Karya jurnalistik investigasinya pernah memenangkan
Tolerance Prize dari International Federation of Journalist (IFJ) bekerja sama
European Council, Manila 2004. Jadi Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen
(AJI) 2008-2011, dan terpilih sebagai Anggota Dewan Pers, dua periode
(2013-2019). Alumni Fakultas Filsafat UGM (lulus 1997), mendapat gelar M.Sc
dari The London School of Economics (LSE), Inggris, untuk Studi Politik dan
Sejarah Internasional, tahun 2008.
Selain organisasi jurnalis, kerap terlibat di berbagai
riset politik. Akrab tema politik sejak masa mahasiswa, terutama aktif dalam
gerakan mahasiswa pro demokrasi awal 1990-an hingga Reformasi 1998. Di masa itu
sebagai Sekretaris Jenderal Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi
(SMID), sebuah organisasi mahasiswa yang masuk daftar hitam rezim Orde Baru. Di
dunia riset, kini tercatat selaku Dewan Redaksi di Jurnal Prisma, diterbitkan
LP3ES. Pernah menjadi periset paruh waktu di International Crisis Group (ICG)
Asia Tenggara (2004-2012).
Bersama Tia Setiadi, tahun 2017 mendirikan Circa di
Yogyakarta; penerbit indie yang aktif menerbitkan buku fiksi dan non-fiksi
bertema seputar jurnalisme, sastra, dan filsafat. Buku terbarunya sendiri ada
dua; yang non-fiksi bertajuk “Keputusan Sulit Adnan Ganto” (Circa, 2017,
ditulis bersama almarhum Rusdi Mathari), sebuah biografi seorang bankir yang
jadi penasehat ekonomi bagi tujuh menteri pertahanan RI. Buku kedua, sehimpun
puisinya yang dimuat Harian Kompas dan Koran Tempo, diterbitkan Diva Press,
berjudul “Di Kedai Teh Ah Mei” (2018).
***
Nurel Javissyarqi: “Sebagai pemantik awalan saya bertanya
Mas Nezar Patria, 1. Sejauh perjalanan yang sampean tempuh, apakah sebelumnya
sudah pernah ‘nyemplung’ di dunia sastra, barangkali saat SMA atau jauh sebelum
itu? 2. Menurut sampean, apakah kata-kata yang telah tergurat, sangat
mempengaruhi kehidupan sang penulisnya? 3. Adakah hubungan rasa senyawa di
antara kata dengan darah-daging perjuangan? Jikalau ada, seperti apakah
pergumulannya, dan bagaimana menentukan waktu yang tepat, agar kata-kata tidak
buyar dari ruhaniah maknanya, meski melewati rentang waktu peristiwa, dst...”
***
(I)
Nezar Patria: “Saya mengenal sastra saat duduk di bangku
SMP. Bagian sekolah yang menarik perhatian saya ialah perpustakaan. Saya bisa
menghabiskan jam waktu istirahat saya di ruang baca, menikmati berbagai macam
bacaan, dan terutama yang mengasyikan adalah membaca buku-buku terbitan Balai
Pustaka dan Pustaka Jaya. Saya membaca cerita klasik sastra Indonesia, dari
Salah Asuhan, sampai karya A.A. Navis. Saya juga membaca sejumlah karya sastra
terjemahan dari pengarang seperti Victor Hugo, Alexander Dumas, Dickens, dan
Karl May.”
“Selain itu, di masa SMP, saya menggemari cerita di
Majalah Kawanku dan Hai. Saya punya kebiasaan nongkrong di kedai loper koran di
dekat sekolah, di pinggir pasar Peunayong, Banda Aceh. Si pemilik kedai seorang
mahasiswa, dan ayah saya waktu itu berlangganan harian Kompas kepadanya. Karena
harian terbitan Jakarta itu tiba siang hari di kota saya, maka sambil menunggu
koran tiba, saya punya kesempatan membaca koleksi majalah dan komik di kedai
itu.”
“Pemiliknya tak keberatan, dia malah senang, karena
kadang saya membantunya menjaga kedai itu, kalau dia ada urusan lain, dan harus
meninggalkan kedai selama dua sampai tiga jam. Pada saat itulah, saya masuk ke
dunia cerita, entah membaca cerpen di majalah, koran mingguan, atau komik. Saya
menikmati komik Indonesia, dari Hasjmi (Gundala), Wid NS, sampai dengan komik
silat seperti serial Panji Tengkorak. Di rumah, saya juga punya koleksi lengkap
komik Mahabrata, Bratayudha, dan Parikesit karya R.A. Kosasih.”
“Tetapi yang cukup mengesankan, buku-buku cerita di
perpustakaan itu. Di sana saya mengenal lebih banyak puisi Charil Anwar, W.S. Rendra,
Wing Kardjo, Sapardi Djoko Damono, Goenawan Mohamad, dan Linus Suryadi AG (terutama
berkat Linus yang menjadi editor seri antologi puisi Indonesia modern, Tonggak,
saya mengenal lebih banyak puisi karya penyair berbagai daerah). Pendeknya,
saya berburu aneka buku terbitan Pustaka Jaya, Balai Pustaka, dan penerbit
lainnya, baik puisi maupun prosa.”
“Dunia bacaan saya kemudian meluas sewaktu SMA. Saya
mulai menggemari seri Sherlock Holmes dari Sir Conan Doyle, lalu membaca roman
karya Mochtar Lubis, terutama Jalan Tak Ada Ujung serta Harimau-Harimau. Saya
juga membaca Nikolai Gogol “Jiwa-Jiwa Mati”, lalu Dostoevsky “Kejahatan dan
Hukuman”, Arthur Koestler “Darknest at Noon”, Orwell “Animal Farm”, Herman
Hesse ”Siddharta”, Yukio Mishima “Kuil Kencana”, dan lain-lain. Kemudian,
secara tak sengaja saya menemukan novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta
Toer (PAT) di rak buku paman saya. Buku itu kelihatan disimpannya hati-hati,
dan dia mengatakan kepada saya, buku itu terlarang, jadi tak boleh sembarangan.
Saya membacanya dengan antusias, masuk ke dalam imajinasi masa kolonial, dan
frustasi mencari sekuel selanjutnya. Kelak ketika berkuliah di Yogyakarta, saya
baru mendapatkan Tetralogi PAT secara lengkap. Di masa mahasiswa, saya
beruntung bisa mambaca lebih banyak lagi, karena akses yang lebih luas, juga
pergaulan antar kawan mahasiswa yang punya minat sastra, politik, sejarah, dan
filsafat.”
“Saya mulai menulis puisi sejak SMA, tapi tak pernah
mengirimkannya ke media manapun. Saya merasa puisi lebih cocok, lebih ekspresif
dan bisa membahasakan apa yang berdentang di jagad batin. Sewaktu mahasiswa,
saya masih menulis beberapa puisi, dan hanya dimuat di antologi terbitan
perkumpulan mahasiswa. Setelah bekerja sebagai wartawan, saya kian sering menulis
features, dan itu artinya lebih banyak bergulat dengan penulisan non-fiksi,
tapi punya kedekatan dengan prosa. Baru setelah beberapa waktu belakangan,
kembali lagi menulis puisi.”
(II)
Nezar Patria: “Ini maksudnya kata-kata yang ditumpahkan
ke dalam karya seperti prosa dan puisi ya? Mungkin, setiap individu punya
pengalaman berbeda. Saya hanya bisa menulis puisi, jika menemukan ‘momen
puitik’. Momen itu bisa terjadi dengan tiba-tiba, misalnya lagi melihat selembar
kartu pos, lalu teringat seseorang dan pengalaman bersamanya. Atau sedang sendirian
di bus kota, atau berhenti di sebuah halte yang kosong, dan melihat sebuah
botol kosong di bangku halte. Semua itu pemantik-pemantik di dunia obyektif,
yang kemudian mempengaruhi dunia subyektif saya dengan beragam pengalaman yang
mengendap di alam bawah sadar.”
“Rangsangan dari dunia obyektif itu memancing bawah sadar
bekerja, lalu semua isi bagasi pengalaman keluar dalam bentuk kata-kata, yang
membentuk imaji, bunyi, dan makna yang diwakilinya. Kata-kata bisa keluar
begitu saja tanpa bisa ditahan, dan kemudian baru saya menyusunnya, agar
memenuhi kaidah puisi. Kadang kala saya terkejut dengan hasilnya, kata-kata
bisa bergerak dengan ajaib, menajamkan apa yang saya rasakan, atau bahkan
melompat keluar memberikan horizon baru, dan juga makna baru. Misalnya ketika
saya melihat sepotong gambar tentang seorang tawanan yang akan dieksekusi di
Suriah. Saya terenyuh, mungkin karena saya pernah punya pengalaman yang sama.
Sepotong gambar itu menggugah saya dengan ‘momen puitik’, dan lantas saya menuliskannya
jadi puisi. Demikian sejumlah puisi lahir dengan berbagai macam perjumpaan
antara realitas obyektif dan dunia obyektif saya. Dari sini, saya kira puisi
lahir dengan sedikit banyaknya dipengaruhi oleh latar belakang subyektif si
penyair; penghayatannya atas peristiwa, luka dialaminya, kebahagiaan yang
dipetiknya, dan juga kemarahan.”
Nurel Javissyarqi: “Maaf Mas Nezar Patria, kalau
pertanyaan kedua di atas, atau kata-kata saya tersebut sulit ditangkap
maksudnya. Bahasa lainnya begini: Apakah karya yang sudah tercipta, misalkan
puisi yang telah jadi, kelak, atau nantinya, bisa menentukan arah takdir sang
penulisnya, dapat ‘menujum’ masa depan pengarangnya, atau menjelma sorot cahaya
terang atas keyakinan-keyakinan lebih besar, dari masa awal ciptaan itu
sebelumnya, (mungkin pertanyaan ini tidak logis, tapi dapatlah dinamai istilah
lain), yakni, apakah karya yang telah terjadi itu, bisa mempengaruhi jawaban
maupun menentukan pilihan atas persoalan si penyair di masa depannya, contoh
kitab-kitab suci mempengaruhi umat yang mempercayai atau meyakininya, tentu
dengan kadar lebih rendah bobotnya, dibandingkan kitab suci.... (jadi,
pertanyaan saya bukanlah kata ‘dipengaruhi,’ tapi dengan kata ‘mempengaruhi’). Namun
begitu, jawaban sampean tetap menjadi masukan berharga bagi saya, matur suwon
sanget...”
Nezar Patria: “Saya tidak tahu, apakah puisi bisa
sedahsyat itu meramal masa depan penyairnya, mungkin satu dua puisi yang
diciptakan seorang penyair pada masa lalu, tiba-tiba dirasakan cocok dengan
situasinya sekarang. Tapi saya kira itu kebetulan saja. Puisi mungkin punya
efek magis dan mistis, tapi tentu ia bukan berfungsi seperti kitab suci yang
dipercayai untuk memandu jalannya kehidupan. Banyak kebetulan yang ditemukan
sebagai sebuah post-factum, bukan sebuah ramalan. Puisi merekam apa yang
terjadi di jagad batin penyair dalam mencerap dunianya, dan karena sublimasi
atas realitas, maka puisi terasa awet melintasi ruang dan waktu. Kita baca
puisi Chairil di tahun 1940-an, dan mungkin masih bisa merasakan semangat yang
sama di zaman sekarang.”
Nurel Javissyarqi: “Terima kasih atas jawabannya Mas
Nezar Patria, mungkin nanti bisa dilanjut dengan yang lain, suwon...”
Nezar Patria: “Sami-sami.”
(III)
Nezar Patria: “Saya rasa ini juga berbeda di antara para
penyair atau penulis, tergantung seberapa jauh dia terlibat, dan berjarak
dengan peristiwa atau pengalaman. Ada penyair yang punya simpati kuat atas
perjuangan rakyat, entah di negeri sendiri atau di belahan dunia lain. Dia
tergerak oleh rasa empati, dan merasa menjadi bagian dari perjuangan itu. Puisi
yang lahir bisa jadi sangat kuat, tapi kita masih bisa merasakan jarak penyair
dengan dunia yang ditulisnya. Namun ada juga penyair yang terlibat dalam
dinamika pergerakan itu, menjadi bagian organik, dan karya-karyanya tampak
orisinil menjadi bagian dari apa yang ditulisnya. Kita bisa membaca dunia orang
pinggiran, dan cita-citanya untuk kehidupan lebih baik, dari puisi Wiji Thukul
misalnya. Kita bisa merasakan bagaimana hasrat cinta Pablo Neruda bertemu
dengan pengalaman pribadi perjuangannya, dan juga metafora yang kuat dari
solidaritasnya untuk kebebasan orang-orang teraniaya. Pengalaman itu saya kira,
bahan baku yang tak habis-habisnya, dia masuk ke bawah sadar si penyair, dia
bisa bangkit kapan saja ‘momen puitik’ datang memanggilnya.”
***
(IV)
Cak Bono: “Mas Nezar Patria, berkenaan dengan wabah
covid-19 ini. Sepertinya, pasca pandemi ini, produksi, konsumsi, dan distribusi
dari teks, baik sastra maupun jurnalistik, akan menemukan new normalnya masing-masing.
Jika demikian, kira-kira seperti apa roadmapnya? Seberapa cepat, dan sejauh
mana pergeserannya? Apakah akan terjadi disrupsi?”
Nezar Patria: “Dunia belajar banyak dari pandemi ini,
setidaknya mengakui, bahwa pencapaian peradaban manusia saat ini, ternyata
masih rentan dengan serangan wabah. Betapapun, pencapaian teknologi Abad 21,
masih mungkin membuat manusia berinteraksi via platform digital, dan terhubung
lewat internet. Hal ini mungkin tak dialami oleh generasi awal Abad 20, saat
Spanish Flu merebak pada 1918, dan merenggut nyawa lebih 50 juta jiwa. Bakal
ada kesadaran baru post-covid-19, bahwa kita harus menerima koeksistensi hidup
bersama ancaman wabah, dan karenanya kerja sama antar bangsa menjadi semakin
penting. Kita lihat sebelum wabah menerjang, dunia sedang melakukan tata ulang
dengan munculnya nasionalisme sempit di sejumlah negara di Eropa, dan
konservatisme di AS. Perang Dagang China-AS, salah satu manifestasinya. Setelah
covid-19, mungkin kita akan bertemu dengan new normal, bahwa kerentanan
peradaban manusia di tengah wabah harus diatasi dengan kerja sama antar bangsa.
Bahwa dunia informasi digital berjasa tetap menjaga interaksi manusia meskipun
dalam isolasi, yakni kesehatan menjadi agenda prioritas agar bisa selamat, hubungan
eksploitatif manusia atas alam harus ditinjau ulang, yaitu kerawanan pangan
bisa mengancam, dan sama beratnya dengan ancaman virus. Tentu saja sastra juga
jurnalisme akan berubah, pusat-pusat informasi lebih menyebar, dan
komunitas-komunitas mengambil peran masing-masing dalam jejaring global.
Meskipun begitu, platform digital semisal FB dan Google, tetap bermain sebagai
pelaku utama, dan mendefiniskan mana yang penting atau tidaknya di dalam soal
distribusi informasi melalui rezim algoritma. Dalam hal ini, media-media harus
mencari ekosistem tersendiri, yang lebih independen dari platform raksasa. Kita
belum tahu apa yang terjadi di depan, tetapi jelas pengalaman paruh pertama tahun
2020 ini, akan berpengaruh pada perkembangan dunia ke depan.”
Cak Bono: “Komprehensip, dan tidak muluk-muluk. Yang
menarik, tentang mewaspadai juga mengantisipasi Dominasi Rezim Algoritma,
pemain Big data yang sudah mapan. Ini akan menjadi hal yang patut dicermati,
terutama berkaitan dengan otoritas regional gaya lama, yang mungkin masih
cenderung bermain pada wilayah statusquo, tetapi, diluar dunia maya. Kebutuhan
untuk hidup, senyatanya sandang, pangan, dan papan adalah tantangan paling
berat. Kira-kira sejauh mana kontribusi dunia digital jejaring global dalam hal
memproduksi ketahanan sandang, pangan, papan dalam situasi new normal ini.
Sementara untuk distribusi, sepertinya akan sangat membantu, terutama dengan
mudahnya koneksi antara supplier dan konsumen. Selanjutnya, sejauh mana pola
konsumsi masyarakat terhadap produksi ‘teks,’ baik jurnalistik maupun sastra?
Menanggapi bahwa komunitas dibawah rejim algoritma, yang meskipun bebas akan
terbatasi atau dibatasi juga oleh (mungkin) diskursus setingan pemilik modal.
Terima kasih atas pencerahannya yang bernas dan lugas.”
Nezar Patria: “Sama-sama Mas.”
(V)
Wawan Eko Yulianto: “Bang Nezar Patria, kalau ada titik
dalam hidup yang membuat abang bisa menulis dengan lancar dan nyaman, serta
tidak ada takut sama sekali, ketika dibutuhkan untuk menulis, kapan itu?
Makasih.”
Nezar Patria: “Kalau sedang mendapat letikan ide, dan
mungkin juga disebabkan oleh sesuatu yang emosional. Kadang kita menulisnya
dengan jemari tangan gemetar, menahan luapan perasaan.”
(VI)
Andrenaline Katarsis: “Satu buku karya Mas Nezar Patria yang
saya suntuki waktu zaman kuliah dulu, tentang ‘Hegemoni Antonio Gramsci’
penerbit Pustaka Pelajar kalau ndak salah. Sungkem untuk buku itu, Mas...”
Nurel Javissyarqi: “Matur suwon sanget Mas Andrenaline
Katarsis sudah mampir...”
Nezar Patria: “Andrenaline Katarsis, Terima kasih Mas,
sudah mau membaca buku itu.”
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar