padangmedia.com
Jadwal mengunjungi shelter (semacam rumah singgah) Matim di Macau akhirnya tiba jua. Berangkat dari kawasan Haven Street, sekitar pukul 11.00 waktu Hong Kong, ditemani empat orang, yakni; Ustaz Abdul Ghofur dan istrinya Melani, Sastri Bakry dan putrinya Ranti.
Tujuan kami tentu saja bukan hendak menghamburkan uang di casino atau ladang-ladang judi lainnya. Ini boleh dikatakan merupakan perjalanan unik, mengemban misi kemanusiaan, setidaknya demikian menurut persepsi saya. Intinya mengunjungi shelter, tempat para perantau Indonesia yang sedang tertimpa musibah di Macau. Tempatnya bernama Matim, Majlis Taklim Indonesia di Macau.
Ferry Itu Disebut Turboje
Aroma perbatasan Hong Kong-Macau mulai tercium, selama ini hanya saya tahu dari buku dan film-film Mandarin. Seketika aku teringat Chow Yun Fat dan Steven Chow, si Raja Judi, sementara jejak si Jacky Chan mulai tertinggal di tengah hiruk-pikuk Hong Kong. Ustaz Ghofur membelikan kami tiket masing-masing seharga 160 dolar HK. Jika malam harganya 176 dolar HK. Imigrasi di perbatasan ini berjalan lancar, setidaknya tak ada yang menekan hatiku dengan sikap jutek dan sotoy.
Aku mengambil tempat duduk di pinggir, agar bisa menikmati pemandangan di luar ferry dengan leluasa. Mereka menyebutnya turbojet. Begitu duduk manis di sebelah Sastri, kami berdua langsung membuka laptop. Kepingin melanjutkan tulisan sebelumnya, tapi hanya sebentar, mendadak perutku terasa mual.
Sementara Sastri melanjutkan aktivitas menulisnya dengan semangat juang ’45, memang anak pejuang pula nenek cantik ini. “Jangan lupa di-save, ya Uni,” pesanku wanti-wanti sebelum memejamkan mata, rapat-rapat, menghindar rasa pening yang semakin menggelayut. Ibu Sekretaris DPRD Padang itu mengangguk, semakin taktiktok dengan tulisannya. Mau dipublikasikan di kompasiana. com, katanya.
Belakangan, ternyata file itu raib, gara-gara lupa di-save, persis seperti yang saya alami. Wuaduuuuw, dasar duo manini!
Selamat Datang di Macau
Setelah satu jam di atas turbojet yang melaju cepat, kami pun merapat dan tiba dengan selamat di pelabuhan Macau. Portugisio Maritimo Macau, kalau tak salah demikian namanya. Serasa bagai mimpi nih, cetus Sastri Bakry.
Kami jeprat-jepret dengan gaya norak yang bisa bikin jengah para konglomerat, petinggi, atau koruptor kita, mereka yang terbiasa liburan dan refreshing ke casino-casino Macau. Suasana pelabuhan ferry Macau mencengangkan, setidaknya bagi saya, Sastri dan Ranti. Lift-lift yang menyambung dari dalam ke seberang terminal bus. Angkutannya berupa bus-bus bagus, full AC, semuanya digratiskan, menuju arena judi seperti; Lisboa, Grand Lisboa, Wyn, Venesian dan sebagainya.
Selama dalam perjalanan menuju Vila de Costa, masih serasa mimpi, aku lebih banyak terdiam dan mengagumi pemandangan; gedung-gedung pencakar langit gemerlap lampu warna-warni. Wow, keren buangeeet! Ketika esok malamnya ada kesempatan memasuki Grand Lisboa, kami sempat memergoki rombongan anak muda keturunan dari Surabaya. Mereka asyik, heboh bermain di meja casino.
Hmm, lumayan banyak juga orang kita di sini, pikirku, terheran-heran. Bahkan selintas kulihat serombongan lagi, yang ini berjas perlente, gayanya mirip anggota dewan. Ops, semoga keliru, tentu saja mereka sedang reses, dan sibuk melakukan studi banding ke mana-mana, ya!
Kami sempat disambangi seorang anak muda yang bertanya dengan ketus: “Hei, pake jilbab ngapain langak-longok ke sini? Mau judi, ya?” Astaghfirullahal adziiiiim, lah tidaklah, Nak!
Kami menginap di Vila de Costa, sebuah apartemen berlantai 12, tetapi sama sekali tak ada lift-nya. Sebelum masuk ke penginapan yang check in tengah malam itu (ajaib, ya!) kami rehat dulu di shelter Matim. Tepatnya di kawasan Rua de Silva Mendes, 6 B, Edif, Pak Tak 4,3.
Di sini aku dan Sastri masih bisa menularkan virus menulis. Meskipun pesertanya terdiri dari para penghuni shelter, ditambah beberapa orang lagi yang datang dari luar, bergabung bersama kami. Ruang tengah yang dipakai sebagai aula itupun penuh sesak, semuanya lesehan. Acaranya cukup meriah, karena antusias mereka dan semangat ingin mengetahui; apa dan bagaimana caranaya agar menjadi seorang penulis terkenal itu?
Menyebar Virus Menulis di shelter Matim
Sastri Bakry giliran mengompori para Nakerwan yang ditampung di shelter itu agar suka membaca dan menulis. Ia mengambil contoh dari dirinya sendiri, betapa nikmatnya menjadi seorang penulis, memiliki karya, kisah inspirasi Kekuatan Cinta (Penerbit Jendela) yang sudah cetak ulang. Aku menambahkan bahwa betapa pentingnya arti sebuah karya tulis, sebuah buku.
Apabila para pembicara, para penceramah mampu menghimpun massa sedemikian banyak di suatu tempat. Apatah pula hebat dan dampaknya, jika ia, sang penceramah itu menuliskan materi ceramahnya kemudian membukukannya, dan karyanya akan menyebar ke pelosok dunia. Bahkan meskipun penulisnya telah tiada, sebuah karya akan tetap dikenang pembacanya.
Sesi dialog interaktif digelar, para peserta bertambah dengan BMI Macau yang tinggal di shelter Matim baru pulang kerja pukul sebelas malam, semuanya ikut bergabung. Mereka antusias sekali menyerbu kami berdua dengan berbagai pertanyaan. Mulai dari yang ringan seperti, bagaimana memulai sebuah tulisan? Sampai meminta diajari, bagaimana menulis artikel; protes, agar suara BMI terdengar dan dipedulikan oleh para Birokrat? Luar biasa! Kami berdua merasa terharu dibuatnya!
(Pipiet Senja, Causeway Bay)/16/09/2010 http://sastra-indonesia.com/2012/05/semalam-di-macau-menyebar-virus-menulis-bersama-sastri-bakry/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar