Selasa, 30 Juni 2020

Membedah Anatomi Cerpen Indonesia: *

Antara Kompleksitas Estetika dan Wilayah Sosialisasi
Satmoko Budi Santoso

CERITA pendek (cerpen) Indonesia bersama eksistensi kritikusnya ternyata bisa    menggelembung sebagai wacana yang bernilai gunjingan di warung-warung kopi atau melalui SMS. Namun, pastilah bisa juga diperdebatkan, sebagai konsekuensi penelaahan, setidaknya terepresentasi dalam tajuk Kongres Cerpen Indonesia III,  11-13 Juli 2003 yang silam,  di Taman Budaya Lampung. Atas jasa Dewan Kesenian Lampung yang memfasilitasi dan mengakomodir pertemuan tersebut, kegelisahan acuan dan format estetik cerpen Indonesia terjembatani, baiklah, bisa dimulai dengan argumentasi Nirwan Dewanto (ND) sebagai Ketua Redaksi Jurnal Kebudayaan Kalam yang mengusung idealisasi estetik bangunan sebuah cerpen.

Bagi ND, cerpen yang standar adalah cerpen yang mempertahankan fiksionalitasnya sehingga "aku-pengarang" tertuntut berkompromi dengan bahasa yang selayaknya ditundukkannya. Dalam bahasa ND, ?Cerpen adalah bangunan cerita yang menyusut ke titik tak terhingga, dalam penciptaan mikrokosmos. Konsekuensinya, "aku-pengarang" harus berunding dengan narator dalam cerita, sekaligus untuk memilin realitas pada unitnya yang paling sublim. Karenanya pula, narator dalam cerita jangan sampai dijajah pengarang: kapan pengarang akan mati, menundukkan diri pada khazanah para tokoh sekaligus bahasa?

Idealisasi estetik ND, dalam khasanah cerpen terkini, dapat dibaca pada teks-teks cerpen karya Gus tf Sakai, Linda Christanty, Raudal Tanjung Banua, Puthut EA maupun Triyanto Triwikromo. Idealisasi semacam ini, tentu saja, menjadi bernilai kontroversial, karena keluar dari mainstream keingar-bingaran idealisasi estetik lain yang berseberangan dengannya: idealisasi cerpen yang mengembangkan ideologisasi "hal yang tabu", namun terasionalisasikan juga lewat media massa. Wilayah perbincangan yang akhirnya melebar pada sesi peran media massa dan penerbit dalam menyosialisasikan karya sastra dan bagaimananakah potret basis pembaca kesusastraan Indonesia yang sesungguhnya.

Jelas, media massa mesti kompromi dengan aspek moralitas yang diusungnya, sehingga Edy A. Effendi, waktu itu selaku redaktur sastra harian Media Indonesia, begitu hati-hati ketika mempertimbangkan dan akhirnya menolak cerpen Menyusu Ayah karya Djenar Maesa Ayu. Meskipun akhirnya cerpen tersebut juga bisa lolos dalam pertimbangan redaksional Jurnal Perempuan yang sekaligus menempatkannya sebagai Cerpen Terbaik Jurnal Perempuan 2003 dan dibacakan pada malam penutupan kongres.

Nah, ketegangan rasionalisasi estetik semacam inilah yang sebetulnya sangat perlu dipertimbangkan, apalagi kenyataannya, cerpen Indonesia tak memiliki basis pembaca yang -- katakanlah -- "permanen, tetap". Boleh jadi, kita tak perlu begitu berharap, apakah pluralitas publik yang belum selesai menafsirkan dan memetakan idealisasi estetik cerpen Indonesia pada akhirnya juga harus memahami dan  menerima kecarut-marutan pencapaian estetik cerpen Indonesia? Atau, perdebatan dan penelaahan estetik cerpen Indonesia memang lebih baik hanya berlangsung pada selingkaran kaum cerpenis saja, tak mungkinlah terasionalisasi pada publik yang luas?
***

JIKA problem utama cerpen Indonesia justru karena basis pembaca, karena para penulis sudah dianggap mengerti kaidah estetika, meskipun tidak harus khatam gramatika seperti yang muncul pada idealisasi ND, maka basis pembaca yang diangankan sesungguhnya tak harus dengan semangat ideal. Justru massa atau publik yang beragam, yang "anonim" itulah yang diidealkan akan memburu capaian estetik cerpen Indonesia dengan pertimbangan kepentingannya sendiri-sendiri. Risikonya, jelas, idealisasi tak bisa didesakkan dengan serta-merta, karena publik pun membawa beban idealisasinya sendiri.

Pengandaian di atas, dalam realisasinya, justru merujuk pada konsep estetik Taufik Ikram Jamil, yang menulis dengan cara ungkap "bahasa ibu", bahasa kemelayuan, untuk mendekatkan cerpen pada problem keseharian. Dengan kata lain, cerpen tak mendapat beban ideologis berupa idealisasi konsep estetik macam-macam, kecuali kembali pada maksud, pada pretensinya melakukan familiarisasi cerita. Karenanya, jika cerpen terperangkap dalam usungan idealisasi estetik, bisa jadi yang muncul malah estetika penyeragaman, seperti yang dalam amatan para peserta kongres dikembangkan dengan mulia oleh rubrik sastra Koran Tempo.

Saya, Afrizal Malna, Iswadi Pratama, Agus Noor, Edy A. Effendi, Binhad Nurrohmat dan Raudal Tanjung Banua, termasuk orang yang bersepakat bahwa estetisasi yang dipelihara dan dijaga maha ketat oleh rubrik sastra Koran Tempo sangatlah mencemaskan, karena memuat anasir keseragaman. Pola-pola lirisisme bahasa yang dibangun, pencapaian-pencapaian frasa yang ambigu dan metaforis menempatkan cerpen yang satu menjadi "sulit dibedakan" dengan cerpen yang lain sehingga kalau ditutup nama pengarangnya, maka menjadi sulit pula dibedakan sebenarnya karya yang dimuat tersebut adalah karya siapa.

Dalam sebuah obrolan berkelakar di warung kopi seusai kongres, misalnya, kepada Afrizal Malna saya sempat berujar, "Memang, yang justru variatif dan menerima risiko keberjamakan sebagaimana diamanatkan posmodernisme adalah rubrik cerpen harian Kompas dan harian Media Indonesia, karena jika mereka memuat cerpen, sekalipun ditutup namanya, minimal publik sastra masih mengenali siapa penulisnya. Saya kira, di situlah capaian identitas dan otentisitas estetik, bukan risiko ketunggalan sebagai konsekuensi rasionalisasi ruang eksperimen laboratorium bahasa yang dibebankan pada rubrik sastra. Nah, celakanya, bagaimana dengan cerpenis A. Mustofa Bisri, misalnya, yang sudah cukup mempunyai identitas estetik" Apakah lazim jika ia meluruhkan konsep estetik yang dibangunnya sesuai dengan idealisasi yang dikembangkan rubrik cerpen Koran Tempo? Apakah publik yang beragam juga akan mafhum jika media massa justru memperpanjang asumsi intertekstualitas atau kemirip-miripan teks yang satu dengan yang lain??

Ketegangan perdebatan semacam itulah yang juga mengemuka, membuat Triyanto Triwikromo bersetuju bahwa yang perlu kita tolak adalah upaya penyeragaman. Dengan sendirinya, penolakan seperti yang dimaksud Triyanto lebih pada penafsiran penghancuran mainstream kesusastraan, karena jika terlalu mendesakkan idealisasi sungguh akan berakibat fatal. Bahwa kritikus akan menemukan cerpen yang berada dalam frame idealisasinya, tentu itu adalah soal lain, dan memang itulah yang sebaiknya terasionalisasikan. Kritikus membaca dan bertemu dengan capaian estetik tertentu, lantas menelaahnya. Bukan malah menciptakan koridor standarisasi yang justru berbahaya terhadap pengembangan estetika cerpen Indonesia seluas-luasnya.

Konsekuensi pembedahan anatomi cerpen Indonesia, seperti yang terepresentasikan dalam tema besar kongres ini, mengerucut pada ranah subtilitas dan sublimitas keberhasilan media massa dalam ikut serta mengembangkan estetika, sekaligus menantang capaian estetik cerpen yang belakangan ini lebih pada rasionalisasi ?estetika hal yang tabu?. Dalam hal ini, dengan sangat konseptual Djenar Maesa Ayu bersikukuh dengan pendiriannya bahwa "estetika hal yang tabulah" yang ia anggap akan berhasil memotret jiwa zaman (zeit geist). Tak perlu ada sekat ketabuan, juga moralitas yang harus disangga dan dipertahankan ketika urusan ketabuan mengedepan sebagai tawaran estetika.

Terlepas dari beragam nyinyiran, karena beberapa orang menganggap pola estetika semacam itu hanya bernilai sensasi, namun pijakan konsep estetik Djenar cukuplah tegas, dan telah menyumbangkan upaya dekonstruksi paradigma, untuk meruntuhkan konstruksi paradigma pakemistik: mencipta cerpen hanya dengan memperhitungkan wilayah penafsiran pembaca awam, yang diasumsikan menjunjung kaidah moralitas sehingga harus hati-hati jika mau menyentuh wilayah privat mereka. Padahal, kini, wilayah privat semacam itu secara revolusioner telah terkikis dan tinggallah cerpenis merayakan tabularasa wilayah privat mereka. Boleh jadi, akan tetap menemui kesulitan, karena tawaran kompromis media massa tak terelakkan mengemban etika-etika jurnalisme. Namun, sebagai ideologi, menjadi mafhum jika Djenar berusaha memperjuangkannya, dengan diplomasi, misalnya saja, "Pada era keterkungkungan perempuan lahirlah roman Siti Nurbaya. Kini, ketika perempuan bebas merayakan wilayah ketabuannya, lahirlah karya-karya yang sekiranya berada di dalam estetika tersebut."

Ambang batas eksistensi cerpen Indonesia ada pada tataran yang sangatlah menegangkan: ideologi atau konsep estetik yang mesti berdamai dengan wilayah sosialisasinya sendiri, yakni media massa, pun kritikus sastra yang berkeras kepala memagarinya dengan "penetapan" standarisasi estetika.
***

*) Pernah dimuat di solopos
http://sastra-indonesia.com/2009/09/membedah-anatomi-cerpen-indonesia-antara-kompleksitas-estetika-dan-wilayah-sosialisasi/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

20 Tahun Kebangkitan Sastra-Teater Lamongan A Jalal A. Anzieb A. Khoirul Anam A. Mustofa Bisri A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja Abdoel Moeis Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdullah Abubakar Batarfie Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Achdiat K. Mihardja Achiar M Permana Adek Alwi Adhi Pandoyo Adib Baroya Aditya Ardi N Adri Sandra Adu Pesona Sang Wakil Cawapres RI Afrizal Malna Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Buchori Agus Dermawan T. Agus Mulyadi Agus Prasmono Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahmad Farid Yahya Ahmad Hasan MS Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Saifullah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alawi Al-Bantani Alfatihatus Sholihatunnisa Alfian Dippahatang Ali Audah Alim Bakhtiar Amie Williams Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amril Taufik Gobel An. Ismanto Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 AndongBuku #3 Andrea Hirata Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Antologi Sastra Lamongan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Arafat Nur Ardi Wina Saputra Ardy Suryantoko Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arman A.Z. Arsyad Indradi Asarpin Ashimuddin Musa Asrul Sani Astuti Ananta Toer Atafras Audifax Awalludin GD Mualif Ayu Nuzul Azizah Hefni B Kunto Wibisono Bahrul Amsal Bambang Kempling Beni Setia Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bloomberg Bre Redana Budaya Budi Darma Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Candra Adikara Irawan Candrakirana Cangaan Ujungpangkah Gresik Jawa Timur Capres Cawapres 2019 Catatan Ceramah Cerpen Chairil Anwar Chicilia Risca CNN Indonesia Coronavirus COVID-19 D. Zawawi Imron Damiri Mahmud Darju Prasetya Darman Moenir Deddy Arsya Denny JA Denny Mizhar Devy Kurnia Alamsyah Dhoni Zustiyantoro Dian Sukarno Didin Tulus Dien Makmur Din Saja Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Donny Anggoro Donny Darmawan Dr. Hilma Rosyida Ahmad Dwi Cipta Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dyah Ayu Fitriana Ecep Heryadi Edy Suprayitno Eka Budianta Eka Kurniawan Elok Dyah Messwati Engkos Kosnadi Erdogan Erwin Setia Esai Esti Nuryani Kasam Evan Ys F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Fahrur Rozi Faidil Akbar Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathul Qorib Fatkhul Anas Feby Indirani Felix K. Nesi Festival Teater Religi Festival Teater Religi Pelajar SLTA Se-kabupaten Lamongan Fira Basuki Forum Santri Nasional (FSN) Frischa Aswarini Fuad Mardhatillah UY Tiba Fuad Nawawi Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gde Artawan Geger Riyanto Geguritan Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Guenter Grass Gus Ahmad Syauqi Gus tf Gusti Eka Habib Bahar bin Smith Haiku Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Han Gagas Hary B Koriun Hasan Basri Hasnan Bachtiar Heri Ruslan Herman Hesse Hertha Mueller Heru Kurniawan Hestri Hurustyanti Holy Adib Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu I Made Prabaswara I Made Sujaya IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah) Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Iksaka Banu Imam Jazuli Imam Nawawi Imammuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Mahadi Indra Tjahyadi Irfan Afifi Irine Rakhmawati Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS J.S. Badudu Jadid Al Farisy Jajang R Kawentar Jawa Timur Jean Marie Gustave le Clezio JJ. Kusni Jl Raya Simo Sungelebak Jo Batara Surya John H. McGlynn Jordaidan Rizsyah Jual Buku Paket Hemat Juara 3 Lomba Lompat Jauh DISPORA LAMONGAN Jurnalisme Sastrawi K.H. Ma'ruf Amin Kadek Suartaya Kaheesa Kirania Putri Ayu Kahfie Nazaruddin Kalis Mardiasih Kamaluddin Ramdhan Kanti W. Janis Karanggeneng Kardono Setyorakhmadi Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Pantura (KBP) KetemuBuku Jombang KH. M. Najib Muhammad KH. Muhammad Amin (1910-1949) Khairul Mufid Jr Khawas Auskarni Khoirul Abidin Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kitab Arbain Nawawi Kodrat Setiawan Kompas TV Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra dan Teater Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) Kopuisi Kostela Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kurnia Effendi Kuswaidi Syafi’ie L Ridwan Muljosudarmo L.K. Ara Lamongan Lan Fang Lawi Ibung Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Literasi Liza Wahyuninto Lukas Luwarso Lukisan Lukman Lukman Santoso Az Lutfi Mardiansyah M Farid W Makkulau M. Faizi M.D. Atmaja Madrasah Aliyah Matholi'ul Anwar Madrasah Ibtida’iyah Thoriqotul Hidayah 1 Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S Mahayana Manado Manneke Budiman Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mario F. Lawi Marsel Robot Martin Aleida Marwanto Mashuri Massayu Masuki M. Astro Masyhudi Media Seputar Pendidikan Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Purnama di Kampung Halaman Mereka yang Menjerat Gus Dur MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mien Uno Moh. Dzunnurrain Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Rafi Azzamy Mohammad Rokib Mohammad Yamin Muafiqul Khalid MD Much. Khoiri Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alfatih Suryadilaga Muhammad Antakusuma Muhammad Fikry Mauludy Muhammad Hafil Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad N. Hassan Muhammad Subarkah Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Muhyiddin Mukadi Mukani Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Musa Ismail Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang E S Nara Ahirullah Naskah Teater Nezar Patria Noor H. Dee Nunus Supardi Nur Haryanto Nur Wachid Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Okky Madasari Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Pameran Lukisan Parimono V / 40 Plandi Jombang PC. Lesbumi NU Babat PDS HB Jassin Pelukis Dahlan Kong Pelukis Tarmuzie Penculikan Aktivis 1988 Pendidikan Pengajian Pengarang kelahiran Lamongan Pentigraf Pepaosan Perbincangan Peringatan Hari Pahlawan 10 November Pilang Tejoasri Laren Lamongan Jawa Timur Pipiet Senja Politik Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Jokowi Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi (PMK) Puji Santosa Pustaka LaBRAK PUstaka puJAngga R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Reuni dan Halal Bihalal Mts Putra-Putri Simo 1992 Ribut Wijoto Riki Antoni Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Robin Al Kautsar Rodli TL Roland Barthes Rosi Rosihan Anwar RR Miranda Rumah Budaya Pantura (RBP) S. Jai S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabrank Suparno Safitri Ningrum Sainul Hermawan Sajak Salman Aristo Sandiaga Uno Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Sastra Tasikmalaya (SST) Sarasehan dan Launching Buku Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Kuno Suku Sasak Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Satu Jam Sastra Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seni Gumira Ajidarma Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Pendidikan Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sirdjanul Ghufron Siwi Dwi Saputro Slamet Rahardjo Rais Soediro Satoto Soekarno Soeparno S. Adhy Soesilo Toer Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Handi Lestari Sri Wintala Achmad STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sujatmiko Sukarno Suminto A. Sayuti Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahrudin Attar Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Sylvianita Widyawati Tangguh Pitoyo Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teater nDrinDinG Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tias Tatanka Timur Sinar Suprabana Titi Aoska Tiyasa Jati Pramono Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Toni Masdiono Tri Broto Wibisono TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Jember Universitas Negeri Jember Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyu Aji Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Wiji Thukul Wildan Nugraha Wildana Wargadinata Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yerusalem Ibu Kota Palestina Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Herwibowo Yuditeha Yusri Fajar Yuval Noah Harari Zainal Arifin Thoha Zainuddin Sugendal Zara Zettira ZR Zehan Zareez Zuhdi Swt