Jikalau tikus-tikus sudah menjadi tidak seperti tikus lagi lantaran tak mau maling dan jinaknya bukan main hingga dia mau saja kita elus-elus lalu ketika kita masukkan ke saku celana dia diam saja, apa jadinya dengan manusia. Mereka pasti sudah menjadi tidak seperti manusia lagi hingga gemar sekali di tempat gelap untuk berbuat seperti tikus dan kadangkala menyuruk-nyurukkan moncongnya yang juga berkumis apabila kedapatan olehnya apa saja yang patut untuk disuruki moncong. Ini tak boleh terjadi. Hingga tikus harus kembali kita tikuskan dan kita biarkan maling apa saja atau janganlah dia diusik walaupun dengan ganas menggeragoti makanan manusia yang memang ditakdirkan juga menjadi makanannya. Aku lalu tidak berani lagi mengejar-ngejar dia atau memasang perangkap. Dan tatkala dia dengan berani memanjat tubuhku lalu menggeragoti bibirku yang baru saja melahap ikan asin, kubiarkan saja sambil menahan sakit yang ditimbulkannya. Bahkan ketika istriku kaget dan menjerit aku tetap tenang dan bilang :
“Tenang. Aku tetap manusia dan dia normal sebagai tikus”.
“Kalau begitu, meskipun manusia, kamu ini sudah sinting. Lihat bibirmu, berdarah kan?”
“Biar”.
“Itu kan bisa diobati”.
“Lalu tikus-tikus itu?”
“Biarkan saja, itu sudah perangainya. Sebagai manusia kita ini harus tetap menjadi manusia. Hanya paling-paling lebih dituntut untuk berhati-hati”.
“Tidak bisa”.
“Lalu?”
“Tikus-tikus itu harus binasa”.
“Itu juga tidak bisa. Bayangkan sekali beranak berapa. Dan kau hamil sekali dia sudah melahirkan enam kali”.
“Kalau begitu kita harus menjinakkannya”.
Betul. Sejak malam itu istriku selalu menyediakan makanan yang lezat-lezat di atas meja. Dan ketika barisan tikus itu menyerbunya dibiarkannya saja hingga makanan itu dalam sekejap saja ludas. Dia membuka lemari dan tempat beraspun tak pernah ditutupnya lagi. Sedikit demi sedikit dia melatih tikus itu agar menjadi jinak dan mau dipegang-pegang. Karena biasa diberi makan, lama-kelamaan usaha istriku ini berhasil. Bahkan ketika usahanya ini akan menemui kegagalan lantaran perbuatan seekor kucing, dengan ganas binatang itu dicincang dan dagingnya disajikan pada tikus piaraannya. Akibat dari perbuatannya ini tikus memang menjadi sangat jinak. Dia mau dielus-elus dan dipegang, bahkan tak jarang ada anak-anak tikus yang keluar masuk kutang dan dasternya. Makanan memang tak pernah lagi dicuri sebab telah disajikan dengan aman di tempat terbuka. Aku tak perlu repot lagi menjahitkan bibirku karena sejak itu tikus yang memanjat tubuhku bukan bermaksud untuk menggigit bibirku tapi sekedar berolahraga sambil bercanda menggodaku. Aku senang sekali melihat hasil jerih payah istriku. Tapi ketika uang rapelanku turun, segera kuantar dia ke depan penghulu untuk kuceraikan. Sejak itu aku menjadi duda dan istriku pun sekarang menjadi seperti manusia lagi. Sering kulihat dia keluar masuk di tempat-tempat yang gelap entah apa saja yang dikerjakannya di sana, hanya saja aku berharap dia tetap seorang manusia dan tak pernah berbuat seperti tikus.
Akibat dari perceraian itu anggaran belanja istriku untuk para tikus terpaksa dikurangi sedikit, hingga akhirnya dihapuskan sama sekali. Dia terpaksa membeli beras hanya khusus untuk dirinya sendiri. Dan ketika inipun sulit untuk dilaksanakannya terpaksalah dia menggantinya dengan singkong. Dan entah bagaimana caranya dia tetap bisa bertahan hidup. Entah sebagai manusia seratus persen atau sebagai tikus sekian persen aku kurang begitu tahu. Yang jelas dia tetap tabah dan bertahan. Justru aku yang dalam keadaan ini kerepotan.
Seperti lazimnya manusia yang dikaruniai kelamin laki-laki dan kebetulan juga normal bentuk serta kerjanya, lama-kelamaan hidupku tambah runyam. Aku memang tetap bisa menggauli wanita-wanita gituan, tapi jelas bukan secara teratur tiap malam seperti yang kuharapkan. Soalnya anggaran untuk itu kelewat besar bila dibiarkan. Hitung punya hitung akhirnya kuputuskanlah untuk kembali saja menemui istriku. Tapi apa katanya?
“Aku kan bukan lagi istrimu?”
“Tapi aku kan laki-laki dan kau perempuan?”
“Tapi aku tetap bukan istrimu lagi. Aku tidak mau”.
“Tapi dengan lelaki lain mau?”
“Tapi kau kan bukan tikus yang mampu menunggangi tikus lain yang bukan bininya? Katanya kau manusia?”
“Ya, tapi aku mampu menunggangimu. Maksudku aku mampu membayarmu”.
“Tapi aku tidak mau. Aku tidak mau!”
Baiklah, aku mengalah. Malam itu aku terpaksa kembali pada langgananku. Maksudku langganan bakti. Karena perutku lapar, makanlah aku kenyang-kenyang. Sejak menduda aku memang selalu makan di luar. Dalam bulan-bulan biasa memang tak ada persoalan. Tapi ketika bulan Ramadhan tiba repotlah semua. Aku terpaksa bekerja sambil menanggung lapar dan haus. Bukan hanya di siang hari tapi juga malamnya, sebab tak ada warung yang buka di sekitar tempat tinggalku. Untuk mengatasi keadaan ini datanglah aku menemui bekas istriku lagi. Dia nampak sedang masak dan nampaknya enak sekali yang dimasaknya.
“Hallo!” Seruku di depan pintu. Dia kaget dan melongok.
“Datang lagi?”
“Ya. Sedang masak apa, nampaknya kok enak?”
“Jelas enak karena ini paha ayam, itu nasinya dan sambalnya juga siap sebentar lagi.
“Tepat kalau begitu. Aku juga sudah lapar kok”.
“Ya, silahkan. Teruskanlah laparmu, aku mau makan sendirian”.
“Jangan keterlaluan”.
“Siapa yang keterlaluan?”
“Kamu!”
“Lo, ini kan hasil jerih payahku sendiri, masakan kau mau minta?”
“Bukan minta. Ini aku juga bisa kalau disuruh membayar”.
“Sori, ini bukan warung bakti”.
“Tapi aku sudah sangat lapar dan sekarang tak ada warung yang buka lantaran bulan Ramadhan”.
“Aku tak mau tahu, kita kan sudah tak ada hubungan!”
Bajingan! Aku lalu mengumpat dan pergi. Tapi sesampai di rumah aku tak kunjung bisa memejamkan mata. Kalau tikus sudah tidak seperti tikus lagi, manusia memang celaka. Bayangkan, yang namanya tikus saja tak pernah dia kelaparan. Masakan aku yang konon makhluk lebih mulia sampai terpaksa puasa siang-malam sebulan lamanya. Esoknya aku tak berangkat kerja dan buru-buru kutemui bekas, sekali lagi “bekas” istriku. Sayang dia tak ada di rumah. Sorenya aku kembali lagi dan kukatakan terus terang bahwa aku ingin sekali kembali padanya.
“Baik, katanya dengan tegas. Tapi carikan rumah yang lebih layak untuk tinggal seorang manusia, hingga tikus-tikus tidak kerasan tinggal di sana”.
Permintaan bekas istriku itu kusanggupi. Aku akan mencari rumah yang lebih baik dari rumah yang kami tempati dulu. Karena gajiku memang tak memenuhi syarat untuk keperluan itu, padahal kemampuan untuk ngobyek dengan cara lain tak diwariskan oleh kedua orang tuaku, terpaksalah aku menempuh jalan tengah. Untung pekerjaanku memang melibatkan tanganku untuk memegang serta menimang-nimang uang. Dalam waktu yang singkat sifatku sebagai manusia kusisihkan untuk kemudian kuganti dengan moncong tikus yang lincah dan rakus. Angka-angka kusulap supaya yang kusikat tak lekas tersingkap. Dengan rapi seluruh manusia di kantorku kuberi rezeki, mulai dari atasanku sampai tukang pel dan sapu, semua mendapat bagian. Dengan kata lain kugiring mereka itu untuk ikut serta ramai-ramai menjadi tikus, hingga segala periketikusanku menjadi sah dan aman. Dan beberapa bulan kemudian aku memang sudah kembali beristri dan menempati sebuah rumah yang lebih layak untuk ditempati manusia. Sekarang aku tak perlu lagi terganggu oleh tikus-tikus yang memanjat dan menggigit bibirku. Juga istriku tak perlu repot dengan menyediakan anggaran belanja ganda untuk manusia dan tikus-tikusnya. Tapi baru saja kebahagiaan ini kukecap, datanglah semprotan yang tajam dari pihak atasan.
“Kalau duit kantor mau kau korbankan hanya demi kepentingan menikuskan kembali tikus, lebih baik kamu menjadi tikus saja sekalian”.
“Maksudnya?”
“Kalau kau ini maling duit kantor hanya untuk mendapatkan rumah yang tak bertikus, lebih baik kujebloskan saja kau ke kandang tikus”.
“Jadi seharusnya kupakai untuk apa duit itu?”
“Untuk apa? Seharusnya tak boleh dipakai, tak boleh dicuri. kau tak boleh korupsi, tahu?”
“Tapi kan bapak ikut makan?”
“Stop! Coba buktikan!”
Aku terhuyung. Aku terhuyung-huyung masuk ke kamar tahanan. Aku ditahan dan tidur serta berak bercampur dengan tikus-tikus. Mereka itu tikus-tikus yang kuat; yang pernah membunuh, ada yang memperkosa tetangga, ada yang merampok bank dan lain-lain. Bludrekku kumat. Di sini susah mataku membedakan mana yang manusia dan mana yang tikus sesungguhnya. Sebab kalau malam tiba, tikus yang sesungguhnya itu hanya melintas. Tak mau dia berhenti di ruang tahanan ini karena memang tak ada yang pantas untuk dicuri. Atau lantaran ngeri menyaksikan tikus-tikus lain yang lebih rakus dari dia sendiri?
***
Sumber : Buku Kentrung Itelile, Penerbit Puspa Swara, Tahun 1993.
*) F. Rahardi, lahir di Ambarawa, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah; 10 Juni 1950. Penulis puisi, cerita pendek, artikel, esai, kritik sastra, novel dan buku-buku non fiksi sejak tahun 1969. Kumpulan Puisi Tuyul (Pustaka Sastra 1990) mendapatkan Penghargaan Badan Bahasa 1995. Prosa lirik Negeri Badak (Visi Media 2007) mendapatkan penghargaan SEA Write Award 2009. Novel Lembata (Lamalera 2008) mendapatkan penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa 2009. http://sastra-indonesia.com/2021/07/menikuskan-tikus/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar