***
Muhammad Antakusuma *
“Pengkacoako mako dikampunna todapa nek anak, pas-sumbayang-ko tama.”
Kalimat yang selalu aku genggam erat-erat, dalam mengarungi jalanan yang hendak kutuju.
Dua kalimat di atas berasal dari Abdul Kirno Tanda, terkirim lewat whatsapp saat saya meminta ia mengirim satu paragraf untuk mengawali tulisan ini. Kita semua tahu, itu bukanlah sebuah paragraf. Dan mungkin hanya tahu larik yang kedua.
Sebenarnya kita tak perlu tahu bahasa Mamuju di atas, untuk mengira-ngira pesan apa yang disampaikan bapaknya Kirno, yang ada di dalam tanda kutip. Sumbayang itu sangat dekat dengan sembahyang. Dari situ sudah bisa menebak Kirno, dengan nama depan yang seringkali digunakan seorang muslim—Abdul, diberi bekal nasehat oleh ayahnya tentang pentingnya sembahyang di mana pun berada. Jika bukan suatu yang penting—entah, karena itu sebuah nasehat dari orang tua, atau karena sembahyangnya itu sendiri, atau karena kedua-duanya—tak mungkin Kirno menggenggam itu dalam mengarungi lautan kehidupannya.
Setelah ini, izinkan saya mencampur imajinasi pribadi sedikit kehidupan Kirno: Meninggalkan kampung halamannya di Sulawesi, menuju pulau Jawa berbekal kalimat di atas, tentu saja tak menambah beban bagasinya. Kalimat itu, meski tak bisa ditukar karcis kapal atau pesawat, kala dibacakan oleh seorang bapak di kepala sang anak yang ingin bepergian jauh menuntut ilmu, maka masuk dalam pikiran, dan menjadi kekal.
Uang, sarung, dan pakaian, tentu Kirno bawa. Dua yang tidak adalah: Rumah dan Kelapa. Rumah tempat Kirno menghabiskan lelahnya bersama orang tua dan keluarga setelah seharian bersekolah, bermain bersama teman-temannya daripada tidur siang, atau sekedar membantu mengumpulkan kelapa yang berjatuhan disore hari sebelum azan Magrib memanggil. Dalam salat, masih bersama teman sebayanya, ia meneriakkan “aaaaaamiiiiiin” sekencang-kencangnya sambil sesekali memadukan gerakan salat dan silat. Setelah salam terakhir, mereka buru-buru bubar sebelum lirikan mata orang tua menghampiri mereka.
Di ruang tamu, sudah ada masakan Ibu yang terhampar di atas kain, lengkap kobokan untuk mencuci tangan. Kirno kecil lahap makan ikan dengan tangan. Kekenyangan, masuk kamar, lupa belajar. Saat azan Subuh, tangan ibunya membangunkan. Begitu seterusnya, sampai di kemudian hari, semua jadi kenangan saat berkehidupan di Yogyakarta.
Di kota ini, ia bermain dengan teman baru bernama kuas dan kanvas. Ini teman yang segala warna dan rupa bisa bercampur bebas di dalamnya. Kawan di mana kita melukis perasaan-perasaan di atasnya. Ini sahabat yang bukan kepadanya menuju saat membutuhkan nasehat.
Di rumah kontrakan yang tanahnya bahkan lebih tinggi daripada lantainya, ia simpan lukisan-lukisannya. Suatu malam berbilang ingin pameran tunggal. Baguslah. Setelah salat Isya, ia menunjukkan beberapa lukisan yang ingin dipamerkan. Ada beberapa yang terkait alam. Ia juga bercerita, perkebunan sawit telah sampai daerahnya. Masuknya hal baru bersenggolan dengan hal lama. Ekonomi berubah, orang-orang berubah, bahkan rumah juga kelapa.
Apa yang kemudian ingin Kirno tawarkan? Kepada Kirno kita serahkan. Meski karya seni tak menyelesaikan persoalan, apalagi jika berhenti sebagai pajangan. Namun, semoga sapuan Kirno mempunyai kedalaman, sehingga kelak jikalau mengirim gambar pamerannya kepada bapaknya, bapaknya akan berkata: “Di kampung orang, anakku sudah mengambil banyak manfaat dari sembahyang.”
“Kuuuuluk-kuluuuuuuk” (panggilan kepada hujan)
Yogyakarta, 8 Februari 2019
*) Penulis.
(Cerita To Tanete,150 x 120, 2019, Rp. 5.000.000,-)
(hou-hou ribulu, 80 x 90, 2019, Rp. 3.000.000,-)
(Burung Berkabar, 60 x 80, 2017, Rp. 3.000.000,-)
(Jurang, 120 x 145, 2019, Rp. 7.000.000,-)
(Paraqdang, 65 x 85, 2019, Rp. 2.000.000,-)
(Hujan, 150 x 120, 2018, Rp. 7.000.000,-)
(To Tanete 145 x 145, 2019, Rp. 7.000.000,-)
(Gunung di Tanah Kaili, 23 x 15, 2019, Rp. 1.000.000,-)
(Loppo, 20 x 15, 2019, 1.000.000,-)
Semua lukisan-lukisan di atas gratis ongkos kirim, dan 7 buku "Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia" pun untuk Lesbumi Yogyakarta:
(1 eksemplar buku: Rp. 100.000,- Gratis Ongkir Pulau Jawa).
No Kontak untuk Lukisan: 085 326 725 968
No Kontak untuk Buku: 081 331 778 191
http://sastra-indonesia.com/2020/04/tanete-garis-ruang-tanah-gunung/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar