Ponorogo Pos
Pipiet Senja adalah nama samaran dari Etty Hadiwati Arief, yang lahir di Sumedang, 16 Mei 1956. “Bagiku, menulis sungguh membawa nikmat dan berkah.” Begitulah ungkapnya di akhir pengakuan proses kreatifnya di majalah Mata Baca, edisi Juni 2007, hal. 29. “Bersama buku aku bisa keliling tanah air, bahkan beberapa Negara pernah kusinggahi: Singapura, Malaysia, Mesir, dan Saudi Arabia. Melalui pena, aku dapat mengukir kata-kata indah dan bermakna, memberi pembelajaran kepada pembaca, sekaligus menghibur atau menemani mereka yang kebetulan senasib denganku. Nah, menulis ayooooo!”
Keinginan untuk tunaikan ibadah haji, misalnya, sudah lama dia pendam. Perempuan yang seumur hidupnya ditransfusi darah karena kelainan darah bawaan ini, memiliki semangat hidup yang luar biasa. Novelnya, Kupenuhi Janji (Dhaha Publishing, 2007) adalah ungkapan pengalaman sepulang berhaji. Haji yang sudah lama dicita-citakan. “Acapkali, selama bermalam-malam aku merangkai harapan dan mimpi menjadi tamu Allah, berkeliling Kabah, tawaf, melakukan sai, mencium Hajar Aswad, melempar jumrah….” Hal inilah, yang membawa Pipiet Senja mendapat tawaran kontrak ekslusif dari Penerbit Khairul Bayaan yang juga bersinergi dengan Travel Haji Ar-Rayyan.
“Nggak perlu bakat untuk bisa menulis!” begitulah judul kolom Proses Kreatif Mata Baca (April 2006:38-39). Saya percaya, lanjutnya, bahwa bakat itu memang ada. Tapi, saya lebih percaya bahwa keberhasilan seseorang dimulai karena dia mau mencoba dan berusaha menggali bakatnya, seberapa pun besarnya bakat tersebut. Bahkan kalau seseorang tidak punya bakat sekalipun, asal dia mau bekerja keras, maka pada beberapa profesi, seringkali dia akan tetap bisa berhasil walaupun dia tidak punya bakat.
Mengapa Safir Senduk bisa menulis artikel dan berita jurnalistik? Beginilah jawabnya, (a) karena sejak kecil dia terbiasa melihat ibunya menulis sehingga alam bawah sadarnya ikut membuatnya mau menulis, dan (b) dia juga menghadiri seminar dan pelatihan tentang cara menulis ang baik, dan (c) dia melatih, melatih, dan melatihnya dengan melakukan berulang-ulang hingga betul bisa dan terbiasa.
Sampai sekarang, Safir sudah menulis enam buku (a) Merancang Program Pensiun, (b) Mengantisipasi Risiko, (c) Mengelola Keuangan Keluarga, (d) Mengatur Pengeluaran Secara Bijak, dan (e) Mencari Uang Tambahan; semuanya diterbitkan oleh PT Elex Media Komputindo.
Menurut Safir, hanya ada lima langkah penting dalam menulis, yakni (a) memilih tema, (b) membuat kerangka, (c) membuat kerangka detail, (d) menulis, dan (e) baca lagi, dan baca lagi Mata Baca (April 2006:39).
Bagaimana dengan Anda? Marilah kita belajar dari Safir. Pertama, motivasi dan kerja berlatih yang luar biasa. Kenyakinannya akan tidak tergantungnya pada bakat adalah sebuah kejujuran yang menarik untuk kita tiru. Kebanyakan kita, selalu beralibi ketika diminta untuk menulis dengan alasan tidak bakat. Di mata, Safir, faktor terbesarnya adalah berlatih, berlatih, dan berlatih. Karena itu, marilah kita berlatih menulis. Karena menulis adalah keterampilan maka tidak ada cara lain kecuali mengembangkan keterampilan itu sendiri.
Kedua, adanya peran bawah sadar. Adi W Gunawan, dalam sebuah pelatihan pernah mengatakan, bahwa kehidupan kita 88% dikendalikan oleh bawah sadar. Pengalaman Safir, yang setiap saat melihat ibunya menulis, secara tidak langsung masuk ke pengalaman bawah sadar, dan karena itu, pada suatu waktu menjadi kekuatan yang “luar biasa”. Di sinilah, barangkali penting kita menciptakan kondisi yang inspiratif: (a) bergaul dengan penulis, (b) berguru pada para penulis, dan (c) memfasilitasi rumah kita dengan sarana buku-buku sehingga menjadi kekuatan bawah sadar yang menggetarkan.
Ketiga, tentang langkah menulis yang sangat praktis. Apa yang diungkapkannya, secara umum, nyaris sudah diajarkan di bangku sekolah (dan kuliah). Permasalahannya, mengapa sampai sarjana kita tidak banyak temukan penulis? Langkah praktis Safir, karena itu, menarik untuk kita latihkan dalam praktik setiap hari.
Marilah kita awali dengan senantiasa merenungkan tema kehidupan apakah yang menarik untuk kita tulis. Setelah itu, alangkah baiknya jika dibuku hariannya misalnya, kita sempatkan untuk menuliskan kerangka tulisan dan detailnya dengan seksama. Baru jika kesempatan memungkinkan, pengembangan penulisan kita lakukan. Baca, baca, dan baca lagi sebagai proses editing pribadi. Sederhana kan?
Nah, tunggu apalagi. Sebuah jembatan emas dalam dunia bawah sadar itu akan menuntun kita pada hari esok yang menjanjikan. Menulis, bukankah dapat dijadikan gantungan hidup di hari depan?
***
http://sastra-indonesia.com/2010/10/menulis-jadi-berkah-belajar-dari-kepenulisan-pipiet-senja/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar