11. Hikayat Camar Dan Ombak
“257. Lihatlah bagaimana burung camar bermain mengantisipasi ombak sambil memikat.”
Di sini. Di pantai ini. Di Mercusuar yang dahulu menjadi kebanggaan. Kini menjadi legenda. Engkau memilihku untuk kau damparkan di sini. Sendiri. Engkau memilihku untuk menjadi segala yang kau inginkan. Aku terima. Aku cinta. Aku sayang. Namun kini yang ada tinggal kenangan. Dan tentu saja rindu.
Dahulu. Aku selalu suka cita menyambutmu pulang, selepas kau bermain dengan ombak dan kapal-kapal yang lalu lalang. Suara burung camar menambah romansa. Cinta kita terdampar di pulau karang, namun kita menikmatinya sepenuh rasa. Aku ingat bagaimana kau memainkan ombak dengan gerakmu yang memikat. Kau Camar yang telah merenggut istimewaku. Aku tak sempurna tanpamu.
Lalu datang ombak bergelombang. Engkau sedang terbang di atas laut. Gelombang itu terlalu dahsyat, hingga mercusuar mati lampunya. Kapal-kapal banyak yang hilang arah, juga ada yang membentur batu karang. Engkau tak pernah kembali. Tak ada pesan tersampaikan. Yang ada sunyi. Aku memilih sendiri tidak untuk meratapi sepi. Kupilih sunyi yang selalu menghadirkan suara ombak dan camar bersamaan. Aku tahu kau selalu bersamaku. "Kaulah ombak yang telah meniadakanku" bisikmu. Camarku, aku selalu menunggumu. Suatu saat nanti, waktu akan menyatukan kita kembali. Di keabadian. Aku tak mau reinkarnasi. Hanya ingin di dekapmu dan mendekapmu.
SDS. 17.01.2021
12. Aku Hanya Bisa Setia Dan Mencinta
“634. Aku tidak sanggup berdiri lama tetapi mampu berjalan jauh.”
"Aku tak mau berjalan sendirian. Aku mau berjalan jauh. Kau mau kan menemaniku?" Itu pintamu dulu. Aku setuju berjalan bersamamu, sejauh apapun itu. Menjalani share kita masing-masing. Apa yang menjadi tugas dan kewajibanku, juga hakku. Demikian juga denganmu. Kita telah bersepakat. Biarlah jalan ini tak cepat, tapi bertahan lama. Kita bisa saling membantu. Itu dulu sampai dengan beberapa waktu lalu.
Tiba waktunya, kau memilih berjalan cepat dan meninggalkanku. Di tempat aku kau tinggalkan, aku bimbang. Putus asa. Segala rasa kecewa, duka. Meruah menimbulkan luka. Tapi hidup terus berjalan, dan waktu tak mengenal ampun pada sesiapa. Aku memilih setia dan mencinta. Aku jalankan apa yang menjadi bagianku. Kita bagian satu dari yang lain, keping yang disatukan. Seharusnya kalau aku terluka, kau pasti juga.
Senja merangkak naik. Kau beristirahat di bawah pohon meranggas. Aku gagah walau dimakan usia. Kau tersedu, mencegatku. Meminta maaf atas semua yang telah terjadi. Ada satu ucapmu yang menggangguku, ketika kau tanya mengapa aku tak terluka? Kau ingin tahu? Mengapa aku harus terluka? Aku bukan yang berdusta.
SDS. 18.1.2021
Keterangan:
Kata-kata pembuka yang bertanda petik merupakan “Ujaran-Ujaran Hidup Sang Pujangga,” yakni sebuah kitab kumpulan kata mutiara yang ditulis Nurel Javissyarqi selama 10 tahun (1994-2004), cetakan ke IV, Desember 2020 oleh Penerbit PUstaka puJAngga dan Pustaka Ilalang, Lamongan.
Sebelumnya: https://sastra-indonesia.com/2021/01/8-10-pentigraf-siwi-dwi-saputro/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar