S. Jai
MEMBACA garis hidupku, aku terobsesi pada cinta tiga perempuan sepanjang
hidup: perempuan bermata tajam seperti elang yang kini jadi istriku, gadis
bermata bening sebening telaga sebagai kekasih hatiku, dan kelak akan kuburu cinta
perempuan buta agar bisa kulihat dunia dengan ketajaman matahati.
“Semua itu atas nama cinta. Begitu pula cintaku padamu, Rohana,” tulisku di
akhir surat tertuju Rohana.
Surat itu kulayangkan pada Rohana, kekasihku, lebih duapuluh tahun lalu.
Sungguh di luar dugaanku bila ternyata Rohana masih menyimpannya untukku. Ini
kejutan bagiku karena sebagaimana biasa, perempuan-perempuan yang mampir dalam
hidupku kurasa hilang begitu saja meninggalkanku.
Mungkinkah aku telah meninggalkannya juga? Ah, aku tak tahu persis
jawabnya. Tidaklah penting apakah sebetulnya aku yang menyingkir ataukah diriku
yang dipunggunggi. Apapun, keduanya suatu perpisahan.
Meski kami, aku dan istriku, tak yakin benar mana yang terjadi,
kenyataannya kami yang diberkati tiga anak, sekarang hidup bahagia sekalipun
jauh dari sempurna. Kebahagian kami nyungsang karena gempuran masalah ekonomi.
Salah sebuah buntutnya, istriku sibuk bekerja dan kami jarang bercengkerama
dalam suasana harmonis sebagaimana digambarkan iklan-iklan televisi atau
jaminan masa depan pada brosur asuransi. Sejak menikah kami sering berpisah dan
jarang berkumpul lebih dari waktu dua hari dalam sebulan.
Sepertinya hal itu bukan benar-benar jadi masalah. Seperti halnya
kebiasaan, apalagi oleh cinta kami yang luar biasa, kesetiaan sungguh tak masuk
akal. Begitulah waktu pun berlalu tanpa resah. Anak-anak senang, ibunya girang
tanpa repot dengan posisi kami seperti itu. Sesekali memang pernah muncul
pertanyaan di otak kami perihal cinta itu. Akan tetapi sebagaimana kami
percaya, bahwa cinta mengalahkan segalanya kecuali cinta itu sendiri. Hingga
diantara kami, aku, istriku dan anak-anakku tak pernah lagi bertanya perihal
cinta itu lagi. Sampai kami berpisah, terpisah, atau takdir yang memisahkan
kami. Istriku mencari jawab atas pertanyaannya sendiri, demikian halnya kusoal
gebalau tanya perihal cinta itu sebagaimana milikku sendiri.
“Rahasia apakah seperti ini?” hanya dalam pikiranku.
Hari berganti seperti biasa, bulan bergeser dan tahun mengalun semenjak
lebih duapuluh tahun lalu. Di atas kebiasaan itu pula, istriku tak pernah
menaruh curiga ketika aku jatuh hati pada Rohana, perempuan bermata teduh
seperti telaga yang kusebut-sebut dalam suratku. Mata tajam istriku yang
seperti elang tidak pula mencium hubungan istimewaku dengan pujaan hatiku yang
baru. Betapa mata tajam istriku telah tersedot oleh kesibukan kerjanya
sehari-hari. Ah, aku tak bermaksud menyalahkan istriku yang dengan segenap jiwa
mengabdi pada hidup, pada keluarga dan pada takdirnya di dunia. Bahkan dua
puluh tahun lalu, sebelum kukirim suratku untuk meledakkan segenap perasaanku
pada perempuan bermata bening itu, terlebih dulu kutunjukkan pada istriku meski
dalam kesempatan yang mepet.
Sebuah jawaban membuatku tercengang.
“Kau petik darimana kata-kata seindah ini, Mas?” katanya.
“Kususun sendiri. Aku bermaksud membuat tulisan yang bagus hasil
karanganku. Bagaimana menurutmu?” ucapku.
“Inspiratif,” jawaban yang tentu saja melegakanku.
Semenjak itu, sesuatu yang lebih mengejutkan terjadi padaku. Aku bukan saja
jarang berkumpul dengan keluarga, istri dan anak-anak. Diam-diam aku sering
melupakannya. Tepatnya, perpisahan kami ternyata lebih dari sekadar oleh sebab
ruang waktu. Tapi juga ingatan. Istriku menjadi lebih sering absen dari
ingatanku tentang kebiasaannya, suaranya, kecantikannya, perhatiannya, mata
tajamnya, juga suka dukanya, bahkan kepercayaannya pada sesuatu yang tak perlu
diungkap dan disingkap, mungkin cinta itu sendiri.
Begitulah hidup kami, kukuh percaya pada betapa cinta sanggup mengalahkan
segalanya, kecuali cinta itu sendiri. Kuakui, kami merasa kian terpisah, tapi
tidak dengan cinta kami. Sebagaimana halnya, istriku tetap menyimpan kata-kata
manis dalam surat itu menjadi bagian hidupnya yang tak pernah pula ia lupa.
***
KUTULIS surat itu, duapuluh tahun lalu. Usiaku beranjak tua ketika itu.
Setidaknya, itulah perasaanku karena aku telah dipecat dari kantor tempat
kerjaku di kawasan Kertajaya, Surabaya. Alasannya lantaran aku sudah tak lagi
dianggap berguna. Daya kritis dan intuisiku dalam hal kepengarangan juga kian
tumpul dan hambar sehingga tak ada lagi karya terbaik yang bisa kusajikan untuk
pembaca. Syukurlah, seorang teman lama memberiku kesempatan untuk membantu
mengurus galery art dan persewaan manekin ke butik-butik outlet musiman di
Nginden. Inilah satu-satunya yang menyemangati hidupku di usia tua, kerja untuk
menghabiskan sisa waktu senja. Tentu saja termasuk menghabiskan sisa cintaku
yang tak jelas jluntrungnya, menyiksa hidup ataukah menyemangati gairah jiwaku.
Hanya saja, kepada tuan dan puan pembaca, musti kukatakan bahwa “Cintalah yang
membuat gairah hidupku terus menyala berkobar. Bahkan bagiku hidupku untuk
cinta. Hidup adalah perburuan atas nama cinta.” Spirit hidup ini kubakar karena
perburuanku atas nama cinta belum kelar hingga usiaku lebih berkepala lima ini
dan terus menuju senja. Amboi, tentang perempuan bermata bening seperti telaga
itu! Tentang kecantikan wanita yang buta matanya itu!
Sementara usiaku kian merangkak di ujung senja saja.
Rohana, gadis bermata bening yang belum lama kutemukan di belantara galaksi
ini memuntahkan amarahnya padaku ketika ia memergoki aku menggagahi manekin
yang tak sengaja kurobohkan dari tempat pengunci sandarannya. Sementara
amarahku oleh suatu sebab tak bisa lepas melihat reaksi Rohana. Amarahku
sejujurnya malah kutumpahkan pada manekin berambut pirang sialan itu. Ini
bermula dari kebiasaanku yang tak sampai hati melihat manekin-manekin itu
telanjang tanpa busana. Sebelum kukeluarkan dari gudang, tubuhnya terlebih dulu
kubungkus kaos dan rok sebelum akhirnya bisa leluasa dilihat orang. Kuakui
sejujurnya, di usia senjaku ini, aku ngeri bila tengah sendiri melihat,
menyentuh, atau memindahkan manekin-manekin yang tanpa penutup badan keluar
gudang.
Lantaran aku kehabisan kaos dan rok bekas, juga karena aku kekeringan ide,
maka sore itu kupinjamkan sehelai rok milik Rohana untuk manekin sialan itu.
Saat itulah Rohana tahu Manekin itu jatuh terlentang dan roknya tersingkap
sehingga kedua pahanya terbuka. Aku yang berusaha membuatnya berdiri malah
terjungkal dan menindih manekin itu. Rohana berpikir aku menyetubuhi manekin
itu dan menuduhku tidak bermoral. Atau setidaknya, ia tersinggung berat karena
aku memperkosa pikirannya, menyetubui boneka sialan itu dengan sengaja menyingkap
rok milik Rohana. Dia pikir, akulah yang sebetulnya terobsesi dengan pikiranku
sendiri untuk menyetubuhi Rohana, kekasih pujaan hati di usia senjaku ini.
Padahal harus jujur kuakui, menghadirkan pikiran seperti itu, dengan
segenap cinta yang kupahami di usia senjaku ini, sungguh suatu siksaan. Justru
Rohanalah yang menyulut pikiranku tentang persetubuhan itu.
Kukatakan padanya: “Cinta dan persetubuhan itu sesuatu yang sungguh
berbeda, Rohana. Kamulah, semenjak itu yang mengenalkan padaku, justru di usia
senja ini, bahwa cintaku padamu telah menyeretku pada pikiran untuk bersetubuh
denganmu. Aha! Betapa fantastisnya, sesosok tubuh tua yang memburu
bayang-bayang cinta dari balik sorot mata ini manakala bercinta, bersetubuh
dengan gadis belia bermata bening sepertimu, Rohana. Kamu berlebihan, sayang.
Kamu ketakutan. Bagaimana bisa itu terjadi dan kau lestarikan di alam pikirmu,
gadis muda. Cintaku tidak untuk menyusahkanmu, tidak untuk menyiksamu, juga
tidak untuk menakut-nakutimu.”
Belum genap sebulan kami saling menyatakan cinta, antara lelaki tua dan
gadis muda bermata bening seperti telaga itu–, lantas ia pun pergi entah
kemana. Tanpa kabar, tanpa kata, dan tanpa cerita, tanpa berita. Tapi aku tahu
apa yang ditinggalkan Rohana: Dendam dan pikiran bahwa akulah biang dirinya
yang tersiksa karena ungkapan rasa cinta yang tidak pada tempatnya. Salah
tempat, keliru alamat, dan tidak tepat ruang waktu peristiwa. Semenjak itu kami
saling pergi menjauh. Aku pergi dan ia juga pergi. Meskipun kami tidak saling bepergian
jauh. Lebih tepatnya kami sama-sama sembunyi di balik hati, perasaan, ingatan
kami sendiri-sendiri.
***
“BERSEMBUNYI?”
“Bersembunyi dari apa, Kekasihku?”
Mungkin maksudmu menipu diri. Barangkali maksudku saling menyiksa diri.
Karena itu, aku tergerak hati untuk menulis surat buatmu, semenjak peristiwa
malam-malam kamu dengan nada keras memborbardirku dengan amarahmu. Kau,
pertontonkan sungguh sakit hatimu padaku, Rohana. Rasa-rasanya kita bertengkar
hebat waktu itu dan kuakhiri karena aku sungguh tak sudi bertengkar denganmu.
Terpikir bagiku menulis surat panjang, entah secepatnya kukirim padamu atau
perlu kusimpan dulu untuk waktu yang lama sebelum akhirnya perlu kaubaca.
Maksudku, agar kau dan aku saat membacanya, sontak bersedih hati yang dalam,
atau malah tertawa lebar melihat kegelian dan kelucuan kita, Rohana.
Jadi suratku itu, yang khusus kutujukan padamu, niscaya tak lekang oleh
waktu. Ketika kupunguti dan kurangkai kata dalam surat itu, aku tercenung dalam
dengan tuduhanmu “tidak bermoral” padaku. Mungkin benar, mungkin juga salah.
Tapi sudahlah, itu semata-mata kusimpan saja di lubuk jiwa bahwa betapa sulit
mempertanggungjawabkan perasaan-perasaan dengan kata-kata. Surat itu semula
kumaksudkan sebagai semacam pledoi atas tuduhan itu. Selebihnya, terserah apa
artinya ini buatmu dan bagiku.
Bukan hal yang muskil, aku tercenung dalam lebih karena peristiwa-peristiwa
kedekatan kita saja. Sehingga bukan lantaran benar-benar karena tuduhanmu itu.
Maksudku, bila aku diizinkan untuk kemudian bertengkar denganmu, bersilat
lidah, saling melempar tuduhan, bukan tidak mungkin dari mulutku bakal keluar
kata-kata bahwa kamu orang yang tidak konsisten jikapun aku tidak mengatakannya
munafik.
Sesungguhnya, seringkali ini kusinggung ketika mengkritik dirimu, Rohana.
Ya, mungkin aku sering mengkritikmu, sebenarnya berawal dari kegoncangan,
kegamangan, dan keraguanku menerima seluruh atau sebagian dari isi jiwa serta
pikiranmu. Akan tetapi, aku selalu berupaya untuk menempatkanmu agar punya
kualitas hidup lebih baik (dan sudah barangtentu juga berlaku buatku). Karena
itu, kemarahanmu, kelancanganmu saat menggampariku dengan kata-kata setajam
silet pada malam-malam dan terkesan mengajak berperang itu pun, dalam
pengertian ini, sangatlah terhormat, betapa kamu adalah orang yang sangat
merasa bertanggungjawab bahkan terhadap diriku. Kamu, sangat peduli padaku,
mencemaskanku dan tidak ingin ada hal buruk yang bakal menimpaku, keluarga,
istri dan anak-anakku.
Sampai di sini, aku yakin benar, juga sebagaimana aku menyakini sebelumnya,
kamu perempuan yang sangat mulia. Kupikir, kemarahanmu, kelancanganmu, bicara
kasarmu itu hanya soal bahasa saja. Di balik itu, aku belum pernah bergeser
dari titik bahwa aku sungguh mengagumimu, cintalah yang menyebabkanku berada di
pusaran takdir seperti ini.
Biasanya, di luar perasaanku seperti itu, yang mengemuka bilamana ada duri
dalam daging, adalah keheranan-keheranan. Semisal, dalam kontek tuduhanmu itu,
aku heran bagaimana kalimat itu berulang kali kau layangkan padaku? Padahal dua
jarimu yang kauacungkan pada hidungku itu menyisakan tiga jari lainnya yang
mengarah dirimu sendiri. Maksudku, kau pun membicarakan diri sendiri dengan
kata “tidak bermoral” yang kamu selipkan di dadaku, Rohana.
Jadi kalaupun benar aku tidak bermoral, bukankah melibatkanmu dalam hal
ini? Ataukah jangan-jangan kita tak sedang berada di tempat dan alamat yang
benar untuk memahami apakah moral itu? Banyak hal kupertanyakan padaku perihal
kamu, bermula dari keheranan-keheranan seperti itu dan tidak juga terjawab
setelah lebih duapuluh tahun lamanya, Rohana. Satu-satunya jalan sempit yang
menggiringku ke lorong yang sedikit kumengerti adalah kata maaf dan hasratku
untuk tidak akan lagi menyusahkanmu.
Karena itu terus kujaga pertanyaanku, agar senantiasa terpelihara dari
pemahamanku atasmu sebagai makluk yang misterius, Rohana. Manusia sebagai
misteri. Hanya dengan demikian yang bisa menyelamatkanku dari kegelisahan yang
kurang ajar dan subversif ini. Subversif karena betapa setiap kali berbincang
denganmu, mencerna isi pikiran, hati dan perasaanmu, telah hampir menyentuh
langit-langit dan puncak dari gebalau jiwa antara manusia dan mungkin bukan
manusia, semacam alam cita yang diburu untuk dijangkau. Meski kusadari setiap
yang kutanyakan terbukti hanyalah bagai pisau yang kubawa sendiri, kekasihku.
Telah kupetik sebutir trauma jiwa dari sorot matamu yang bening seperti
telaga perawan, ketika mendadak sontak menyimpan rasa takut, gundah, gelisah.
Marah. Takut karena menangkap perasaan cintaku yang rahasia. Ataukah gelisah
akibat telah terjaring rasia rahasia kekuatan cintaku, Rohana? Aku lebih
tersiksa melihatmu dalam pesakitan seperti itu, serba salah, gemetar, lungkrah
dan yang pasti lemah, sesuatu yang belum pernah kusaksikan sebelumnya dan kini
tak kusangsikan lagi. Sebab itu, hari ini, kusingkap rahasiaku sendiri atas
kamu, Rohana. Bahwa aku tidak akan sudi lagi menyusahkanmu! Biarpun musti
kutempuh dengan jalan menyiksa diri, suatu rahasia yang takkan pernah kubuka
pada siapapun di belantara galaksi ini.
***
HARI ini, duapuluh tahun lalu, kami telah saling pergi. Beberapa bulan
kemudian, Rohana berkeluarga. Sebagaimana ia ceritakan, maskawinnya
perpustakaan dengan ratusan koleksi buku yang salah satu bacaannya, pada novel
itu, ia pakai pembatas secarik kertas surat pendek dariku. Entah di buku novel
apa, dan tentang apa, dia telah lupa. Sementara, kini aku memulai perburuan
baruku meraih bayang rahasia di balik mata buta. Sayang, usiaku kian senja dan
belum juga kutangkap bayang itu. Anak-anak telah tumbuh dewasa. Damir, Makhfi,
Zahra tak sampai hati melihatku, ayahnya, tua dalam perburuan di belantara
semesta yang sepertinya tak pernah renta.
“Sudahlah ayah, istirahatlah. Berliburlah.”
Seperti biasa, anak-anak tak hanya pandai bicara. Diam-diam mereka telah
menyiapkan tiket liburan khusus ke Bali. Bali. Bali. Menyeberangi pantai. Ah,
sudah belasan tahun lalu terakhir kali aku ke sana. Ini waktu yang tepat untuk
menggali lagi spirit gairah hidup lebih muda. Anak-anak tahu hal yang paling
kusuka, menyebarang selat Ketapang-Gilimanuk untuk membuang segala nestapa ke
laut.
“Sendiri? Bagaimana dengan ibumu?” rupanya ini kali pertama tulus kuingat
istriku.
“Ya. Sendiri, Ayah. Sebetulnya ibulah yang meminta ayah pelesir.”
“Ah, ibumu, masih juga seperti dulu.”
“Ibu tak ingin menyusahkan ayah.”
“Dia berkata begitu?”
“Ya. Ibu juga melarangku menceritakan rahasia ini pada ayah.”
Entah atas nama apa, aku melupakan lagi istriku. Tidak juga aku berpikir.
Namun demikian pastilah istriku tahu itu, bahwa satu-satunya yang ada di
kepalaku adalah perempuan yang buta matanya. Aku menyeberang persis ketika
matahari terbit dan semenjak itu terbit pula seluruh gairah mudaku kembali,
cinta pada hidup, pada keindahan, pada kecantikan, pada perempuan.
Setelah belasan tahun pakansinya yang lalu, saat ini berlibur di sini,
ternyata baru kutahu bahwa tempat yang paling kusuka adalah pantai. Selain,
jalan-jalan di sekitar pusat perbelanjaan di kuta. Di pantai aku leluasa
melarung masa laluku. Sementara di jalanan, di sinilah timbul hasratku yang
merasuk diam-diam dan tanpa kusadar menjadi bagian hidup di usia senjaku.
Bagiku hal paling menarik perihal Bali selain keindahan alamnya, adalah
manekin! Ada berjuta-juta manekin berkeliaran di depan mataku.
Satu diantaranya, perempuan mengempit novel yang pernah kuberikan pada
Rohana, di dalamnya terselip kertas pembatas dari secarik suratku padanya.
Surabaya, 27 Agustus 2009
*) Dimuat Majalah Seni dan Budaya, Dewan Kesenian Jawa Timur, KIDUNG, Edisi
17-18.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Jumat, 14 Mei 2021
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
20 Tahun Kebangkitan Sastra-Teater Lamongan
A Jalal
A. Anzieb
A. Khoirul Anam
A. Mustofa Bisri
A. Rodhi Murtadho
A. Syauqi Sumbawi
A.P. Edi Atmaja
Abdoel Moeis
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdullah Abubakar Batarfie
Abdurrahman Wahid
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Achdiat K. Mihardja
Achiar M Permana
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adib Baroya
Aditya Ardi N
Adri Sandra
Adu Pesona Sang Wakil Cawapres RI
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan MN
Agus Buchori
Agus Dermawan T.
Agus Mulyadi
Agus Prasmono
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Hasan MS
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Saifullah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alawi Al-Bantani
Alfatihatus Sholihatunnisa
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Alim Bakhtiar
Amie Williams
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amril Taufik Gobel
An. Ismanto
Andhi Setyo Wibowo
Andi Andrianto
Andong Buku #3
AndongBuku #3
Andrea Hirata
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Antologi Sastra Lamongan
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Arafat Nur
Ardi Wina Saputra
Ardy Suryantoko
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Saifudin Yudistira
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Asarpin
Ashimuddin Musa
Asrul Sani
Astuti Ananta Toer
Atafras
Audifax
Awalludin GD Mualif
Ayu Nuzul
Azizah Hefni
B Kunto Wibisono
Bahrul Amsal
Bambang Kempling
Beni Setia
Benny Benke
Beno Siang Pamungkas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Bloomberg
Bre Redana
Budaya
Budi Darma
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Candra Adikara Irawan
Candrakirana
Cangaan Ujungpangkah Gresik Jawa Timur
Capres Cawapres 2019
Catatan
Ceramah
Cerpen
Chairil Anwar
Chicilia Risca
CNN Indonesia
Coronavirus
COVID-19
D. Zawawi Imron
Damiri Mahmud
Darju Prasetya
Darman Moenir
Deddy Arsya
Denny JA
Denny Mizhar
Devy Kurnia Alamsyah
Dhoni Zustiyantoro
Dian Sukarno
Didin Tulus
Dien Makmur
Din Saja
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Donny Anggoro
Donny Darmawan
Dr. Hilma Rosyida Ahmad
Dwi Cipta
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Dyah Ayu Fitriana
Ecep Heryadi
Edy Suprayitno
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Elok Dyah Messwati
Engkos Kosnadi
Erdogan
Erwin Setia
Esai
Esti Nuryani Kasam
Evan Ys
F. Budi Hardiman
F. Rahardi
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Fahrur Rozi
Faidil Akbar
Farah Noersativa
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathul Qorib
Fatkhul Anas
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Festival Teater Religi
Festival Teater Religi Pelajar SLTA Se-kabupaten Lamongan
Fira Basuki
Forum Santri Nasional (FSN)
Frischa Aswarini
Fuad Mardhatillah UY Tiba
Fuad Nawawi
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Gde Artawan
Geger Riyanto
Geguritan
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Guenter Grass
Gus Ahmad Syauqi
Gus tf
Gusti Eka
Habib Bahar bin Smith
Haiku
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Han Gagas
Hary B Koriun
Hasan Basri
Hasnan Bachtiar
Heri Ruslan
Herman Hesse
Hertha Mueller
Heru Kurniawan
Hestri Hurustyanti
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hujuala Rika Ayu
I Made Prabaswara
I Made Sujaya
IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah)
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Iksaka Banu
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imammuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra Intisa
Indra Mahadi
Indra Tjahyadi
Irfan Afifi
Irine Rakhmawati
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan ZS
J.S. Badudu
Jadid Al Farisy
Jajang R Kawentar
Jawa Timur
Jean Marie Gustave le Clezio
JJ. Kusni
Jl Raya Simo Sungelebak
Jo Batara Surya
John H. McGlynn
Jordaidan Rizsyah
Jual Buku Paket Hemat
Juara 3 Lomba Lompat Jauh DISPORA LAMONGAN
Jurnalisme Sastrawi
K.H. Ma'ruf Amin
Kadek Suartaya
Kaheesa Kirania Putri Ayu
Kahfie Nazaruddin
Kalis Mardiasih
Kamaluddin Ramdhan
Kanti W. Janis
Karanggeneng
Kardono Setyorakhmadi
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Kemah Budaya Pantura (KBP)
KetemuBuku Jombang
KH. M. Najib Muhammad
KH. Muhammad Amin (1910-1949)
Khairul Mufid Jr
Khawas Auskarni
Khoirul Abidin
Khoshshol Fairuz
Ki Ompong Sudarsono
Kitab Arbain Nawawi
Kodrat Setiawan
Kompas TV
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA)
Komunitas Sastra dan Teater Lamongan
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Komunitas-komunitas Teater di Lamongan
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI)
Kopuisi
Kostela
Kritik Sastra
Kumpulan Cerita Buntak
Kurnia Effendi
Kuswaidi Syafi’ie
L Ridwan Muljosudarmo
L.K. Ara
Lamongan
Lan Fang
Lawi Ibung
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Literasi
Liza Wahyuninto
Lukas Luwarso
Lukisan
Lukman
Lukman Santoso Az
Lutfi Mardiansyah
M Farid W Makkulau
M. Faizi
M.D. Atmaja
Madrasah Aliyah Matholi'ul Anwar
Madrasah Ibtida’iyah Thoriqotul Hidayah 1
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maman S Mahayana
Manado
Manneke Budiman
Maratushsholihah
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoernomo
Mario F. Lawi
Marsel Robot
Martin Aleida
Marwanto
Mashuri
Massayu
Masuki M. Astro
Masyhudi
Media Seputar Pendidikan
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Memoar Purnama di Kampung Halaman
Mereka yang Menjerat Gus Dur
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mien Uno
Moh. Dzunnurrain
Moh. Jauhar al-Hakimi
Mohammad Rafi Azzamy
Mohammad Rokib
Mohammad Yamin
Muafiqul Khalid MD
Much. Khoiri
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Alfatih Suryadilaga
Muhammad Antakusuma
Muhammad Fikry Mauludy
Muhammad Hafil
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad N. Hassan
Muhammad Subarkah
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhidin M. Dahlan
Muhyiddin
Mukadi
Mukani
Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur
Musa Ismail
Mutia Sukma
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nanang E S
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nezar Patria
Noor H. Dee
Nunus Supardi
Nur Haryanto
Nur Wachid
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Okky Madasari
Olivia Kristina Sinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pagelaran Musim Tandur
Palupi Panca Astuti
Pameran Lukisan
Parimono V / 40 Plandi Jombang
PC. Lesbumi NU Babat
PDS HB Jassin
Pelukis Dahlan Kong
Pelukis Tarmuzie
Penculikan Aktivis 1988
Pendidikan
Pengajian
Pengarang kelahiran Lamongan
Pentigraf
Pepaosan
Perbincangan
Peringatan Hari Pahlawan 10 November
Pilang Tejoasri Laren Lamongan Jawa Timur
Pipiet Senja
Politik
Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan
Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang
Pramoedya Ananta Toer
Presiden Jokowi
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi (PMK)
Puji Santosa
Pustaka LaBRAK
PUstaka puJAngga
R. Ng. Ronggowarsito
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rasanrasan Boengaketji
Raudlotul Immaroh
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Reuni dan Halal Bihalal Mts Putra-Putri Simo 1992
Ribut Wijoto
Riki Antoni
Riki Dhamparan Putra
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Roland Barthes
Rosi
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rumah Budaya Pantura (RBP)
S. Jai
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Sainul Hermawan
Sajak
Salman Aristo
Sandiaga Uno
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Sastra Tasikmalaya (SST)
Sarasehan dan Launching Buku
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Kuno Suku Sasak
Sastri Bakry
Satmoko Budi Santoso
Satu Jam Sastra
Satyagraha Hoerip
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSAstra Boenga Ketjil
Seni Gumira Ajidarma
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seputar Sastra Pendidikan
Sergi Sutanto
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sirdjanul Ghufron
Siwi Dwi Saputro
Slamet Rahardjo Rais
Soediro Satoto
Soekarno
Soeparno S. Adhy
Soesilo Toer
Soetanto Soepiadhy
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sosiawan Leak
Sri Handi Lestari
Sri Wintala Achmad
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Sudarmoko
Sujatmiko
Sukarno
Suminto A. Sayuti
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahrudin Attar
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili
Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari
Sylvianita Widyawati
Tangguh Pitoyo
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Ilat
Teater nDrinDinG
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tias Tatanka
Timur Sinar Suprabana
Titi Aoska
Tiyasa Jati Pramono
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Toni Masdiono
Tri Broto Wibisono
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Tulus Wijanarko
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Jember
Universitas Negeri Jember
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W.S. Rendra
Wage Daksinarga
Wahyu Aji
Warung Boengaketjil
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wiji Thukul
Wildan Nugraha
Wildana Wargadinata
Yanusa Nugroho
Yasraf Amir Piliang
Yerusalem Ibu Kota Palestina
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhi Herwibowo
Yuditeha
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Zainal Arifin Thoha
Zainuddin Sugendal
Zara Zettira ZR
Zehan Zareez
Zuhdi Swt
Tidak ada komentar:
Posting Komentar