Pada perjumpaan awal dengan cerpen-cerpen Sasti Gotama yang tersebar di berbagai media daring, saya mendapati keistimewaan paling mencolok cerpen-cerpen Sasti hanyalah tonjokan di ujung cerita. Sasti tampaknya sengaja menyuguhkan kejutan di akhir cerita untuk mengecoh para pembaca. Kejutan di akhir cerita tentu bukan barang asing dalam khazanah cerita pendek. Kita mengenal antara lain O. Henry yang kerap membikin ledakan-ledakan yang tak disangka-sangka di ujung cerpen-cerpen gubahannya. Mendapatkan kejutan selepas membaca sebuah cerpen memang merupakan kesenangan tersendiri—beberapa orang menyukai kejutan dan menganggap itu sebagai sebuah keunggulan suatu cerita. Tapi, apakah kejutan di ujung cerita adalah sesuatu yang layak dirayakan dengan tumpeng dan tepuk tangan meriah? Saya kira tidak. Itu hanyalah satu dari sekian teknik menghias cerita. Kalau suatu cerita dinilai kualitasnya berdasarkan “apakah endingnya mengejutkan atau tidak” semata, tentulah kita tak perlu membaca cerita apa-apa selain cerita misteri dan detektif.
Mulanya saya hendak membahas kumpulan cerpen Mengapa Tuhan Menciptakan Kucing Hitam? dengan mengulik secara khusus bagaimana siasat Sasti menciptakan kejutan-kejutan dalam ceritanya. Beberapa cerpen dalam buku ini terlihat dirancang dengan penuh kesadaran oleh penulisnya untuk menimbulkan daya kejut, semisal cerpen ‘Menunggu Marduk Datang’, ‘Tawa Luisa’, dan ‘Sebuah Usaha Menulis Cerita’. Tapi setelah saya pertimbangkan lagi, agaknya kelewat naif menonjolkan sisi itu dalam membahas kumpulan cerpen. Sebab, ada hal lain yang jauh lebih menarik untuk dikulik, yaitu kesegaran-kesegaran yang terkandung dalam 18 cerpen sepanjang buku ini.
Kesegaran—alih-alih ‘kebaruan’—adalah hal yang begitu menggembirakan di tengah gurun pasir cerpen-cerpen Indonesia kontemporer. Kebanyakan cerpen-cerpen Indonesia kontemporer dibikin dengan datar, kering, dan tergesa-gesa seolah-olah para penulis itu hendak menyuguhkan kue rijekan kepada khalayak pembaca. Kita bisa melihat hal tersebut dari cara para penulis itu membikin simile yang melulu ‘bagai kerbau dicocok hidungnya’ atau ‘sekurus tiang listrik’; mempersonifikasikan senja dengan mentah dan bergenit-genit dalam merangkai kata (padahal itu sudah kelewat usang—Seno Gumira Ajidarma menulis cerpen ‘Sepotong Senja untuk Pacarku’ pada 1991 alias 30 tahun lalu!); atau mengulang-ulang narasi tragedi 1965 dan 1998 dengan cara yang pernah dilakukan oleh 96.154 penulis terdahulu.
Mengapa Tuhan Menciptakan Kucing Hitam? menghadirkan sesuatu yang berbeda. Saya mendapatkan kesan Sasti menulis dengan penuh kesadaran—sadar dalam memilih diksi, menciptakan metafora, dan merangkai bentuk cerita. Dalam buku ini kita bisa menemukan banyak perumpamaan-perumpaan segar semacam “Dadaku terasa tersiram baingan bhorta pedas” (hlm. 54), “Ia berharap menjadi setegar Emma Zunz yang membalas dendam dengan penuh perhitungan” (hlm. 74), dan “Aku seperti mendengar penyihir Gipsi berkata bahwa setiap benda mempunyai nyawa saat mereka menunjukkan magnet menarik paku, besi, dan panci-panci.” (hlm. 116)
Sasti sadar bahwa diksi dan metafora bukanlah tahilalat dalam tubuh cerita yang bentuk dan letaknya begitu-begitu saja sejak ia dilahirkan. Ada banyak kemungkinan diksi dan metafora yang bisa dipilih sebagaimana ada banyak ornamen yang bisa kita pilih untuk diletakkan di ruang tamu agar rumah kita tak membosankan dan enak dipandang.
Terkait tema cerita, Sasti mencoba berbagai hal. Ia menyinggung soal kehidupan waria, orang sakit jiwa, sejoli tua, hingga kehidupan sepasang kekasih yang kebahagiaannya direnggut karena kerusuhan yang terjadi pada Mei (1998?). Dalam cerpen ‘Mengapa Tuhan Menciptakan Kucing Hitam?’ Sasti memang menampilkan tema yang lumrah dibahas oleh banyak penulis, tapi ia menyuguhkannya dengan cara yang berbeda. Ia mengangkat kucing hitam (yang kerap dianggap sebagai pertanda buruk) dan legenda Timun Mas (pilihan tokoh Eren kepada cerita Timun Mas seolah-olah menegaskan bahwa Eren yang saat itu menjadi korban tragedi Mei bukanlah orang asing, ia sudah menjadi orang yang bersatu dengan tanah tempat ia berpijak, buktinya ia menggemari cerita Timun Mas alih-alih Legenda Kera Sakti) saat membahas tragedi Mei. Ia tidak terjebak untuk mengekspos penderitaan korban tragedi tersebut—sudah banyak yang menceritakannya dengan cara itu. Sepintas siasat Sasti mengingatkan saya pada cerpen ‘Gerimis yang Sederhana’ karya Eka Kurniawan (terhimpun dalam Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi) dalam menggambarkan kehidupan korban tragedi Mei 1998.
Sisi lain yang menarik dalam cerita-cerita Sasti adalah ia kerap membawa latar rumah sakit, tokoh dokter atau orang sakit, dan juga istilah-istilah medis yang terdengar asing di telinga awam. Tentu itu bukan hal mengejutkan mengingat status Sasti sebagai seorang dokter. Apa yang dilakukan Sasti seolah-olah menjawab pertanyaan Katrin Bandel dalam esai ‘Dukun dan Dokter dalam Sastra Indonesia: (Literature and Medicine: Sebuah Studi)’ yang mengeluhkan sedikitnya karya sastra Indonesia yang membahas pengobatan modern (Barat) secara detail. Memang Sasti bukan orang pertama yang melakukan ini. Cerpen ‘Kejadian-Kejadian di Meja Operasi’ karya Ida Fitri (dimuat di Koran Tempo edisi 21-22 September 2019)—untuk menyebut satu yang paling saya ingat—juga pernah berusaha melakukan hal yang sama.
Dengan sekian kesegaran tersebut, agaknya tak terlalu mengherankan ketika kumpulan cerpen terbaru Sasti ini mendapat banyak lampu sorot. Buku ini memang layak mendapatkan perhatian sebesar itu.
***
*) Erwin Setia lahir tahun 1998. Penikmat puisi dan prosa. Kini menempuh pendidikan di Prodi Sejarah dan Peradaban Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Tulisan-tulisannya pernah dimuat di berbagai media seperti Koran Tempo, Media Indonesia, Pikiran Rakyat, Minggu Pagi, Solopos, Haluan, Koran Merapi, Padang Ekspres, dan Detik.com. Cerpennya terhimpun dalam Dosa di Hutan Terlarang (2018). Bisa dihubungi di Instagram @erwinsetia14. Blognya: setelahmembaca.wordpress.com http://sastra-indonesia.com/2021/01/kesegaran-kesegaran-dalam-mengapa-tuhan-menciptakan-kucing-hitam/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar