Cuitan Seribu Purnama
Malam menggetar bulu roma. Romantika gugus bintang. Menyentuh zenit yang jalari nektar bunga-bunga. Nalar pemicu impian purba berkelindan dalam kelopak auorta dan derap langkah keinginan. Isyarah yang sarat taburan suara-suara semesta.
Kepak sayap ayat-ayat kauniyah terbang menjemput risalah qudroh. Melipat malam dalam cahaya yang disulam suhuf-suhuf sepi. Tarian sunyi pemanggil lonceng dan gemerincing irama yang berasas tunggal. Yang enggan tanggal dari cengkeram jemari waktu. Yang berpose laksana komet berekor biru. Pemburu rahasia di atas rahasia. Angin membasuh wajah, tangan dan kaki yang berpijak pada lauh. Adalah pena iradah yang menyala di lekuk dinding kalbu.
Pijar malam melepas jubah gelap. Penggiring matahari bagi matabatin yang nyalang bertualang di lidah pekat hari. benderang menghapus jejak hingar-bingar. seribu purnama mengantongi atmosfir pelindung dari guguran debu malapetaka. Penghanyut rentetan berita semu yang menggoreng kenyataan yang kembang biak di sudut-sudut kepala.
Cahaya melintas, menetes dan menetaskan tasbih. Bersamanya kuramu sejuta mimpi malam keramat yang dirindu penggurit malam yang setia melempar gelisah.
April 2020
Selepas Berbuka
Sembari bermain kepulan asap, menatap langit senja, usai magrib mendedar impian. Nian sunyi saja, meski pasar sore ramai berhitung laba.
Langit menoreh mendung. Mendung pemanggil hujan dari bibir bulan separuh. Doa-doa berlarian menuju arah tak tentu. Meruncing gerutu pada daun dan rumputan.
Tubuhya tegun di pangkuan waktu.
April 2020
Misteri Angka-Angka
Deretan angka-angka memanjang. Yang susut menjelma tali kolor. Molor sampai ujung gang. Tikungannya melebar, penuh debar. Angka-angka menjulur, jalari sekujur tubuh jelatah. Yang dimanja barisan hutang.
Angka-angka berderit. Penuh kicau dalam sarung juga warung. Tumpukan kepicikan dari lidah birokrat sarat rencana. Pesta daging dan bahan pokok. wabah adalah momentum pencurian masal. Dentuman yang gelegar di kursi pulas. Perekam culas raung srigala berdasi.
Angka-angka bermain sendiri. Bershaf-shaf mereguk minuman anyir kenyataan. Penjual data dan tanah, berpesta kembang api di musim hujan tangis. Rengek yang gelora memohon asupan nutrisi dalam jamuan sahwat kuasa.
April 2020
___________________
Rakai Lukman ialah nama pena Lukmanul Hakim, kelahiran Gresik 1983. Ikut berkecimpung di dunia kesenian semenjak SMA, berlanjut di Yogyakarta, lantas pulang ke kampung halaman. Di tanah kelahiran, masih ikut nimbrung di perhelatan alam estetika. Sempat nongkrong di Sanggar Jepit, Teater Eska, Roemah Poetika, Teater Havara, KOTASEGER (Komunitas Teater Sekolah Gresik), Gresik Teater, DKG (Dewan Kesenian Gresik), Lesbumi PCNU Gresik, dan Sanggar Pasir. Menjadi Guru SB di SMK Ihyaul Ulum, dan Guru BI di SMK al-Ihlas. Antalogi tunggal “Banjir Bantaran Bengawan.” Antalogi bersama, Kitab Puisi I Sanggar Jepit (2007), Burung Gagak dan Kupu-kupu (2012), dan Seratus Penyair Nusantara, Festival Puisi Bangkalan II, 2017. Juga terlibat riset dalam program pendampingan teater DKJT 2018, dan pengkajian sejarah lokal Desa Canga’an, Ujung Pangkah, Gresik 2019. Kini sedang mempersiapkan antalogi kedua, “Curhatan Bengawan” 2020.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar