Minggu, 18 Juli 2021

Angkatan Baru Penyair Surabaya

Umar Fauzi *
surabayapost.co.id
 
Estetika gelap itu mungkin akan atau sudah berlalu, dirasakan atau tidak, beberapa penyairnya mulai sedikit “jenuh” dan membelot meski tidak secara terang-terangan dan malu-malu pada pola pengungkapan baru, tengoklah misalnya puisi Mashuri, setelah Pengantin Lumpur “setidaknya yang terbit di media-media nasional dan lokal beberapa tahun belakang” seperti dua puisinya yang termuat antologi Pena Kencana 2008, misalnya.
 
Meskipun begitu masih ada studi cukup menarik dan kontras, pabila menikmati antologi bersama lima penyair Jawa Timur dalam Rumah Pasir, Festival Seni Surabaya 2008. Dalam puisi itu kita melihat tiga penyair “lawas”: Indra Tjahjadi, Mashuri, dan Denny Tri Ariyanti, serta dua penyair “baru”: A. Muttaqin dan F. Aziz Manna. “Lawas” karena mereka masih menampilkan kegarangan dalam kegelapan puisi-puisi mereka. Dan “baru” karena dua penyair tersebut terakhir, adalah penyair yang datang dengan segala respon lahir-batin terhadap kesuraman puisi-puisi pendahulunya.
 
Puisi-puisi Festival Seni Surabaya 2008 yang bertajuk Tribute to Surabaya itu, apa boleh buat, sebenarnya lebih pantas disebut “Lima Penyair Surabaya (kota)”, bukan Jawa Timur. Ini karena kelima penyair tersebut ternyata adalah penyair yang pernah menikmati delta pendidikan sastra di Surabaya. Arif B. Prasetyo selaku kurator ternyata masih diganduli kenyataan bahwa Surabaya adalah penghasil puisi apokalipstik, maka yang termaktub dan pantas mewakili Tribute to Surabaya adalah sajak-sajak seperti yang “lawas”. Seolah-olah Surabaya dengan dinamika sosialnya memanglah “segelap” puisi-puisi itu, padahal Tribute to Surabaya akan lebih dinamis seandainya Arif memahami usaha “penghijauan” di Surabaya. Setidaknya jika ini terjadi akan lebih layak menyandang “lima penyair Jawa Timur”, seperti halnya Pelayaran Bunga, antologi mutakhir penyair Jawa Timur, pilihan Festival Cak Durasim 2007. Terlepas dari kondisi keterbatasan itu, antologi Rumah Pasir akan dibaca sebagai tonggak peralihan puisi Surabaya, yakni dari gelap menjadi terang.
 
Adalah A. Muttaqin, penyair fenomenal Jawa Timur saat ini, kalau mau dikatakan sebagai pelopornya. Kecendrungan itu setidaknya dibuktikan oleh diterimanya puisi-puisi Muttaqin oleh masyarakat sastra Indonesia. Kemunculan penyair ini, telah mengejutkan publik sastra Jawa Timur. Sebelumnya, Muttaqin tidak pernah ada dalam peta penyair muda Jatim. Lihatlah misalnya tulisan S. Yoga yang menyebut nama-nama penyair muda Jatim dalam esainya di SINDO 1 Juli 2007, tidak ada nama Muttaqin di sana. Penyair lulusan Sastra Indonesia Unesa ini, seolah tanpa permisi kepada pendahulu Jawa Timur, tiba-tiba langsung melejit di koran nasional.
 
Muttaqin telah sampai pada pencapain estetik. Membaca Muttaqin dengan segala usahanya menarasikan flora dan fauna, seperti menikmati usaha “penghijauan” yang sering dikampanyekan Surabaya. Ia tidak menulis jelaga-jelaga Surabaya sebagiamana penyair pendahulunya. Puisi-puisinya pun tak perlu dikait-kaitkan dengan falsafah Jawa Timur dalam artian psikologis maupun sosiologis. Justru Muttaqin dengan demikian, telah melepaskan diri dari tema-tema umum yang selama ini digarap oleh pendahulunya, semacam puisi-puisi gelap.
 
Sajak-sajaknya mendamaikan diksi dengan rima, sehingga simbolisme yang naratif bertemu dengan visualisasi logis. Inilah mungkin yang membuat sajaknya terang benderang. minimal, pembaca dapat terbuai oleh ketukan ritmis sajak-sajaknya, seperti orang Belanda yang terbuai menikmati gending Jawa. Lihatlah salah satu petikan sajak ini:
 
Di gelap ombak, mungkin di taman gagak, kuraba-
raba keharuman yang menanjak. Sepasang daging
membengkak dan segala arwah merebak
(Lukisan Kamboja)
 
Begitulah Muttaqin mengeksplorasi diksi dengan rima sebagai “diri” kepenyairannya. Bunyi-bunyi puisinya melantur secara alamiah. Muttaqin cukup jeli menangkap objek dan menyusunnya dalam kerangka estetika bahasa. Kita dapat merasakan bagaimana konsonan /k/ menjadi ritmis yang berpadu dengan diksi yang sekerabat seperti /ombak/ dan /gagak/ yang mempunyai asosiasi kegelapan. Begitupun dengan frasa /keharuman menanjak/, /sepasang daging membengkak/ dan /arwah merebak/. Puisi ini adalah narasi tentang Kamboja. Kamboja menjadi simbol imajinya pun untuk menjelaskan tema kematian. Lukisan Kamboja dapat ditafsirkan “selain berbagai kemungkinan tafsir” sebagai peristiwa membusuknya sebuah mayat: dilalui oleh penanda kematian yang secara umum dimetaforkan dengan gagak, lalu mayat itu membusuk -di sini Muttaqin menggunakan diksi “keharuman” sehingga tampak ironis, namun inilah ledakan diksinya- lalu membengkak, hingga tak berbentuk karena arwahnya telah merebak ke tempat semestinya.
 
Bandingkanlah frasa dari metafor yang disusun dalam petikan puisi-puisi berikut, “Ingatan bunga-bunga tercekik di dalam/ kemaluanmu,” (Rumah Duan-Daun, Indra Tjahjadi) dengan “hanya karna menanam bunga-bunga di kepala” (Laut Lalat, A. Muttaqin); atau “saat mayat-mayat menari -gemulai/ menorehkan darah pada tanah peradaban” (Tarian Sebuah Musim, Denny Tri Aryanti) dengan “Seperti mayat yang tenang, seperti langit yang/ lenggang, jika umur adalah semut yang merambat ke/ senja berat.” (Lukisan Kamboja, A. Muttaqin); atau “aku segera beriman pada kekosongan” (Kembali Ke Neraka, Indra Tjahjadi) dengan “Raut yang/ mengajar aku bersujud dan mengimani Yang Tak/ Terjemput” (Ladang Siput, A. Muttaqin).
 
Bait-bait puisi di atas, telah menggambarkan bagaimana A. Muttaqin merespon geliat diksi yang penuh dengan aroma nanah dan darah yang sering menghiasi puisi Surabaya dekade awal 2000-an. “Lukisan Kamboja” yang bertema kematian digambarkan dengan demikian tenang oleh Muttaqin dan terasa logika “alur” dan narasinya. Ini tentu berbeda dengan tema kematian yang mendominasi puisi-puisi Indra Tjahjadi, dkk, yang berjumpalitan selayaknya penghuni neraka.
 
Dari sini dapat terbaca bagaimana sesungguhnya rumusan puisi gelap, yakni bukan persoalan kesukaran dipahaminya puisi-puisi Surabaya, lebih dari itu adalah bangunan suasana itulah yang gelap. Secara gamblang Indra mengakui bahwa sajakku terasing dan menemukan rumahnya dikegelapan. Puisi-puisi semacam itu mungkin lebih tepat, disebut puisi gotik, yang tak hanya melemparkan pembaca pada kesunyian mencekam melaikan pada kengerian.
 
Dari sini pula, surealisme yang menjadi mula segala persoalan estetik yang diangkat perlu ditegaskan. Surealisme merupakan tafsir terhadap psikoanalisis Sigmund Freud “terutama konsep mimpi” yang diformulasikan dalam teknik penulisan puisi oleh Andre Brenton, disebut dengan otomatisme. Secara sederhana teknik ini adalah usaha melukiskan objek dengan naluri bawah sadar dan menafikan prinsip-prinsip logika (seperti teori strukturalis) dalam proses penciptaan karya seni.
 
Mengingat apa yang pernah dikatakan oleh Sigmund Freud bahwa mimpi adalah jalan tol menuju alam bawah sadar, maka dalam konteks ini representasi “mimpi” yang coba dihadirkan penyair Surabaya, lebih kepada mimpi buruk yang membuat pagi jadi buta dan gelap, dari pada mimpi indah yang membuat pagi jadi benderang. Jadi sebenarnya inilah letak persoalannya. Senada juga dengan apa yang dikemukakan S. Yoga di depan.
 
Perbandingan menarik juga dapat kita baca pada studi puisi-puisinya Mardi Luhung yang juga “dituduh” gelap. Jika puisi-puisi Surabaya secara sadar menasbihkan diri sebagai surealisme “yang pada akhirnya memang berkecendrungan gelap” maka puisi Mardi Luhung adalah karnaval “istilah Mikhail Bakhtin” imajisme dengan benih-benih diksi yang secara sadar adalah kondisi sosio-psikologis pesisiran Jawa Timur, Gresik. Pencapaian estetik inilah yang harus dibaca, jika ingin memasuki centang-perenang dan hingar-bingar puisi-puisi Mardi Luhung yang ramai di tengah “nyanyi sunyi” dominasi perpuisian Indonesia. “Siapkan cintamu bagi dagingku, lelaki perahuku/ lekatkan seluruhnya pada pantai dan bakau-bakauan/ yang terulur dari bahasaku” (Lelaki Perahuku) demikian kata si penyair Mardi Luhung.
 
Sebenarnya hampir secara bersamaan ketika Surabaya dibaca sebagai penghasil puisi gelap, ada seorang penyair yang berada “di luar pagar” kecendrungan tersebut. Dia adalah S. Yoga. Ekspresi puisi-puisi S. Yoga adalah sebuah objek yang ia narasikan dengan segala bentuk filosofis yang mengganduli sajaknya. Ia serupa pemotret ulung, yang dengan itu ia hendak menampilkan sisi humanis, seperti petikan sajak ini: “di atas penderitaanmu/ memang kebahagiaan yang selalu kucari/ dengan api yang menerangi kegelapan/ sebelum tubuh habis dilalapnya” (Lilin).
 
Sajak S. Yoga ini menemui turunannya pada pola pengungkapan F. Aziz Manna. Salah seorang penyair angakatan baru penyair Surabaya. Di saat sahabat-sahabatnya masih “mengimani” kitab Manifesto Surealis “seperti Dheny Jatmiko dan Ahmad Faishal” F. Aziz Manna, tegak berdiri dengan puisinya yang sederhana bahkan cenderung realis, seperti sajak berikut: “ternyata, waktu hanya hitungan/ hanya cara mengeraskan kenangan/ seperti mesin pembeku dalam lemari es” (November). Karakter puisinya memang belum selepas dan sebebas sajak-sajak Muttaqin. Aziz masih menerima kecenderungan “umum” perpuisian Indonesia, terutama terasa sekali pola S. Yoga.
 
Terlepas dari apa yang telah saya uraikan di atas, Surabaya kini tengah memasuki era baru dalam kancah perpuisian Indonesia. Sebuah dinamika yang akan terus bergerak mengisi kekosongan atau mendobrak konvensi yang sudah mengalami kejenuhan dan kepunahan. Muttaqin dan Aziz Manna adalah generasi yang secara lembut mungkin akan mengatakan selamat tinggal kegelapan?
***

*) Pengamat sastra alumnus sastra Indonesia Universitas Negeri Surabaya, tinggal di Sampang Madura. http://sastra-indonesia.com/2009/10/angkatan-baru-penyair-surabaya/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

20 Tahun Kebangkitan Sastra-Teater Lamongan A Jalal A. Anzieb A. Khoirul Anam A. Mustofa Bisri A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja Abdoel Moeis Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdullah Abubakar Batarfie Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Achdiat K. Mihardja Achiar M Permana Adek Alwi Adhi Pandoyo Adib Baroya Aditya Ardi N Adri Sandra Adu Pesona Sang Wakil Cawapres RI Afrizal Malna Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Buchori Agus Dermawan T. Agus Mulyadi Agus Prasmono Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahmad Farid Yahya Ahmad Hasan MS Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Saifullah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alawi Al-Bantani Alfatihatus Sholihatunnisa Alfian Dippahatang Ali Audah Alim Bakhtiar Amie Williams Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amril Taufik Gobel An. Ismanto Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 AndongBuku #3 Andrea Hirata Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Antologi Sastra Lamongan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Arafat Nur Ardi Wina Saputra Ardy Suryantoko Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arman A.Z. Arsyad Indradi Asarpin Ashimuddin Musa Asrul Sani Astuti Ananta Toer Atafras Audifax Awalludin GD Mualif Ayu Nuzul Azizah Hefni B Kunto Wibisono Bahrul Amsal Bambang Kempling Beni Setia Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bloomberg Bre Redana Budaya Budi Darma Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Candra Adikara Irawan Candrakirana Cangaan Ujungpangkah Gresik Jawa Timur Capres Cawapres 2019 Catatan Ceramah Cerpen Chairil Anwar Chicilia Risca CNN Indonesia Coronavirus COVID-19 D. Zawawi Imron Damiri Mahmud Darju Prasetya Darman Moenir Deddy Arsya Denny JA Denny Mizhar Devy Kurnia Alamsyah Dhoni Zustiyantoro Dian Sukarno Didin Tulus Dien Makmur Din Saja Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Donny Anggoro Donny Darmawan Dr. Hilma Rosyida Ahmad Dwi Cipta Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dyah Ayu Fitriana Ecep Heryadi Edy Suprayitno Eka Budianta Eka Kurniawan Elok Dyah Messwati Engkos Kosnadi Erdogan Erwin Setia Esai Esti Nuryani Kasam Evan Ys F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Fahrur Rozi Faidil Akbar Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathul Qorib Fatkhul Anas Feby Indirani Felix K. Nesi Festival Teater Religi Festival Teater Religi Pelajar SLTA Se-kabupaten Lamongan Fira Basuki Forum Santri Nasional (FSN) Frischa Aswarini Fuad Mardhatillah UY Tiba Fuad Nawawi Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gde Artawan Geger Riyanto Geguritan Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Guenter Grass Gus Ahmad Syauqi Gus tf Gusti Eka Habib Bahar bin Smith Haiku Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Han Gagas Hary B Koriun Hasan Basri Hasnan Bachtiar Heri Ruslan Herman Hesse Hertha Mueller Heru Kurniawan Hestri Hurustyanti Holy Adib Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu I Made Prabaswara I Made Sujaya IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah) Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Iksaka Banu Imam Jazuli Imam Nawawi Imammuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Mahadi Indra Tjahyadi Irfan Afifi Irine Rakhmawati Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS J.S. Badudu Jadid Al Farisy Jajang R Kawentar Jawa Timur Jean Marie Gustave le Clezio JJ. Kusni Jl Raya Simo Sungelebak Jo Batara Surya John H. McGlynn Jordaidan Rizsyah Jual Buku Paket Hemat Juara 3 Lomba Lompat Jauh DISPORA LAMONGAN Jurnalisme Sastrawi K.H. Ma'ruf Amin Kadek Suartaya Kaheesa Kirania Putri Ayu Kahfie Nazaruddin Kalis Mardiasih Kamaluddin Ramdhan Kanti W. Janis Karanggeneng Kardono Setyorakhmadi Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Pantura (KBP) KetemuBuku Jombang KH. M. Najib Muhammad KH. Muhammad Amin (1910-1949) Khairul Mufid Jr Khawas Auskarni Khoirul Abidin Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kitab Arbain Nawawi Kodrat Setiawan Kompas TV Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra dan Teater Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) Kopuisi Kostela Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kurnia Effendi Kuswaidi Syafi’ie L Ridwan Muljosudarmo L.K. Ara Lamongan Lan Fang Lawi Ibung Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Literasi Liza Wahyuninto Lukas Luwarso Lukisan Lukman Lukman Santoso Az Lutfi Mardiansyah M Farid W Makkulau M. Faizi M.D. Atmaja Madrasah Aliyah Matholi'ul Anwar Madrasah Ibtida’iyah Thoriqotul Hidayah 1 Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S Mahayana Manado Manneke Budiman Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mario F. Lawi Marsel Robot Martin Aleida Marwanto Mashuri Massayu Masuki M. Astro Masyhudi Media Seputar Pendidikan Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Purnama di Kampung Halaman Mereka yang Menjerat Gus Dur MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mien Uno Moh. Dzunnurrain Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Rafi Azzamy Mohammad Rokib Mohammad Yamin Muafiqul Khalid MD Much. Khoiri Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alfatih Suryadilaga Muhammad Antakusuma Muhammad Fikry Mauludy Muhammad Hafil Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad N. Hassan Muhammad Subarkah Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Muhyiddin Mukadi Mukani Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Musa Ismail Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang E S Nara Ahirullah Naskah Teater Nezar Patria Noor H. Dee Nunus Supardi Nur Haryanto Nur Wachid Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Okky Madasari Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Pameran Lukisan Parimono V / 40 Plandi Jombang PC. Lesbumi NU Babat PDS HB Jassin Pelukis Dahlan Kong Pelukis Tarmuzie Penculikan Aktivis 1988 Pendidikan Pengajian Pengarang kelahiran Lamongan Pentigraf Pepaosan Perbincangan Peringatan Hari Pahlawan 10 November Pilang Tejoasri Laren Lamongan Jawa Timur Pipiet Senja Politik Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Jokowi Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi (PMK) Puji Santosa Pustaka LaBRAK PUstaka puJAngga R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Reuni dan Halal Bihalal Mts Putra-Putri Simo 1992 Ribut Wijoto Riki Antoni Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Robin Al Kautsar Rodli TL Roland Barthes Rosi Rosihan Anwar RR Miranda Rumah Budaya Pantura (RBP) S. Jai S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabrank Suparno Safitri Ningrum Sainul Hermawan Sajak Salman Aristo Sandiaga Uno Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Sastra Tasikmalaya (SST) Sarasehan dan Launching Buku Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Kuno Suku Sasak Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Satu Jam Sastra Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seni Gumira Ajidarma Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Pendidikan Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sirdjanul Ghufron Siwi Dwi Saputro Slamet Rahardjo Rais Soediro Satoto Soekarno Soeparno S. Adhy Soesilo Toer Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Handi Lestari Sri Wintala Achmad STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sujatmiko Sukarno Suminto A. Sayuti Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahrudin Attar Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Sylvianita Widyawati Tangguh Pitoyo Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teater nDrinDinG Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tias Tatanka Timur Sinar Suprabana Titi Aoska Tiyasa Jati Pramono Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Toni Masdiono Tri Broto Wibisono TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Jember Universitas Negeri Jember Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyu Aji Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Wiji Thukul Wildan Nugraha Wildana Wargadinata Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yerusalem Ibu Kota Palestina Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Herwibowo Yuditeha Yusri Fajar Yuval Noah Harari Zainal Arifin Thoha Zainuddin Sugendal Zara Zettira ZR Zehan Zareez Zuhdi Swt