: Kajian Soal Seksualitas dan Spiritualitas
Imam Nawawi *
Pandemi Covid-19 betul-betul meluluh-lantakkan aurat Barat sebagai negara super power. Tentu, pandangan itu lahir di tengah-tengah masyarakat yang selama ini mengagumi Barat secara berlebihan. Keyakinan itu tumbuh ketika ratusan jiwa melayang, nyaris seperti sedang ada perang.
Uniknya, Slavoj Zizek melihat aspek lain dari Covid-19 ini, sebagai alarm pengingat tentang pentingnya meterialisme (seksualitas) sebagai terowongan menuju spiritualitas. Tulisannya yang berjudul “Can Covid-19 remind us that SEX is an important channel for sprituality?,” diterbitkan Russian Today (RT) bertanggal 20 April 2020.
Di Indonesia, puisi-puisi Ahmad Muchlish Amrin bisa dibilang mendahului Zizek, terutama dalam memandang seksualitas sebagai channel ke arah spiritualitas, dan tidak perlu memulai dari fenomena parsial berupa merebaknya pandemi Covid-19. Buku antologi puisi berjudul “Damar Kembang” yang diterbitkan TeraSI Publisher, Bekasi, 2017, cukup representatif menempatkan A.M. Amrin sebagai “penyair kelamin” yang spiritualis. Sama serupa Zizek, A.M. Amrin juga menempatkan seks sebagai “yang-spiritual.”
Pertama-tama, Zizek mengatakan, “we will remember that sex between two people is a medium for spirituality.” Pernyataan ini di dalam konteks kebijakan pemerintah (Irish Health Service Executive) yang memberikan panduan melakukan hubungan seks di tengah pandemi Covid-19. Salah satu bunyi kebijakan itu, “Taking a break from physical and face-to face interactions is worth considering, especially if you usually meet your sex partners online”.
Terpisahnya dua tubuh pelaku seks, yang kemudian dimediasi dengan media online, adalah titik pelepasan manusia dari materi dan awal perjalanan menuju yang “spiritual”. Di sini Zizek lebih tegas menceritakan pengalaman pribadinya, yang mencoba memasuki dunia fantasi (spiritual) sekalipun sedang berhadapan langsung dengan tubuh fisik pasangannya. Ia berkata:
“Even when I am alone with my partner, my sexual interaction with him/her is inextricably intertwined with my fantasies, i.e., every sexual interaction is potentially structured like “masturbation with a real partner” – I use the flesh and body of my partner as a prop to realize/enact my fantasies.”
Di level ini, puisi-puisi A.M. Amrin yang banyak bercerita tentang spiritualitas, ternyata juga dimulai dari titik stasiun keberangkatan berupa pengalaman seksualitas. Puisi berjudul “Sajak Buang Pinang” (hlm. 12), bukti persoalan seks mengantarkannya pada ekstasi spiritual. A.M. Amrin mengatakan:
“...Aku meracik pinang/bercampur sirih berurat cabang/satu ke dalam diri, yang lain/kepada tuhan..”
Dalam bait lain pada judul puisi yang sama, A.M. Amrin menegaskan makna spiritualis buah pinang, yang dicampur madu dan telur, sehingga melahirkan efek spiritualitas. Ia mengatakan:
“...bila kau racik pinang muda/bercampur madu/tambahkan saja telur kuningnya/maka akarmu akan menghunjam-hunjam/di kedalaman birahi tuhan...”
Zizek memberi catatan penting, bahwa materialitas tubuh dan seksualitas, bukan perkara yang berjarak jauh dari spiritualitas fantasi, sebab keduanya sudah hadir sejak awal. Jadi, bagi Zizek, tidak perlu ada hirarki dan dominasi sosial, di mana materialitas dan spiritualitas bersaing untuk menjadi yang terdepan. Ia berkata, “We cannot reduce this gap between the bodily reality of a partner and the universe of fantasies to a distortion opened up by patriarchy and social domination or exploitation – the gap is here from the very beginning.”
Penolakan Zizek untuk mendistorsi ‘gap’ antara realitas part seks, dan jagad fantasi juga tercermen dalam puisi A.M. Amrin berjudul “Kepada Istriku” (hlm. 48). Ia mengatakan:
“...telah kutemukan matahari terbit/dan beredar di aliran darahmu/sinarnya terang bagai rinduku/bila malam bertandang, bulan/menyerupai rasa kangen..”
A.M. Amrin menyerupai argumentasi Zizek, di mana gap antara realitas tubuh tidak bisa dipisah dari jagad fantasi. Di dalam kata “kamu” yang merujuk pada “istri”, fantasi berupa kerinduan, dan rasa kangen dari diri penyair bergumul sejak awal (from the very beginning).
Representasi ide Zizek dalam puisi A.M. Amrin semakin kental, jika kita membaca puisinya berjudul “Kepada Ibuku” (hlm. 47). Sosok ibu sebagai realitas material, dan dimensi spiritual ketuhanan, telah melebur sejak awal. Ia mengatakan:
“...hatimu/tempatku sembahyang/tempatku menemukan tuhan/yang hilang/bila tangisku tangismu/dan tangismu adalah tangis-MU/tak perlu lagi kusimpan air mata...”
Zizek juga memberi catatan, bahwa salah satu mekanisme melepaskan kesadaran dari yang material menuju yang spiritual, dapat dilakukan melalui kekuatan verbal, kata-kata kotor dari pasangan seks yang memancing fantasi, dan imajinasi. Zizek mengatakan:
“...as part of sexual intercourse, one partner asks the other to go on talking, usually narrating something “dirty” – even when you hold in your hands the “thing itself” (the beloved partner’s naked body), this presence has to be supplemented by verbal fantasizing…”
Kekuatan kata-kata kotor bagai kekuatan mantra suci; sama-sama menghanyutkan kesadaran, dan melemparkannya ke dimensi fantasi yang spiritual. Penyair A.M. Amrin juga pelaku yang mengalami kakuatan kata sebagai pelepas dirinya dari yang material ke yang spiritual, seperti dalam puisi bertitel “Petik Laut” (hlm. 5):
“...dan buih di bibirku menjadi manik-manik mantra berkilau di bibirmu: sandoroaraikurcap cap sandoroaraikurjem. Meletuplah lidah gelombang menelan sampan-sampan. Dan melayanglah ruhku bersatu dengan ruhmu: ruh laut.”
Paragraf puitis di atas hendak menggambarkan bagaimana ritual Petik Laut, salah satu jenis ritual kebudayaan di Madura, berjalin kelindan dengan mantra-mantra yang verbalistik, dan hasil puncaknya berupa ekstasi spiritual, yakni penyatuan ruh manusia dengan ruh laut. Di sini dapat dikatakan, baik hubungan seksual seperti topik Zizek pun kultur Petik Laut yang dibahas A.M. Amrin, adalah perkara-perkara materialitas, yang akibat ada peran sentral bahasa verbal menjadi gerbang terbuka menuju dimensi spiritual.
Jika kita bertanya: mengapa manusia mampu lepas dari materialitas realitas ini, baik seksualitas maupun kegiatan sosial-kultural pada umumnya? Slavoj Zizek memberikan catatan penting. Ia mengatakan: “This worked for the actor because he was obviously not in a personal love relationship with the actress – her body was more a living sexbot for him.” Lalu sastrawan A.M. Amrin pun menjadika Petik Laut sebagai batu loncatan, dan dalam bahasa Zizek, A.M. Amrin itu “was obviously not in a personal love relationship with the” Petik Laut.
Sebagai penutup, saya ingin menyampaikan, jika Slavoj Zizek menyadarkan kita, bahwa di masa pandemi Covid-19 ini, seksualitas menjadi terowongan menuju dimensi spiritual. Maka, sejak tahun 2017 silam, A.M. Amrin sebagai Penyair Kelamin dari Madura sudah jauh-jauh membicarakannya melalui kumpulan puisinya, yang terbit berjudul “Damar Kembang”.
7 Mei 2020.
*) Imam Nawawi, lahir di Sumenep 1989. Sempat belajar di beberapa pondok pesantren seperti PP. Assubki Mandala Sumenep, PP. Nasyatul Muta'allimin Gapura Timur Sumenep, PP. Annuqayah Guluk-guluk Sumenep, PP. Hasyim Asy'ari Bantul Yogyakarta, PK. Baitul Kilmah Bantul Yogyakarta, PP. Kaliopak Bantul Yogyakarta, dan PP. Al-Qodir Sleman Yogyakarta. Kini sedang menempuh pendidikan jenjang S2 di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
http://sastra-indonesia.com/2020/05/slavoj-zizek-dalam-puisi-puisi-ahmad-muchlish-amrin/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar