ruangbaca.com
Ayo buku, baca mataku! (“Duel”, Joko Pinurbo)
Sebuah film populer remaja, Freedom Writers, cukup bagus dan praktis memerikan hal-hal seputar dunia literasi. Membincangkannya saya kira baik buat melihat perilaku membaca dan menulis yang teralami dengan serius tapi menyenangkan. Diangkat dari kisah nyata, Freedom Writers menceritakan pengalaman Erin Gruwell (diperankan Hilary Swank) dan murid-muridnya di SMA Woodrow Wilson, Long Beach, California, Amerika Serikat, pada 1990- an. Waktu itu di sana sedang terjadi kekerasan geng dan ketegangan rasial. Mudah menyulut keributan hebat dengan isu perbedaan warna kulit.
Alkisah, Erin Gruwell adalah ibu guru baru mata pelajaran bahasa dan sastra. Di Wilson itu kali pertamanya dia mengajar. Wajah mudanya yang menggelora dan sumringah di hari awal masuk kelas sontak berubah saat mengetahui anak-anak didiknya bengal dan hampir pemberang semua, membandel dan melawan. Mereka berkelompok sesuai warna kulitnya. Si kulit hitam tidak mau akur dengan si kulit kuning atau dengan murid kulit hitam lainnya yang berbeda kelompok (geng), apalagi dengan siswa kulit putih tulen.
Kehidupan mereka keras di luar sekolah, yang terbawa-bawa ke sekolah. Ada yang baru mendekam atau bahkan sudah terbiasa dengan penjara anak-anak sejak bocah. Banyak yang hampir hanya mengerti bahasa rudin: kata-kata kasar, pelecehan dan kekerasan seksual, obatobat terlarang, bergabung dengan kelompok geng tertentu dengan inisiasi pukulpukulan sampai berdarah-darah, hingga letusan pistol dalam menyelesaikan masalah. Dan masih banyak lagi.
Dan si ibu guru awalnya hampir tidak mengerti. Tapi dia bukan orang yang pesimistis dan fatalistis, ternyata. Tidak seperti kebanyakan staf sekolah dan guru lainnya yang sepertinya sudah mentok mengulik pendidikan di tempat itu –setelah berlaku beberapa tahun sebuah aturan pembauran sehingga murid-murid “kelas bawah” yang kebanyakan kulit berwarna bisa masuk.
Berawal dari satu insiden, yakni sebuah gambar muka seorang berkulit hitam yang bibirnya dimoyongkan beredar dari bangku ke bangku untuk menghina seseorang, kelas sekonyong-konyong berbelok membahas holocaust. Bukan membahas, tepatnya, tapi Si Ibu seperti tiba-tiba saja kepikiran tentang tragedi kemanusiaan itu buat memojokkan perangai buruk siswa-siswanya. Mungkin karena dramatisasi dan sofistifikasi filmis, perdebatan itu membuat otot rahang jadi tegang tapi indah dan menyentuh, dan beberapa siswa perempuan menangis: tahu apa kamu, hei guru kulit putih! Tapi agak konyol, setelah berargumen berpilin-pilin dan menyentil polah buram seputar rasialisme, dan kelas menjadi hening, seseorang mengangkat tangan. Dia bertanya ragu apa itu holocaust sebenarnya. Dan ternyata semua murid banyak omong tidak tahu apa makna kata itu.
Semangat pendidikan literasi dalam film karya sutradara Richard Lagravenese ini kian jelas tatkala Gruwell mengarahkan anak-anak didiknya menggauli teks dengan intensif tapi mesra, menyenangkan. Meski sulit dan berbusabusa bagi Gruwell, teks lantas perlahan-lahan menjadi sesuatu yang terlibat dalam hidup mereka: anak-anak itu membaca dan kemudian menulis dengan sungguh-sungguh.
Diarahkan oleh lbu Gruwell untuk penasaran dengan holocaust dan sebuah geng bernama Nazi, yang ternyata fasis dan amat sangat tidak humanis, mereka pun membaca Catatan Harian Anne Frank. Si Ibu memang cerdik. Terjadilah proses identifikasi. Mereka merasa sama dengan Anne Frank, tengah menghadapi dunia yang mengimpit, mengancam, meneror dengan gilanya. Namun, seperti Anne, mereka jadi percaya diri untuk bisa terus hidup menatap masa depan yang cerah gara-gara membaca dan menulis.
Ya, tentu saja tidak sesederhana itu. Yang menonton film keluaran 2006 ini mungkin bisa mengerti bagaimana segerombolan murid bengal jadi keranjingan menulis catatan harian. Kepada buku hariannya masing-masing, mereka mengisahkan diri sendiri apa adanya. Tentang masa kecil yang kebanyakan penuh teror, keluarga yang berantakan kayak tembikar pecah, harapan yang seakan terus saja menjauh seperti batas cakrawala bila dikejar.
Ya, barangkali, dengan menulis pelan-pelan mereka menjadi lebih mengenali identitas diri sendiri sebagai manusia. Pelan-pelan, ada yang sadar untuk pulang ke rumah dan kembali tersenyum kepada ibunya setelah lama memilih tinggal di jalanan karena amarah: semacam polah rekonsiliasi berkat, salah satunya, persentuhan dengan dunia literasi. Ada yang diam-diam membuang pistolnya ke selokan. Ada yang tidak lagi mengagung-agungkan gengnya sendiri meski jadi dimusuhi. Dan di room 203 (nomor ruangan kelas mereka di Wilson), mereka menjadi sebuah keluarga. Di antara mereka tak ada yang tidak saling kenal satu dengan Iainnya.
Tertarik lebih jauh oleh wacana holocaust, mereka bersama-sama berkunjung ke Museum Toleransi Simon Wiesenthal di New Port Beach. Di sana mereka mendapatkan cerita sejarah yang mengenyangkan tentang bencana rasialisme. Tidak berhenti di sana, Ibu Gruwell memfasilitasi mereka untuk bisa bertemu dengan korban-korban yang selamat dari kekejaman Nazi di kamp-kamp konsentrasi. Mereka yang sudah pada sepuh itu duduk-duduk di sebuah restoran mewah, membagikan pengalaman pahit yang sudah lalu dengan menawan kepada generasi yang lebih muda, yang diam-diam haus hal-hal mencerahkan.
Tidak berhenti di sana, Ibu Gruwell menukar tugas menulis ulasan buku Anne Frank dengan menulis surat ke Miep Gies –perempuan yang menolong keluarga Anne bersembunyi dari kejaran Nazi –yang masih hidup di Eropa. Saking semangatnya, mereka pun keukeuh ingin mengundang Miep Gies berkunjung ke Wilson buat mengisi sebuah acara bincang santai. Didukung koran lokal dalam menyebar kabar, mereka menggelar pelbagai acara untuk pengadaan dana: hari kuliner, bazar barang-barang, konser musik amal –sesuatu yang sangat luar biasa bila melihat mereka beberapa bulan sebelumnya antara satu dengan lainnya sangat saling sinis.
Ya, di titik itu, sebuah kesadaran kolektif yang positif telah terbangun dengan mantap. Di titik itu, peran mengonsumsi dan memproduksi teks sangat besar (teks yang ternyata bukan hanya tulisan): lingkungan adalah teks, perang antargeng adalah teks, diri sendiri adalah teks, Anne Frank adalah teks; masa lalu, masa kini, dan masa depan adalah teks yang senantiasa menunggu untuk dihidupkan, diperjuangkan, diwarnawarnikan.
Demi menghidupkan kesadaran kritis seperti itu, di pertengahan-awal film, kita melihat Ibu Gruwell merayu muridmuridnya yang sudah jinak-jinak merpati: “Semua orang punya kisahnya masing- masing. Dan amatlah penting menceritakan kisahmu sendiri untuk diberikan kepada diri sendiri. Jadi, apa yang akan kita lakukan adalah menulis setiap hari di dalam jurnal. Kalian boleh menulis apa pun yang kalian mau. Masa lalu, masa kini, masa depan. Atau kalian boleh menulis lagu, puisi, hal bagus, hal buruk. Apa pun. Tapi kalian harus menulis setiap hari. Siapkan pena di dekatmu kapan pun kalian punya inspirasi. Buku-buku ini takkan dinilai. Aku takkan membacanya kecuali kalian izinkan…”
Sebagai projek terakhir sebelum lulus dari Wilson, Ibu Gruwell meminta semua tulisan mereka diketik rapi, dikumpulkan menjadi satu bundel naskah. Projek itu tanpa tujuan muluk pada awalnya; hanya sebuah upaya pendokumentasian dan penegasan bahwa mereka pernah ada di sana, sebelum harus berpencar dan melanjutkan hidup masing-masing. Harus ada yang diutarakan dalam bentuk karya, minimal buat konsumsi bersama mereka internal. Tapi pada 1999, bundelan itu berhasil terbit menjadi sebuah buku yang beredar luas, berjudul The Freedom Writers Diary. Dengan kesadaran literasi yang kritis, mereka, The Freedom Writers, di ruangan 203 itu saya kira dengan cantik telah mengalami sebuah “duel” (teringat sajak mini Joko Pinurbo: Ayo buku, baca mataku!) dan sukses keluar dari lingkaran kekerasan sehari-hari yang banal dan rawan.
*) Alumnus Faperta, Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Universitas Padjadjaran. Bergiat di Forum Lingkar Pena Band. http://sastra-indonesia.com/2010/04/duel-di-ruangan-203/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar