Fakta adalah realitas yang terjadi dalam kehidupan ini. Sastra coba mengangkat realitas itu tidak sebagaimana adanya. Ia telah mengalami proses pemilahan dan pemilihan, seleksi dan rekayasa. Maka, realitas dalam sastra adalah fiksional. Ia seolah-olah realitas an sich. Padahal sesungguhnya realitas itu hanya berlaku dalam karya itu sendiri. Tak ada hubungan wajib pembaca mempercayainya atau tidak. Ia bebas diperlakukan apa saja. Sastra jadinya bagai bangunan yang bahan-bahannya dapat kita kenali berdasarkan fakta yang pernah atau mungkin terjadi.
Novel Sedimen Senja (Jakarta: Penerbit Kompas, 2006; 192 halaman) karya SN Ratmana bolehlah kita tempatkan sebagai contoh kasus yang menarik, bagaimana pengarang coba mempermainkan fakta-fiksi. Sebagai fakta, keberadaan novel itu tentu saja faktual dan kita dapat menikmatinya untuk berbagai kepentingan. Sebagai fiksi, tidak dapat lain, kita mesti menempatkan fakta di dalamnya itu telah mengalami proses fiksionalisasi. Pengarang melalui imajinasi dan kecendekiaannya, mencampurbaurkan segala bahan itu sedemikian rupa. Boleh jadi, sebagian peristiwa dalam novel ini diambil dari pengalaman pengarangnya sendiri atau pengalaman orang lain yang pernah didengarnya. Tentu saja semua pengalaman itu telah mengalami proses pemolesan dan perekayasaan agar terbentuk sebuah kehidupan: kehidupan fiksional.
Kesan hendak menempatkan novel itu sebagai “sejarah” pengarangnya itu seperti sengaja ditekankan sebagai siasat untuk mengecoh pembaca. Periksa saja bagian (1) “Kado Ulang Tahun” yang di bagian akhirnya ditutup dengan surat yang seolah-olah segala bahannya berdasarkan fakta yang pernah terjadi: jangan-jangan itu pengalaman pengarangnya sendiri. Siasat itu dimunculkan lagi pada bagian (14) “Temu Kangen” yang menghadirkan perdebatan tokoh Yitno dan Aji, tentang peristiwa faktual dalam novel mantan gurunya itu. Meski perdebatan itu seputar tokoh Yono yang dicitrakan agak negatif, pengarang tampaknya sengaja menghadirkan peristiwa itu untuk memberi kesan faktual. Dengan demikian, sangat mungkin pembaca akan melakukan identifikasi tokoh Aji, guru matematika sebagai SN Ratmana (pengarang), guru fisika. Siasat bercerita yang mengingatkan saya pada novel Atheis karya Achdiat Karta Mihardja dan Anak Tanah Air karya Ajip Rosidi.
***
Novel Sedimen Senja bagaimanapun juga tetaplah sebagai karya fiksi. Meski begitu, secara sosiologis, ia seperti merepresentasikan semangat zamannya tentang sisi lain kehidupan guru. Di sinilah, pengalaman masa lalu pengarang menghadirkan semacam slide yang mewartakan kehidupan guru sekitar akhir tahun 1960-an sampai dasawarsa 1970-an. Sebuah potret yang tergeletak di pojok ruangan. Pengarang lalu memungutnya, membersihkannya dari segala debu, membingkainya dengan figura yang lebih baru, dan menggantungkannya di ruang tamu. Seperti sedimen yang mengendap sekian lama, tiba-tiba mencair, mengaliri obsesi yang lalu membentuk sebuah narasi. Ia sepatutnya dijadikan tugu peringatan, sebuah monumen berupa novel tentang serangkaian nostalgia yang indah bagi para pelakunya.
Dari sudut pandang itu, latar waktu dan peristiwa yang dihadirkan dalam novel itu, kontekstual pada zamannya, dan terasa membentangkan jarak yang jauh jika kita mengaitkannya dengan situasi sekarang. Perhatikan saja hubungan “percintaan” Hermiati-Aji yang penuh kesantunan, malu-malu, dan normatif. Berpegangan tangan bagi Hermiati adalah peristiwa dahsyat dan terindah dalam percintaan “Platonisnya” dengan Aji. Sebaliknya, bagi Aji, keindahan itu terasa kurang pas, lantaran Hermiati belum jadi muhrimnya. Seperti pisang ranum yang memancarkan selera, ia hanya akan mengupas dan merasakan kenikmatannya, jika pisang itu telah menjadi miliknya yang sah. Tidak sekadar sah secara sosial, tetapi juga sah secara agama.
Keindahan peristiwa itu tetap bertahan lantaran keduanya terus-menerus menghidupkannya kembali dalam batin. Jika berpegangan tangan dan saling meremas jari itu saja sudah menjadi peristiwa luar biasa, maka kata “peluk” maknanya akan jauh lebih mendalam dari itu. Sebuah percintaan zaman itu yang menempatkan norma sebagai perisai; agama sebagai bagian tak terpisahkan dari aturan main kehidupan.
Dalam konteks sekarang, percintaan model itu mungkin saja dianggap kuno. Tetapi itulah potret zaman. Pengarang tak berpretensi mendesakan semangat zaman itu berlaku untuk percintaan sekarang. Ia sekadar sebuah potret nostalgia masa lalu. Mungkin tampak kusam, tetapi tak salah pula jika ditempatkan sebagai cermin. Maka, bangunan cerita dalam novel itu berkutat seputar tokoh Aji-Hermiati. Penghadiran tokoh Yono yang kemudian menjadi suami Hermiati, memungkinkan kedua tokoh itu (Aji-Hermiati) merangkaikan kisah perjalanan hidupnya sendiri-sendiri.
***
Jika karya sastra diyakini sebagai ekspresi dan sekaligus juga representasi ideologis pengarang, maka Sedimen Senja seperti mewartakan itu. Toleransi, sikap, pandangan hidup, dan harapan ideal atas kehidupan, terpancar di sana-sini menjiwai karakter tokoh-tokohnya. Hermiati, misalnya, di awal cerita digambarkan agak pendendam. Belakangan, ia tampil sebagai sosok guru yang penuh tanggung jawab, punya integritas atas profesinya dengan dedikasi yang tinggi dalam usahanya memajukan dunia pendidikan. Yono yang “merebut” Hermiati dari Aji, juga tetap digambarkan sebagai sosok guru yang baik dan bertanggung jawab. Utari, siswi yang nakal, pada akhirnya “dikebalikan” lagi ke jalan yang benar, meski ia tak sempat meminta maaf kepada Hermiati, guru yang pernah disakitinya. Bahkan, Pak Kromo, sang dukun, dicitrakan sebagai paranormal yang menjunjung keadilan.
Dalam konteks itu, potensi konflik dan kekayaan pengalaman pengarang yang sesungguhnya bisa menjadikan novel ini menjadi salah satu monumen penting dalam perjalanan novel Indonesia, tidak dieksploitasi secara paripurna semata-mata demi kepentingan mengusung tema. Latar belakang kehidupan keluarga Hermiati yang tak jelas agamanya, Yono yang konon aktif dalam kegiatan politik, Pak Kromo yang hidup dalam dunia klenik, semua dibiarkan begitu saja dan tidak dimanfaatkan untuk membangun konflik. Demikian juga tokoh Aji dengan latar belakang kehidupan pesantrennya. Ada kesan, pengarang tak hendak mengulangi kasus cerpen “Kubur” yang menghebohkan itu. Ia telah memilih masa lalu sebagai nostalgia yang indah. Dan sebagai guru, kenangan paling indah lainnya adalah ketika sejumlah mantan muridnya mengapresiasi pengabdian dan dedikasinya sebagai guru. Sekadar pengakuan bahwa ilmu yang telah ditanamkannya, berbuah segala kebaikan berupa prestasi, reputasi, karier, kekayaan, dan pangkat bagi para mantan muridnya itu. Sekadar legitimasi, bahwa dedikasi dan pengabdiannya tak sia-sia.
Sedimen Senja telah merepresentasikan ruh guru sejati. Ia tak berkhotbah, tetapi peristiwa di dalamnya mengajari kita tentang etika korps, percintaan yang santun, toleransi, dan dedikasi. Jika ingin lebih dari itu, jadilah pengarang agar ada tambahan reputasi dan kebanggaan pada diri sang murid (dan mantan murid).
Tahniah untuk guru sejati: Pak Suci! Saya bukan mantan muridnya, namun tak dapat menyembunyikan kebanggaan saya atas prestasinya sebagai pengarang piawai!
Msm/06/03/2006
*) Pengantar Diskusi dalam Peluncuran Novel Sedimen Senja karya SN Ratmana (Jakarta: Penerbit Kompas, 2006, 192 halaman), diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta di Galeri Cipta II Taman Ismail Marzuki,.6 Maret 2006, Pukul 15.00-18.00.
**) Pengajar Fkultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Depok. http://sastra-indonesia.com/2010/07/novel-dengan-semangat-guru-sejati/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar