Penulis : W.A.A.Ibrahimy
Cetakan : Pertama, 2017
Penerbit : Ibrahimy Press
Tebal : xvii+169 halaman
ISBN : 978-602-72659-8-1
Peresensi : Raedu Basha *
nusantaranews.co, 28 Agu 2017
Ciri-ciri keulamaan seseorang salah satunya menjadi penulis, utamanya syair. Sejak ulama-ulama generasi Salafussaleh sampai hari ini—terlebih kiai-kiai pesantren—terus mentradisikan kegiatan menulis karangan berbentuk syair. Baik itu salawat, manakib, sampai dengan syair-syair yang berisikan petuah hikmah (jawahir), ada ulama yang sengaja mengumpulkan syair-syairnya dalam sebuah buku utuh seperti Diwanus Syafi’ie karya Imam Syafi’ie yang sudah dikenal luas umat Islam di penjuru dunia atau Irsyadul Ikhwan karya Kiai Ihsan Al-Jampesi dari Jampes Kediri yang dikenal sebagai syair-syair pedoman persoalan kretek dan kopi kalangan santri, ataupun syair yang hanya cukup dikarang satu-dua baris berbait dan dijadikan kutipan untuk mengokohkan pendapat dalam berfatwa, seperti yang dilakukan Al-Ghazali maupun Nawawi Banten dalam karya-karyanya.
Kalau syair-syair ulama yang disebutkan di atas kesemuanya menggunakan bahasa Arab maka lain pula dengan bebeberapa ulama yang menulis syair dalam bahasa daerah masing-masing, sebut saja Kiai Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dengan Syair Tampo Waton berbahasa Jawa, Kiai Aminullah Murad Madura dengan Caretana Oreng Mate (Cerita Tentang Orang Mati) yang biasanya sering didengungkan di masjid-masjid Tapal Kuda dan Madura, maupun kiai yang menggunakan syair berbahasa Indonesia seperti Kiai Jamaluddin Kafie, Kiai Zawawi Imron, Kiai Ahmad Mustofa Bisri, Kiai Zainal Arifin Toha, Kiai M. Faizi, dan lain-lain. Demikian pula buku yang baru terbit ini, Jalan ini Rindu (Ibrahimy Press, 2017), sebuah kumpulan puisi yang ditulis oleh seorang kiai dengan menggunakan bahasa Indonesia karya W.A.A. Ibrahimy—merupakan nama pena dari KHR. Acmad Azaim Ibrahimy—pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah, Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur yang dikenal dengan “Pesantren Sukorejo”, seolah menjadi penguat matarantai tradisi mengarang syair yang terus diwariskan oleh kiai-kiai pesantren terdahulu. Apalagi salah seorang pengasuh Pondok Pesantren Sukorejo sebelumnya—selain sebagai ulama besar dan pendiri NU—dikenal pula sebagai pengarang syair-syair bahasa Madura yang sampai saat ini terus dideras santri-santrinya, Raden Kiai As’ad Syamsul Arifin, ulama yang baru dikukuhkan sebagai Pahlawan Nasional RI, tak lain merupakan kakek W.A.A. Ibrahimy.
Dalam beberapa sajaknya, W.A.A. Ibrahimy tampak memosisikan diri sebagai seorang penyair yang melakukan pengembaraan spiritual dengan melewati perantara-perantara orang-orang tercinta untuk mencapai cinta yang arif kepada Tuhan (makrifatullah), orang-orang tercinta itu antara lain adalah orang tua sendiri seperti pada puisi “Jantung Lautku Sembahyang” (halaman 12), sosok para guru dan tempat menimba ilmu pengetahuan seperti pada puisi “Lasem Ajaranmu” (halaman 02), “Wasiat Guru” (halaman 74), dan sosok-sosok lain mulai dari para ulama seperti Al-Ghazali pada puisi “Cinta I” (halaman 28) sampai dengan sampai dengan filsuf seperti Descartes pada puisi “Sembahyang” (halaman 48).
Menggunakan perantara orang-orang tercinta kiranya bukan tanpa landasan bagi seorang santri (apalagi dengan huruf s besar), perantara keilmuan disebut sanad (silsilah guru-murid) atau bila berbentuk doa mereka anggap sebagai bentuk tawasul. Dalam upayanya bertawasul, W.A.A. Ibrahimy tampak mencari cara untuk membuka pintu-pintu yang tertutup untuk dibukakan oleh-Nya guna melanjutkan jalan pengembaraan yang ditempuhnya, salah satunya ialah pintu kasyf, yaitu terbukanya mata batin seorang hamba Tuhan kepada hal-hal yang tak kasat mata (wilayat), selalu didendangkannya dalam beberapa puisinya. Laku demikian tak lain merupakan bagian dari ritual dalam melakukan taqarrub (mendekatkan diri kepada Allah) yang diistilahkan oleh penyair sebagai ‘sembahyang’.
Sebagai pengembara, penyair menganggap jalan yang ditempuhnya merupakan: jalan ini/jalan untuk pergi/jalan ini/jalan penuh duri/jalan ini/jalan bekal diri/jalan ini/jalan para nabi/jalan ini/jalan hakiki/jalan ini/jalan luka perih/jalan ini/jalan tuk kembali/jalan ini/jalan rida Ilahi (“Jalan ini Jalani!”, halaman 62) yaitu jalan kerinduan pengembaran spiritual. Dia berada pada “maqam syauq” yang mana kerinduan bagi W.A.A. Ibrahimy menjadi musebab munculnya cinta (al-hubb). Cinta yang hakekat sampai dengan cinta yang makrifat.
Dapat terbaca bahwa cinta dalam sajak-sajak Ibrahimy dengan huruf c besar, dan ketika dia mencoba membaca karakter cinta yang direnungkannya sungguh terasa dipenuhi zat yang perlu diuraikan kembali sifatnya dalam tatapan muraqabah, seperti rasa panas pada api, terang pada cahaya, namun kadang pula dingin dalam api, kadang terasa seperti langit, angin, kadang seperti bumi, seperti ditemukan dalam puisi “Cinta II” (halaman 30): cinta kepada Allah itu api/apapun yang dilewati akan terbakar/maka leburlah beku perasaan/dalam panasnya kerinduan…
Lewat gaya pengungkapan yang santun dan mudah dipahami oleh pembaca, kandungan puisi di atas akan mudah menancap lubuk jiwa pembaca (umat) untuk senantiasa ikut melakukan pengembaraan spiritual seperti yang dirambah oleh penyair. Bukankah sangat terlihat, masyarakat hari ini butuh kesejukan dan nasihat ulama-ulama yang menyiramkan air kesejukan spiritual dan sosial serta mengarahkan peta jalan untuk mendekatkan diri kepada Sang Khalik. Dan tradisi bersyair yang dilakukan oleh para kiai atau ulama merupakan sebuah tradisi untuk menyampaikan pesan-pesan agama sehingga umat merenungkannya lalu menubuhkan jiwanya ke dalam oase selaksa hikmah bagi kehidupan sehari-hari sebagai hamba pencari Cinta yang melangkah di jalan rindu; jalan kerinduan menuju cinta ilahi.
Selain itu ada keunikan dalam konsep buku Jalan ini Rindu. Tak seperti buku kumpulan puisi umumnya, setiap satu judul puisi dalam buku ini diulas oleh seorang interpreter. Terdapat 37 judul puisi dengan 14 orang interpreter yang terdiri dari sastrawan-sastrawan Indonesia, antara lain Taufik Ismail, Ahmadun Yosi Herfanda, D Zawawi Imron, Emha Ainun Najib, Jamal D Rahman, Sosiawan Leak, W Haryanto, dan lain-lain, dengan dipengantari oleh A. Mustofa Bisri dan epilog oleh Sutardji Calzoum Bachri.
***
*) Raedu Basha, penyair tinggal di Yogyakarta. http://sastra-indonesia.com/2021/08/jalan-rindu-menuju-cinta-ilahi/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar