"Wilayah ini dikenal sebagai Oosthoek (Pojok Timur) dengan Karesidenan Pasuruan/Malang dan Besuki menjadi areal perkebunan utama, penduduknya sangat jarang di bagian Timur sebelum tahun 1900, namun kemudian menarik arus pekerja sampai tahun 1930—an." (Jamie Mackie, 1997: 266)
Pada era kolonial, Belanda menggunakan istilah “Oosthoek” untuk menyebut kawasan ujung timur Jawa, berbatasan dengan daerah Pasuruan—Malang hingga Banyuwangi. Kawasan Oosthoek pernah di bawah Karesidenan Besoeki, kini Besuki, di bawah penguasaan VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie), serikat dagang Belanda, terdiri atas beberapa regenschaap dan afdeeling, seperti Situbondo, Bondowoso, Jember, dan Banyuwangi. Sejarah asal-usul Besuki dimulai ketika sekelompok imigran dari sebuah desa di Pamekasan Madura mencari penghidupan di tanah rantau. Mereka berkoloni lalu membentuk pemerintahan tersendiri yang berafiliasi ke penguasa di bawah Mataram pada masa itu, sekitar pertengahan abad ke-18.
Ihwal penguasaan VOC/Belanda atas wilayah Besuki, studi Wijayati (2001) menjelaskan bahwa VOC dapat menguasai kawasan Besuki karena perjanjian dengan Sunan Paku Buwana II pada 11 November 1743. Kontrak ini pada dasarnya adalah penyerahan hak kekuasaan yang menjadi milik raja Jawa tersebut terkait debngan tanah-tanah di wilayah ujung Timur Jawa kepada VOC. Bagian ujung timur yang menjadi milik VOC sesuai dengan garis yang ditarik dari Pasoeroean dan beberapa tempat dari arah selatan ke utara sampai tepi laut sebagai perbatasan dengan tanah milik Sunan Paku Buwana II, sedangkan semua daerah di sebelah timur garis menjadi milik VOC dan daerah sebelah barat daya tetap milik Sunan Paku Buwana.
Namun, perjalanan sejarah Besuki tidak semulus pipi Anya Geraldine. Ups! Sejak tahun 1770, tanah Besuki digadaikan Belanda pada tuan tanah yang bertindak sebagai penguasa. Baru pada 1813, ketika Inggris menggantikan Belanda sebagai penguasa di Hindia Belanda, Tanah Besuki ditebus kembali oleh pemerintah kolonial. Ternyata tokoh di balik penebusan itu adalah Gubernur Jenderal Inggris di Indonesia, yaitu Thomas Raffles.
DARI KALANGAN BAWAH
Sudahkah anda mengenal sosok Raffles? Itu lho, lelaki jangkung yang nama karibnya Mas Rafli. Nah, Anda ngawur kan? Itu kan tukang becak yang mangkal di Pasar Atom. Ini berbeda, Bung. Sosok yang satu ini bernama lengkap Sir Thomas Stamford Raffles. Sejarah kita hanya mencatat sekilas ihwal penebus tanah Besuki ini. Berikut ini sisi lain dari Raffles yang memesona dan perlu kita ketahui bersama. Tentu ngablak ini semata-mata dari sisi kemanusiaan, bukan dalam rangka melukai rasa nasionalisme.
Meskipun nama Raffles menjulang dan sundul langit, bahkan digelari “sir” oleh kerajaan Britania Raya atas jasa-jasanya, yang dalam gelar keningratan Jawa adalah “Raden” atau “Raden Mas”, tapi sesungguhnya ia berasal dari kalangan bawah, kalau tidak disebut dari kalangan “kere”. Namun, yang jelas ia bukan dari kalangan ‘kere munggah bale’, tapi derajat dan kepintarannya dicapai melalui perjuangan dan proses yang panjang dan berliku. Ketekunan, kerajinan dan kecerdikannya yang membuat namanya demikian mashur dan menjadi nisbat nama ilmiah bagi kekayaan flora dan fauna di alam Nusantara.
Ia lahir dengan nama Thomas Raffles dari pasangan ayah Benjamin Raffles (1739—1812) dan ibu Susannah Leigh (1725—1754). Ayahnya, yang awalnya hanya seorang tukang masak, tentu saja hanya koki biasa dan bukan master chef, di sebuah kapal, akhirnya berhasil sebagai kapten kapal. Meski demikian, karena krisis ekonomi yang dahsyat melanda Inggris pada masa itu, Kapten Benjamin pun dilanda kesulitan ekonomi super berat. Mereka jatuh miskin.
Raffles muda pun terpaksa mencari pekerjaan untuk menyokong nafkah keluarga, meski pendidikan formalnya seadanya, alias pas-pasan. Keberuntungan berpihak padanya. Ayah seorang sahabatnya menawarinya pekerjaan pertama sebagai juru tulis di sebuah perusahaan di Hindia Timur pada 1795. Walau harus merantau dan jauh dari keluarga, Raffles muda bertekad mengambil tawaran tersebut. Di tempat kerjanya, ia dikenal sebagai pemuda yang tekun, memiliki hasrat besar untuk terus belajar dan meningkatkan kualitas diri. Berkat keuletan dan kemauannya yang keras, ia pun dipromosikan sebagai asisten sekretaris di perusahaan yang sama yang membawahi wilayah kepulauan Melayu.
Sejarah hidupnya pun seakan mulai dirilis ketika ia dikirim ke Pulau Penang Malaysia, pada 1804. Gubernur Jenderal Inggris di India, Sir Girlbert Elliot Murray-Kynynmond (1751—1814), alias Lord Minto, selanjutnya mengirim Raffles ke Malaka. Lord Minto menyukai Raffles karena pemuda ini terkenal cerdik, terampil dan mampu berbahasa Melayu dengan baik. Terbukti, tengara Lord Minto menjadi kenyataan. Pada suatu waktu, setelah ia berada di alam Melayu, Raffles pun membubuhkan nama “Stamford” di tengah namanya. Hal itu sebagai sebuah penanda bahwa ia telah berkembang menjadi pribadi yang sangat dihormati dan berwibawa di kawasan Laut Cina Selatan.
Pada tahun 1811, Raffles ikut serta dalam ekspedisi ke tanah Jawa sebagai Letnan Gubernur, dan diperintah langsung Lord Minto. Pada saat itu, negara Perancis baru saja menduduki kerajaan Belanda. Ia pun mengatur ekspedisi militer melawan sisa-sisa Belanda yang masih bercokol di Jawa yang dipimpin oleh para panglima militer Inggris seperti Admiral Robert Stopford, Jenderal Watherhall dan Kolonel Gillespie. Belanda pun menyerahkan kedaulatan di Hindia Belanda pada Inggris, tanpa pertumpahan darah tapi lewat cara negoisasi. Raffles melanjutkan ekspedisi untuk menaklukkan penguasa lokal yang membangkang terhadap peralihan kekuasaan dan kebijakan yang diterapkannya.
Raffles menjadi Gubernur Jenderal Inggris di Hindia Belanda sangat singkat mulai tahun 1811—1816. Meski demikian, ia meninggalkan beberapa kebijakan yang hingga kini masih dianut oleh orang Indonesia. Perlu diketahui, model penjajahan antara Inggris dan Belanda berbeda, dan dari sinilah sebenarnya bisa diketahui bagaimana mereka mewariskan kebijakannya pada negeri jajahan. Meski singkat, warisannya cukup berharga dan tidak hanya dalam hal sistem pemerintahan tetapi juga tentang ilmu pengetahuan, terutama dalam flora dan fauna Nusantara, termasuk Sumatera dan Jawa.
Tentunya juga tentang banyak hal yang berbau Jawa. Hal itu karena hati Raffles begitu jauh berlabuh di lubuk Jawa. Sebagai buktinya dia merupakan pionir kajian ihwal Jawa dengan diterbitkannya seri bukunya yang legendaris “The History of Java” dalam dua volume, yang menjadi pemicu dikajinya Jawa oleh kalangan intelektual Eropa dan menjadi rujukan bila orang berbicara tentang Jawa, hingga kini --meskipun sebagai karya rintisan memang masih sederhana.
BEBERAPA RINTISAN
Berikut ini rintisan Raffles yang masih menunjukkan tilasnya.
Pertama, Raffles mengubah sistem tanam paksa (culturstelsel) warisan kolonial Belanda dengan sistem kepemilikian tanah dengan kebijakan landrente atau pajak bumi yang berdasar hukum adat Jawa. Raffles menetapkan semua tanah adalah milik negara dan rakyat sebagai pemakai atau penggarap tanah wajib membayar sewa berupa pajak bumi kepada pemerintah. Pemimpin pribumi yang tidak taat pada aturan tersebut akan dipecat dari jabatannya. Dengan kebijakan inilah akhirnya tanah yang disewakan ke tuan tanah, akhirnya dibeli kembali oleh pemerintah, termasuk tanah Besuki.
Kedua, Raffles membagi tanah Jawa ke dalam 16 karesidenan, serta mengurangi jabatan bupati yang berkuasa. Kasultanan Banten dihapuskan dan kedaulatan Kasultanan Cirebon harus diserahkan Inggris. Raja Kasultanan Yogyakarta Sultan Hamengkubuwana II (1750—1828) yang bertentangan dengan Raffles dibuang ke Pulau Pinang (1812). Penggantinya adalah Sultan Hamengkubuwana III (1769—1814), ayahanda Pangeran Diponegoro (1785—1855).
Ketiga, Raffles mengubah sistem berkendara di semua bekas koloni Belanda dengan sistem berkendara di Inggris, yaitu dengan menggunakan jalur kiri. Selain itu, tilas Raffles masih demikian banyak, apalagi jika dikaitkan dengan kegemaran dan kecintaannya pada lingkungan terutama pada bidang biologi. Karena kerja keras dan dedikasinya, sejumlah binatang dan tumbuhan di Nusantara diberi nama ilmiah sesuai namanya Rafflesia dan yang paling terkenal adalah bunga dengan kelopak raksasa bernama ilmiah Rafflesia Arnoldi.
GETIR TAKDIR
Di Jawa, Raffles bukannya hidup mulus tanpa cobaan. Bahkan, ketika ia harus hengkang dari Jawa pun seakan-akan terbelit takdir yang pahit. Pada tahun 1815, ia terpaksa diungsikan ke London karena terserang penyakit tropis yang sangat parah dan hampir merenggut nyawanya. Sebelumnya, isteri tercintanya Olive Mariane Devenish, yang dinikahinya pada 14 Maret 1805 meninggal dunia di Jawa pada 26 November 1815 karena serangan penyakit Malaria.
Sebelumnya, pada tanggal 13 Agustus 1814, Konvensi London diberlakukan. Dinyatakan bahwa semua wilayah yang pernah dikuasai Belanda harus dikembalikan oleh Inggris. Konvensi itu tidak berlaku untuk Bangka, Belitung dan Bengkulu, karena Inggris menerima penyerahan kekuasaan langsung dari Sultan Najamudin dan Kerajaan Palembang. Raffles yang masih ngiler dengan kekayaan Nusantara pun terpaksa gigit jari ketika ia ditarik ke London dan digantikan oleh John Fendall (1762—1825) yang melaksanakan konvensi tersebut dan melakukan serah terima Inggris—Belanda. Konon, ketika ia meninggalkan Jawa dan Sumatera, ia menangis.
Ibarat pepatah: ‘kalau sudah jatuh cinta, tai kucing terasa gula’ begitulah cinta yang bergelayut di hati Raffles terhadap tanah Nusantara, terutama Jawa. Ia pun merampungkan proyek botaninya dengan mendirikan London Zoo (Kebun Binatang London) dan Zoological Society of London (Komunitas Ahli Binatang London) yang terkenal hingga sekarang di Inggris. Keduanya menampung spesimen binatang Raffles yang sangat banyak dan beragam dari Sumatra dan Jawa. Untuk Jawa, ia menyumbangkan sebuah projek “The History of Java” yang sudah dimulai Raffles dari kawasan dingin Cisarua Bogor, ketika ia masih menjadi gubernur jenderal di Jawa. Ia meneruskan proyek itu meski ia sudah minggat dari Jawa. Karya ini begitu kaya dengan data dan diskripsi, memuat kekayaan dokumen dan ragam kehidupan di Jawa, baik dari sisi alam, manusia, adat istiadat dan sebagainya.
Raffles meninggal dunia sehari sebelum hari ulang tahunnya yang ke-45 (tanggal 5 Juli 1826) atau hanya berselang dua tahun sekembalinya ia dari Hindia Timur. Ia menderita apoplexy atau stroke. Dalam dunia kajian ketimuran, yang dalam dunia akademik sering disebut dengan istilah keren: kalangan orientalis, Raffles disebut sebagai “salah seorang pelopor kajian Jawa, serta bukunya menjadi sumber gagasan Barat mengenai daerah tersebut dan sebagai titik awal pengkajian wilayah Timur atau orientalis”. Buktinya, setelah Raffles, banyak sekali sarjana Belanda meneliti Jawa, padahal sebelumnya Belanda sudah bercokol di Jawa lebih dulu dan para sarjananya ogah melakukan penelitian tanah jajahan, kecuali untuk kepentingan politik kolonial.
Demikianlah sekilas riwayat hidup Raffles sang penebus tanah Besuki dari tangan tuan tanah. Di balik cara memerintahnya yang terkesan bertangan besi, ternyata ia juga memiliki sisi baik yang layak untuk dikenang. Bahkan, ada pihak yang menyebut, ia mencintai Jawa lebih dari orang Jawa sendiri. Tentu klaim tersebut menarik karena ada klaim lain juga bahwa kini banyak orang Jawa yang tidak mengerti kejawaannya. Saya tidak perlu jauh-jauh tunjuk hidung untuk soal tersebut. Tengara itu bisa berlaku buat saya sendiri, dan jangan enak-enak pembaca, Anda juga dapat termasuk di dalamnya. Crit! Kecipratan deh!
On Sidokepung, 2021
http://sastra-indonesia.com/2021/02/raffles-gubernur-jenderal-penebus-tanah-besoeki/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar