi Festival Teater Religi Pelajar SLTA Se-kabupaten Lamongan Fira Basuki Forum Santri Nasional (FSN) Frischa Aswarini Fuad Mardhatillah UY Tiba Fuad Nawawi Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gde Artawan Geger Riyanto Geguritan Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Guenter Grass Gus Ahmad Syauqi Gus tf Gusti Eka Habib Bahar bin Smith Haiku Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Han Gagas Hary B Koriun Hasan Basri Hasnan Bachtiar Heri Ruslan Herman Hesse Hertha Mueller Heru Kurniawan Hestri Hurustyanti Holy Adib Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu I Made Prabaswara I Made Sujaya IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah) Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Iksaka Banu Imam Jazuli Imam Nawawi Imammuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Mahadi Indra Tjahyadi Irfan Afifi Irine Rakhmawati Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS J.S. Badudu Jadid Al Farisy Jajang R Kawentar Jawa Timur Jean Marie Gustave le Clezio JJ. Kusni Jl Raya Simo Sungelebak Jo Batara Surya John H. McGlynn Jordaidan Rizsyah Jual Buku Paket Hemat Juara 3 Lomba Lompat Jauh DISPORA LAMONGAN Jurnalisme Sastrawi K.H. Ma'ruf Amin Kadek Suartaya Kaheesa Kirania Putri Ayu Kahfie Nazaruddin Kalis Mardiasih Kamaluddin Ramdhan Kanti W. Janis Karanggeneng Kardono Setyorakhmadi Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Pantura (KBP) KetemuBuku Jombang KH. M. Najib Muhammad KH. Muhammad Amin (1910-1949) Khairul Mufid Jr Khawas Auskarni Khoirul Abidin Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kitab Arbain Nawawi Kodrat Setiawan Kompas TV Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra dan Teater Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) Kopuisi Kostela Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kurnia Effendi Kuswaidi Syafi’ie L Ridwan Muljosudarmo L.K. Ara Lamongan Lan Fang Lawi Ibung Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Literasi Liza Wahyuninto Lukas Luwarso Lukisan Lukman Lukman Santoso Az Lutfi Mardiansyah M Farid W Makkulau M. Faizi M.D. Atmaja Madrasah Aliyah Matholi'ul Anwar Madrasah Ibtida’iyah Thoriqotul Hidayah 1 Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S Mahayana Manado Manneke Budiman Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mario F. Lawi Marsel Robot Martin Aleida Marwanto Mashuri Massayu Masuki M. Astro Masyhudi Media Seputar Pendidikan Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Purnama di Kampung Halaman Mereka yang Menjerat Gus Dur MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mien Uno Moh. Dzunnurrain Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Rafi Azzamy Mohammad Rokib Mohammad Yamin Muafiqul Khalid MD Much. Khoiri Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alfatih Suryadilaga Muhammad Antakusuma Muhammad Fikry Mauludy Muhammad Hafil Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad N. Hassan Muhammad Subarkah Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Muhyiddin Mukadi Mukani Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Musa Ismail Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang E S Nara Ahirullah Naskah Teater Nezar Patria Noor H. Dee Nunus Supardi Nur Haryanto Nur Wachid Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Okky Madasari Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Pameran Lukisan Parimono V / 40 Plandi Jombang PC. Lesbumi NU Babat PDS HB Jassin Pelukis Dahlan Kong Pelukis Tarmuzie Penculikan Aktivis 1988 Pendidikan Pengajian Pengarang kelahiran Lamongan Pentigraf Pepaosan Perbincangan Peringatan Hari Pahlawan 10 November Pilang Tejoasri Laren Lamongan Jawa Timur Pipiet Senja Politik Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Jokowi Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi (PMK) Puji Santosa Pustaka LaBRAK PUstaka puJAngga R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Reuni dan Halal Bihalal Mts Putra-Putri Simo 1992 Ribut Wijoto Riki Antoni Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Robin Al Kautsar Rodli TL Roland Barthes Rosi Rosihan Anwar RR Miranda Rumah Budaya Pantura (RBP) S. Jai S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabrank Suparno Safitri Ningrum Sainul Hermawan Sajak Salman Aristo Sandiaga Uno Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Sastra Tasikmalaya (SST) Sarasehan dan Launching Buku Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Kuno Suku Sasak Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Satu Jam Sastra Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seni Gumira Ajidarma Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Pendidikan Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sirdjanul Ghufron Siwi Dwi Saputro Slamet Rahardjo Rais Soediro Satoto Soekarno Soeparno S. Adhy Soesilo Toer Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Handi Lestari Sri Wintala Achmad STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sujatmiko Sukarno Suminto A. Sayuti Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahrudin Attar Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Sylvianita Widyawati Tangguh Pitoyo Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teater nDrinDinG Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tias Tatanka Timur Sinar Suprabana Titi Aoska Tiyasa Jati Pramono Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Toni Masdiono Tri Broto Wibisono TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Jember Universitas Negeri Jember Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyu Aji Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Wiji Thukul Wildan Nugraha Wildana Wargadinata Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yerusalem Ibu Kota Palestina Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Herwibowo Yuditeha Yusri Fajar Yuval Noah Harari Zainal Arifin Thoha Zainuddin Sugendal Zara Zettira ZR Zehan Zareez Zuhdi Swt