Radar Sampit, 24/06/2018
Secara pribadi saya kurang tertarik dengan analisis novel “Perasaan Orang Banten” yang dihubungkan dengan karya Solzhenitsyn (Sehari dalam Hidup Ivan Denisovitch). Sastrawan Rusia itu tidak menjawab problem yang diajukan kaum politisi tentang pembangunan masyarakat yang ideal. Sifat kesusastraan hanya mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara mendasar, karena di situlah keterbatasan ruang-gerak sastrawan yang tidak memegang kendali dan kewenangan – seperti halnya penguasa – untuk memutuskan suatu problem kemasyarakatan.
Pendekatan yang lebih tepat justru adalah guru dari Solzhenitsyn, yakni Dostoyevsky (1821-1881) yang membedah perikehidupan manusia-manusia individualis sebagai korban dari manusia metropol dengan paham modernitas tentang kehidupan survive, termasuk ketegangan-ketegangan menghadapi hari esok yang tak menentu. Karena bagaimanapun manusia Indonesia sedang mengarah pada problem yang sama juga, dengan sikap yang dimungkinkan tumbuh subur dalam suatu pulau dengan macam-macam dialek bahasa dan separatisme yang beragam.
Dostoyevsky tanpa ampun membedah manusia-manusia modern yang dibeliti kesengsaraan dan penderitaan hidup di pusat perkotaan (Petersburg, Uni Soviet), yang merambah membangun diri dari tingkat pedesaan, meski masyarakatnya belum siap menghadapi perubahan. Tapi bagaimanapun eksplorasi alam – secara kias maupun harfiah – sebagai tugas manusia selaku khalifah terus berjalan. Hingga terbelahlah jiwa-jiwa si manusia kota menjadi pribadi-pribadi yang menderita kehausan penyakit yang patologis. Dostoyevsky pun meneropong dengan caranya sendiri ulah dan kelakuan kaum politisi yang gila kekuasaan, suatu pelukisan deformasi jiwa yang berhasil merekam manusia modern, tanpa disibukkan oleh asumsi dan hipothesa dari sejarawan yang sibuk membangun laboratoriumnya sendiri, berikut kesimpulannya yang sangat terbatas.
Tidak tanggung-tanggung disingkap pula suatu psike-individual yang mengakibatkan terbelahnya ideologi dan jurang pemisah antara generasi anak dan orang tua, kesenyawaan lembaga keluarga, masyarakat dan negara, hingga melahirkan suatu generasi baru yang mengidap sakit jiwa. Suatu keputusasaan dalam pengertian yang realistis, otentik, bukan semata-mata melodrama teatrikal semata. Di sisi lain para komprador penguasa yang menjelma menjadi hewan-hewan buas dan brutal, garuda dan buaya kapitalis, para penumpuk harta, pengoleksi barang-barang antik dan berharga, tanpa ambil pusing di sekelilingnya bergelimpangan orang-orang miskin yang merupakan korban perceraian maupun kematian karena perang.
“Mereka bilang, orang yang berharta melimpah seenaknya melupakan nasib orang-orang yang kelaparan, tetapi aku dapat membuktikan sekarang, mereka yang lapar pun tak pernah mau peduli kepada saudaranya yang sama-sama kelaparan,” demikian ujar seorang tokoh dalam novel Dostoyevsky (“Kesengsaraan di Petersburg”).
Kisah yang dituturkan Dostoyevsky bukan sebentuk manifes protes politik, dia menampilkan apa adanya tentang karakter dan watak politisi yang merasa kehausan patologis, gila pencitraan dan popularitas, yang merasa dirinya hidup dalam amukan zaman kejam dan penderitaan di tengah badai salju di trunda-trunda Siberia. Ciri khas dari sastra Rusia adalah persaksian otentik tentang figur-figur rakyat yang sederhana, namun menjadi korban pembodohan dan pendangkalan dari ulah kaum penguasa yang kawin dengan tuan tanah dan agamawan ortodoks. Tetapi sastra Rusia tidak pernah patah dari nilai-nilai humanitas dan solidaritas yang merupakan esensi dari ajaran agama yang mereka anut.
Dengan menampilkan nilai religiusitas dari figur yang masih memagang-teguh kekuatan iman yang original, maka Dostoyevsky tentu berbeda dengan Samuel Becket maupun Beltold Brecht, yang tergetar oleh gempa imperialisme dan kolonialisme yang dulu melanda negeri-negeri Eropa. Hingga kuliah-kuliah tentang pemikiran Karl Marx menyadarkan para penulis Eropa, bahwa sejarah dunia tergenangi oleh permasalahan para tuan dan para budak. Gugatan yang paling mendasar pada karya-karya Beltold Brecht adalah bagaimana peran agama yang menuntut penganutnya agar taat dan tunduk tanpa reserve, namun dalam praksisnya manusia tidak pernah diarahkan menjadi cerdas dan dewasa. Di situlah fungsi Tuhan seakan-akan hanya “tambal sulam” dari lubang kesulitan yang tak pernah dibereskan sendiri oleh penganut agama, sambil mengharap-harap mukjizat datang untuk membereskan kekalutan dan kerepotan yang sebenarnya dibuat oleh tangan manusia sendiri.
Pada dasarnya bukanlah atheisme anti-Tuhan yang diinginkan Brecht, juga bukan menyerang nilai ketuhanan itu sendiri, tetapi dia menyoal kaum politisi dan agamawan yang memproyeksikan fungsi Tuhan untuk kepentingan kekuasaannya. Citra Tuhan yang ditafsirkan masyarakat ternyata perlu dibersihkan dari proyeksi dan politisasi kaum elite borjuasi yang mengutamakan kepentingan diri sendiri, ketimbang berkarya membuktikan kemaslahatan dirinya di tengah masyarakat luas. Citra Tuhan ternyata masih dipenuhi unsur-unsur politik kotor, ideologi dan kritik-kritik palsu, propaganda kepahlawanan kosong, dicampuri urusan duit dan vested interest yang sama sekali tak ada hubungannya dengan nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan kepada Sang Pencipta semesta.
Pada akhirnya penulis menolak suatu prinsip dari seorang birokrat yang tergesa-gesa menyimpulkan “Perasaan Orang Banten” yang dikatakan menyesatkan dari sisi keilmuwan dan kesejarahan. Padahal dari paragraf-paragraf awal sudah diperingatkan oleh penulis novel tersebut bahwa ia bukanlah hendak menulis sejarah Banten maupun Indonesia. Biarlah para sejarawan memasuki habitatnya di pusat laboratorium yang mereka program, sesuai dengan kapasitasnya sebagai sejarawan. Tak usah petantang-petenteng memasuki bidang-bidang lain yang bukan keahliannya. Juga tak perlu kegenitan kayak politikus yang side job sana-sini, keranjingan ingin jadi artis, tandatangan dengan production house, main sinetron dan penyanyi dangdut, padahal suaranya cablak pas-pasan. Lantas kapan dia mau bertugas mewakili kepentingan umat?
Bagaimanapun karya sastra tetaplah ciptaan dan rekaan manusia yang diakui secara jujur oleh setiap pengarangnya, dengan kekayaan linguistik yang dimiliki olehnya. Juga dengan totalitasnya sebagai pengarang yang peka dan peduli pada nilai-nilai dan keindonesiaan. Setiap karya sastra yang bertanggungjawab terhadap pembangunan peradaban manusia, tak lepas dari kecenderungan dakwah yang mengajak pada nilai-nilai kebenaran dan keadilan.
Kualitas sastra semacam itu semakin menyadarkan dan memperkuat keimanan kita, dari gempuran badai-badai modernitas yang mengepung keseharian hidup kita, dari ketegangan-ketegangan menghadapi hari esok yang tak menentu. Bahwa kita harus selalu percaya dan optimis, karena orang-orang jahat yang korup sekalipun masih diberikan peluang rizkinya oleh Tuhan Yang Maha Kaya, apalagi kita yang bergerak dan berjuang untuk kebaikan dan kemaslahatan bersama.
***
*) Mahasiswa Perguruan Tinggi La Tansa Mashiro, Rangkasbitung, Lebak. http://sastra-indonesia.com/2021/08/sastra-dan-politisasi-agama/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar