Antara Kompleksitas Estetika dan Wilayah Sosialisasi
Satmoko Budi Santoso
CERITA pendek (cerpen) Indonesia bersama eksistensi kritikusnya ternyata bisa menggelembung sebagai wacana yang bernilai gunjingan di warung-warung kopi atau melalui SMS. Namun, pastilah bisa juga diperdebatkan, sebagai konsekuensi penelaahan, setidaknya terepresentasi dalam tajuk Kongres Cerpen Indonesia III, 11-13 Juli 2003 yang silam, di Taman Budaya Lampung. Atas jasa Dewan Kesenian Lampung yang memfasilitasi dan mengakomodir pertemuan tersebut, kegelisahan acuan dan format estetik cerpen Indonesia terjembatani, baiklah, bisa dimulai dengan argumentasi Nirwan Dewanto (ND) sebagai Ketua Redaksi Jurnal Kebudayaan Kalam yang mengusung idealisasi estetik bangunan sebuah cerpen.
Bagi ND, cerpen yang standar adalah cerpen yang mempertahankan fiksionalitasnya sehingga "aku-pengarang" tertuntut berkompromi dengan bahasa yang selayaknya ditundukkannya. Dalam bahasa ND, ?Cerpen adalah bangunan cerita yang menyusut ke titik tak terhingga, dalam penciptaan mikrokosmos. Konsekuensinya, "aku-pengarang" harus berunding dengan narator dalam cerita, sekaligus untuk memilin realitas pada unitnya yang paling sublim. Karenanya pula, narator dalam cerita jangan sampai dijajah pengarang: kapan pengarang akan mati, menundukkan diri pada khazanah para tokoh sekaligus bahasa?
Idealisasi estetik ND, dalam khasanah cerpen terkini, dapat dibaca pada teks-teks cerpen karya Gus tf Sakai, Linda Christanty, Raudal Tanjung Banua, Puthut EA maupun Triyanto Triwikromo. Idealisasi semacam ini, tentu saja, menjadi bernilai kontroversial, karena keluar dari mainstream keingar-bingaran idealisasi estetik lain yang berseberangan dengannya: idealisasi cerpen yang mengembangkan ideologisasi "hal yang tabu", namun terasionalisasikan juga lewat media massa. Wilayah perbincangan yang akhirnya melebar pada sesi peran media massa dan penerbit dalam menyosialisasikan karya sastra dan bagaimananakah potret basis pembaca kesusastraan Indonesia yang sesungguhnya.
Jelas, media massa mesti kompromi dengan aspek moralitas yang diusungnya, sehingga Edy A. Effendi, waktu itu selaku redaktur sastra harian Media Indonesia, begitu hati-hati ketika mempertimbangkan dan akhirnya menolak cerpen Menyusu Ayah karya Djenar Maesa Ayu. Meskipun akhirnya cerpen tersebut juga bisa lolos dalam pertimbangan redaksional Jurnal Perempuan yang sekaligus menempatkannya sebagai Cerpen Terbaik Jurnal Perempuan 2003 dan dibacakan pada malam penutupan kongres.
Nah, ketegangan rasionalisasi estetik semacam inilah yang sebetulnya sangat perlu dipertimbangkan, apalagi kenyataannya, cerpen Indonesia tak memiliki basis pembaca yang -- katakanlah -- "permanen, tetap". Boleh jadi, kita tak perlu begitu berharap, apakah pluralitas publik yang belum selesai menafsirkan dan memetakan idealisasi estetik cerpen Indonesia pada akhirnya juga harus memahami dan menerima kecarut-marutan pencapaian estetik cerpen Indonesia? Atau, perdebatan dan penelaahan estetik cerpen Indonesia memang lebih baik hanya berlangsung pada selingkaran kaum cerpenis saja, tak mungkinlah terasionalisasi pada publik yang luas?
***
JIKA problem utama cerpen Indonesia justru karena basis pembaca, karena para penulis sudah dianggap mengerti kaidah estetika, meskipun tidak harus khatam gramatika seperti yang muncul pada idealisasi ND, maka basis pembaca yang diangankan sesungguhnya tak harus dengan semangat ideal. Justru massa atau publik yang beragam, yang "anonim" itulah yang diidealkan akan memburu capaian estetik cerpen Indonesia dengan pertimbangan kepentingannya sendiri-sendiri. Risikonya, jelas, idealisasi tak bisa didesakkan dengan serta-merta, karena publik pun membawa beban idealisasinya sendiri.
Pengandaian di atas, dalam realisasinya, justru merujuk pada konsep estetik Taufik Ikram Jamil, yang menulis dengan cara ungkap "bahasa ibu", bahasa kemelayuan, untuk mendekatkan cerpen pada problem keseharian. Dengan kata lain, cerpen tak mendapat beban ideologis berupa idealisasi konsep estetik macam-macam, kecuali kembali pada maksud, pada pretensinya melakukan familiarisasi cerita. Karenanya, jika cerpen terperangkap dalam usungan idealisasi estetik, bisa jadi yang muncul malah estetika penyeragaman, seperti yang dalam amatan para peserta kongres dikembangkan dengan mulia oleh rubrik sastra Koran Tempo.
Saya, Afrizal Malna, Iswadi Pratama, Agus Noor, Edy A. Effendi, Binhad Nurrohmat dan Raudal Tanjung Banua, termasuk orang yang bersepakat bahwa estetisasi yang dipelihara dan dijaga maha ketat oleh rubrik sastra Koran Tempo sangatlah mencemaskan, karena memuat anasir keseragaman. Pola-pola lirisisme bahasa yang dibangun, pencapaian-pencapaian frasa yang ambigu dan metaforis menempatkan cerpen yang satu menjadi "sulit dibedakan" dengan cerpen yang lain sehingga kalau ditutup nama pengarangnya, maka menjadi sulit pula dibedakan sebenarnya karya yang dimuat tersebut adalah karya siapa.
Dalam sebuah obrolan berkelakar di warung kopi seusai kongres, misalnya, kepada Afrizal Malna saya sempat berujar, "Memang, yang justru variatif dan menerima risiko keberjamakan sebagaimana diamanatkan posmodernisme adalah rubrik cerpen harian Kompas dan harian Media Indonesia, karena jika mereka memuat cerpen, sekalipun ditutup namanya, minimal publik sastra masih mengenali siapa penulisnya. Saya kira, di situlah capaian identitas dan otentisitas estetik, bukan risiko ketunggalan sebagai konsekuensi rasionalisasi ruang eksperimen laboratorium bahasa yang dibebankan pada rubrik sastra. Nah, celakanya, bagaimana dengan cerpenis A. Mustofa Bisri, misalnya, yang sudah cukup mempunyai identitas estetik" Apakah lazim jika ia meluruhkan konsep estetik yang dibangunnya sesuai dengan idealisasi yang dikembangkan rubrik cerpen Koran Tempo? Apakah publik yang beragam juga akan mafhum jika media massa justru memperpanjang asumsi intertekstualitas atau kemirip-miripan teks yang satu dengan yang lain??
Ketegangan perdebatan semacam itulah yang juga mengemuka, membuat Triyanto Triwikromo bersetuju bahwa yang perlu kita tolak adalah upaya penyeragaman. Dengan sendirinya, penolakan seperti yang dimaksud Triyanto lebih pada penafsiran penghancuran mainstream kesusastraan, karena jika terlalu mendesakkan idealisasi sungguh akan berakibat fatal. Bahwa kritikus akan menemukan cerpen yang berada dalam frame idealisasinya, tentu itu adalah soal lain, dan memang itulah yang sebaiknya terasionalisasikan. Kritikus membaca dan bertemu dengan capaian estetik tertentu, lantas menelaahnya. Bukan malah menciptakan koridor standarisasi yang justru berbahaya terhadap pengembangan estetika cerpen Indonesia seluas-luasnya.
Konsekuensi pembedahan anatomi cerpen Indonesia, seperti yang terepresentasikan dalam tema besar kongres ini, mengerucut pada ranah subtilitas dan sublimitas keberhasilan media massa dalam ikut serta mengembangkan estetika, sekaligus menantang capaian estetik cerpen yang belakangan ini lebih pada rasionalisasi ?estetika hal yang tabu?. Dalam hal ini, dengan sangat konseptual Djenar Maesa Ayu bersikukuh dengan pendiriannya bahwa "estetika hal yang tabulah" yang ia anggap akan berhasil memotret jiwa zaman (zeit geist). Tak perlu ada sekat ketabuan, juga moralitas yang harus disangga dan dipertahankan ketika urusan ketabuan mengedepan sebagai tawaran estetika.
Terlepas dari beragam nyinyiran, karena beberapa orang menganggap pola estetika semacam itu hanya bernilai sensasi, namun pijakan konsep estetik Djenar cukuplah tegas, dan telah menyumbangkan upaya dekonstruksi paradigma, untuk meruntuhkan konstruksi paradigma pakemistik: mencipta cerpen hanya dengan memperhitungkan wilayah penafsiran pembaca awam, yang diasumsikan menjunjung kaidah moralitas sehingga harus hati-hati jika mau menyentuh wilayah privat mereka. Padahal, kini, wilayah privat semacam itu secara revolusioner telah terkikis dan tinggallah cerpenis merayakan tabularasa wilayah privat mereka. Boleh jadi, akan tetap menemui kesulitan, karena tawaran kompromis media massa tak terelakkan mengemban etika-etika jurnalisme. Namun, sebagai ideologi, menjadi mafhum jika Djenar berusaha memperjuangkannya, dengan diplomasi, misalnya saja, "Pada era keterkungkungan perempuan lahirlah roman Siti Nurbaya. Kini, ketika perempuan bebas merayakan wilayah ketabuannya, lahirlah karya-karya yang sekiranya berada di dalam estetika tersebut."
Ambang batas eksistensi cerpen Indonesia ada pada tataran yang sangatlah menegangkan: ideologi atau konsep estetik yang mesti berdamai dengan wilayah sosialisasinya sendiri, yakni media massa, pun kritikus sastra yang berkeras kepala memagarinya dengan "penetapan" standarisasi estetika.
***
*) Pernah dimuat di solopos
http://sastra-indonesia.com/2009/09/membedah-anatomi-cerpen-indonesia-antara-kompleksitas-estetika-dan-wilayah-sosialisasi/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
20 Tahun Kebangkitan Sastra-Teater Lamongan
A Jalal
A. Anzieb
A. Khoirul Anam
A. Mustofa Bisri
A. Rodhi Murtadho
A. Syauqi Sumbawi
A.P. Edi Atmaja
Abdoel Moeis
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdullah Abubakar Batarfie
Abdurrahman Wahid
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Achdiat K. Mihardja
Achiar M Permana
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adib Baroya
Aditya Ardi N
Adri Sandra
Adu Pesona Sang Wakil Cawapres RI
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan MN
Agus Buchori
Agus Dermawan T.
Agus Mulyadi
Agus Prasmono
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Hasan MS
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Saifullah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alawi Al-Bantani
Alfatihatus Sholihatunnisa
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Alim Bakhtiar
Amie Williams
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amril Taufik Gobel
An. Ismanto
Andhi Setyo Wibowo
Andi Andrianto
Andong Buku #3
AndongBuku #3
Andrea Hirata
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Antologi Sastra Lamongan
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Arafat Nur
Ardi Wina Saputra
Ardy Suryantoko
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Saifudin Yudistira
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Asarpin
Ashimuddin Musa
Asrul Sani
Astuti Ananta Toer
Atafras
Audifax
Awalludin GD Mualif
Ayu Nuzul
Azizah Hefni
B Kunto Wibisono
Bahrul Amsal
Bambang Kempling
Beni Setia
Benny Benke
Beno Siang Pamungkas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Bloomberg
Bre Redana
Budaya
Budi Darma
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Candra Adikara Irawan
Candrakirana
Cangaan Ujungpangkah Gresik Jawa Timur
Capres Cawapres 2019
Catatan
Ceramah
Cerpen
Chairil Anwar
Chicilia Risca
CNN Indonesia
Coronavirus
COVID-19
D. Zawawi Imron
Damiri Mahmud
Darju Prasetya
Darman Moenir
Deddy Arsya
Denny JA
Denny Mizhar
Devy Kurnia Alamsyah
Dhoni Zustiyantoro
Dian Sukarno
Didin Tulus
Dien Makmur
Din Saja
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Donny Anggoro
Donny Darmawan
Dr. Hilma Rosyida Ahmad
Dwi Cipta
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Dyah Ayu Fitriana
Ecep Heryadi
Edy Suprayitno
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Elok Dyah Messwati
Engkos Kosnadi
Erdogan
Erwin Setia
Esai
Esti Nuryani Kasam
Evan Ys
F. Budi Hardiman
F. Rahardi
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Fahrur Rozi
Faidil Akbar
Farah Noersativa
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathul Qorib
Fatkhul Anas
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Festival Teater Religi
Festival Teater Religi Pelajar SLTA Se-kabupaten Lamongan
Fira Basuki
Forum Santri Nasional (FSN)
Frischa Aswarini
Fuad Mardhatillah UY Tiba
Fuad Nawawi
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Gde Artawan
Geger Riyanto
Geguritan
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Guenter Grass
Gus Ahmad Syauqi
Gus tf
Gusti Eka
Habib Bahar bin Smith
Haiku
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Han Gagas
Hary B Koriun
Hasan Basri
Hasnan Bachtiar
Heri Ruslan
Herman Hesse
Hertha Mueller
Heru Kurniawan
Hestri Hurustyanti
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hujuala Rika Ayu
I Made Prabaswara
I Made Sujaya
IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah)
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Iksaka Banu
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imammuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra Intisa
Indra Mahadi
Indra Tjahyadi
Irfan Afifi
Irine Rakhmawati
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan ZS
J.S. Badudu
Jadid Al Farisy
Jajang R Kawentar
Jawa Timur
Jean Marie Gustave le Clezio
JJ. Kusni
Jl Raya Simo Sungelebak
Jo Batara Surya
John H. McGlynn
Jordaidan Rizsyah
Jual Buku Paket Hemat
Juara 3 Lomba Lompat Jauh DISPORA LAMONGAN
Jurnalisme Sastrawi
K.H. Ma'ruf Amin
Kadek Suartaya
Kaheesa Kirania Putri Ayu
Kahfie Nazaruddin
Kalis Mardiasih
Kamaluddin Ramdhan
Kanti W. Janis
Karanggeneng
Kardono Setyorakhmadi
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Kemah Budaya Pantura (KBP)
KetemuBuku Jombang
KH. M. Najib Muhammad
KH. Muhammad Amin (1910-1949)
Khairul Mufid Jr
Khawas Auskarni
Khoirul Abidin
Khoshshol Fairuz
Ki Ompong Sudarsono
Kitab Arbain Nawawi
Kodrat Setiawan
Kompas TV
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA)
Komunitas Sastra dan Teater Lamongan
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Komunitas-komunitas Teater di Lamongan
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI)
Kopuisi
Kostela
Kritik Sastra
Kumpulan Cerita Buntak
Kurnia Effendi
Kuswaidi Syafi’ie
L Ridwan Muljosudarmo
L.K. Ara
Lamongan
Lan Fang
Lawi Ibung
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Literasi
Liza Wahyuninto
Lukas Luwarso
Lukisan
Lukman
Lukman Santoso Az
Lutfi Mardiansyah
M Farid W Makkulau
M. Faizi
M.D. Atmaja
Madrasah Aliyah Matholi'ul Anwar
Madrasah Ibtida’iyah Thoriqotul Hidayah 1
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maman S Mahayana
Manado
Manneke Budiman
Maratushsholihah
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoernomo
Mario F. Lawi
Marsel Robot
Martin Aleida
Marwanto
Mashuri
Massayu
Masuki M. Astro
Masyhudi
Media Seputar Pendidikan
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Memoar Purnama di Kampung Halaman
Mereka yang Menjerat Gus Dur
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mien Uno
Moh. Dzunnurrain
Moh. Jauhar al-Hakimi
Mohammad Rafi Azzamy
Mohammad Rokib
Mohammad Yamin
Muafiqul Khalid MD
Much. Khoiri
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Alfatih Suryadilaga
Muhammad Antakusuma
Muhammad Fikry Mauludy
Muhammad Hafil
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad N. Hassan
Muhammad Subarkah
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhidin M. Dahlan
Muhyiddin
Mukadi
Mukani
Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur
Musa Ismail
Mutia Sukma
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nanang E S
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nezar Patria
Noor H. Dee
Nunus Supardi
Nur Haryanto
Nur Wachid
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Okky Madasari
Olivia Kristina Sinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pagelaran Musim Tandur
Palupi Panca Astuti
Pameran Lukisan
Parimono V / 40 Plandi Jombang
PC. Lesbumi NU Babat
PDS HB Jassin
Pelukis Dahlan Kong
Pelukis Tarmuzie
Penculikan Aktivis 1988
Pendidikan
Pengajian
Pengarang kelahiran Lamongan
Pentigraf
Pepaosan
Perbincangan
Peringatan Hari Pahlawan 10 November
Pilang Tejoasri Laren Lamongan Jawa Timur
Pipiet Senja
Politik
Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan
Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang
Pramoedya Ananta Toer
Presiden Jokowi
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi (PMK)
Puji Santosa
Pustaka LaBRAK
PUstaka puJAngga
R. Ng. Ronggowarsito
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rasanrasan Boengaketji
Raudlotul Immaroh
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Reuni dan Halal Bihalal Mts Putra-Putri Simo 1992
Ribut Wijoto
Riki Antoni
Riki Dhamparan Putra
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Roland Barthes
Rosi
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rumah Budaya Pantura (RBP)
S. Jai
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Sainul Hermawan
Sajak
Salman Aristo
Sandiaga Uno
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Sastra Tasikmalaya (SST)
Sarasehan dan Launching Buku
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Kuno Suku Sasak
Sastri Bakry
Satmoko Budi Santoso
Satu Jam Sastra
Satyagraha Hoerip
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSAstra Boenga Ketjil
Seni Gumira Ajidarma
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seputar Sastra Pendidikan
Sergi Sutanto
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sirdjanul Ghufron
Siwi Dwi Saputro
Slamet Rahardjo Rais
Soediro Satoto
Soekarno
Soeparno S. Adhy
Soesilo Toer
Soetanto Soepiadhy
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sosiawan Leak
Sri Handi Lestari
Sri Wintala Achmad
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Sudarmoko
Sujatmiko
Sukarno
Suminto A. Sayuti
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahrudin Attar
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili
Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari
Sylvianita Widyawati
Tangguh Pitoyo
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Ilat
Teater nDrinDinG
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tias Tatanka
Timur Sinar Suprabana
Titi Aoska
Tiyasa Jati Pramono
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Toni Masdiono
Tri Broto Wibisono
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Tulus Wijanarko
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Jember
Universitas Negeri Jember
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W.S. Rendra
Wage Daksinarga
Wahyu Aji
Warung Boengaketjil
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wiji Thukul
Wildan Nugraha
Wildana Wargadinata
Yanusa Nugroho
Yasraf Amir Piliang
Yerusalem Ibu Kota Palestina
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhi Herwibowo
Yuditeha
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Zainal Arifin Thoha
Zainuddin Sugendal
Zara Zettira ZR
Zehan Zareez
Zuhdi Swt
Tidak ada komentar:
Posting Komentar