Sabtu, 31 Juli 2021

Perut

Yanusa Nugroho
Jawa Pos, 03 Feb 2008
 
Malam larut, pekat, panas seperti ter. Tak ada udara yang mau bergerak, dan orang-orang itu pun seperti kehilangan pikiran.
 
Sementara laki-laki itu sendiri bahkan tak punya sebatang rokok pun untuk diisap. Kemarin, istrinya marah besar. Mungkin kesurupan roh Betari Durga. Semua dikutuknya. Bahkan tempayan kosong mereka, yang sudah beberapa bulan ini tak sempat terisi apa-apa itu, dikutuknya habis-habisan. Untunglah, kutukannya tidak manjur, sehingga tempayan itu tetap berujud tempayan.
 
Sesaat dia hanya melihat sekeliling. Panas yang pengab ini tak memberi harapan apa-apa. Suara orang-orang tadarus di surau dan langgar-langgar, terdengar sayup, menyelusup dari celah-celah udara panas. Sampai malam ini, istrinya masih saja mengomel dan mengutuki apa saja yang bisa dikutukinya. Mungkin itulah yang bisa dilakukannya untuk saat ini. Dan laki-laki itu memilih keluar rumah.
 
Dilihatnya anaknya duduk diam bertelanjang dada. Umurnya baru 6 tahun, tetapi dia sudah menerima kutukan emaknya. Laki-laki itu tak tahu harus bersikap bagaimana. Akan membelanya atau membenarkan ibunya. Dua-duanya salah sekaligus punya alasan yang bisa membenarkan tindakan masing-masing.
 
Dipanggilnya anak itu. Dan bocah itu pun berjalan ke arahnya dengan langkah gamang. Pasti di benaknya, bukan mulut sang ayah yang akan bicara, tetapi tangan. Aneh memang, mengapa tiba-tiba laki-laki itu merasa mampu dan fasih bicara dengan tangan. "Sini," tegasnya. Dan dia dengan langkah kecil yang ragu-ragu akhirnya mendekat dan duduk di samping ayahnya.
 
"Belum tidur?"
"Belum ngantuk."
"Kemarin kenapa?"
"Haus."
"Haus? Kok, emakmu sampai meledak-ledak begitu?"
 
Dia diam. Sebetulnya laki-laki itu sudah tahu akar masalahnya, tapi dia ingin agar anaknya bicara sendiri kepadanya. Laki-laki itu seolah ingin menguji apakah masih ada kejujuran dari mulut seorang bocah.
 
"Haus, Pak. Aku bilang sama emak, aku haus. Lantas aku cari yang bisa diminum. Terus yang di botol itu aku minum."
 
"Tapi, itu kan, minyak tanah."
"Tapi aku haus."
"Kamu minum minyak tanah?"
"Iya. Aku haus."
 
Sekarang laki-laki itu yang diam. Dia kehilangan kata-kata, sebagaimana biasa. Dan sebagaimana biasa, tangannya ingin segera ambil bagian. Tetapi, entahlah, melihat sosok anaknya yang kecil, dekil itu, dia tak bisa apa-apa. Pantaslah, emaknya mengutuk sepanjang hari. Minyak tanah yang harus dibeli dengan harga selangit itu, dengan antrean hampir setengah hari itu, ditenggak tuyul kecil itu sampai tuntas.
 
"Kenapa tidak minum air saja."
"Nggak enak, Pak. Air nggak ada rasanya."
 
Laki-laki itu tersenyum dalam hati. Diam-diam dia pun membenarkan ucapan anaknya. Minyak tanah memang lebih nikmat. Di badan memberikan tenaga luar biasa. Dia sendiri pernah meneguk sesendok --tentu saja diam-diam.
***
 
Dibiarkan anaknya tertidur di balai-balai luar. Kasihan jika di dalam rumah. Selain pengab, ucapan emak akan membuatnya lebih tersiksa.
 
Orang-orang yang juga duduk di pelataran menunggu angin lewat itu, mendekatinya. Mereka juga tak jauh beda dari laki-laki itu. Pasti mereka sedang disemprot habis-habisan oleh istri masing-masing.
 
"Kau tahu Bukit Sungsang?" Tiba-tiba Najib meludahkan kata-katanya.
"Pernah dengar namanya, tapi belum pernah ke sana. Ada apa?" jawab laki-laki itu.
"Di kakinya, katanya, ada sekubangan tanah yang bisa dimakan."
 
Semua terdiam, sebuah gambaran peluang melintas di benak masing-masing. Nikmat betul jika ada tanah yang bisa dimakan, "Tapi, apa tak perlu dimasak?" tukasnya menegaskan.
 
"Tidak. Raup dan masukkan mulut. Katanya gurih. Ada garamnya."
"O... aku ngerti. Dulu, mbahku juga bikin campuran kerupuk pakai tanah. Kalau ndak salah namanya bleng," ucap entah siapa.
"Mungkin. Aku ingin ke sana. Ada yang mau ikut?"
"Kapan?"
"Kenapa tunggu besok jika bisa dilakukan sekarang?"
"Iya, tapi Bukit Sungsang itu di mana?"
Semua diam kembali.
***
 
Bumi melengkung kepanasan. Sawah-sawah meruam, mengelupas, pecah-pecah. Sungai-sungai kecil mati kering dengan lidah-lidah terjulur kehausan. Terik kemarau di bulan Ramadan ini membuat laki-laki itu berpikir keras soal makanan. Maaf bila menyinggung perasaan, tetapi, tolong berikan pokok percakapan lain yang paling baik untuk dibincangkan selain makanan.
 
Maka melangkahlah kaki-kaki orang sekampung. Tentu semuanya laki-laki. Sekelompok manusia yang hanya bisa berpikir soal makan apa. Ah, apa yang salah dengan itu? Dia harus berpikir hanya soal itu, karena jika bukan dirinya, siapa lagi? Jika saja ucapan Najib benar, maka seisi kampung mendapatkan sorga dunia. Bayangkan, tak perlu minyak tanah, beras, bahkan korek api untuk mengganjal perut. Cukup meraup tanah, memasukkannya ke mulut. Kenyang! Hidup!
Ya, ini harus diperjuangkan dan memang pantas diperjuangkan.
***
 
Bukit Sungsang. Sebuah nama yang samar-samar tertinggal di kenangannya. Nama yang hanya sering muncul lewat cerita bapak, kakek atau orang-orang tua di kampung ini. Di mana persisnya, dia sendiri belum tahu, dan rasanya, mereka --orang-orang dalam rombongan ini-- juga tak lebih tahu.
 
Tapi, persetan dengan semua pengetahuan. Perut akan menuntun kita ke mana makanan bisa didapat. Bahkan semut pun mampu mengendus makanan. Juga kumbang, larva dan apa pun yang di muka bumi ini mampu mengendus makanan, mengapa manusia tidak?
 
"Rasanya itu…," ucap Najib yang berjalan di depan. Dia menghentikan langkah. Semua yang ada di belakangnya pun berhenti. Mata mereka terpaku pada sosok bukit yang entah mengapa menurut mata mereka aneh bentuknya. Seharusnya, bukit mengerucut, mirip gunung dengan ukuran lebih kecil tentu saja. Ini tidak.
 
"Mirip gada," komentar salah seorang.
"Iya, ya. Kok, kayak ketimun."
"Hus! Ketimun nggak gitu. Itu gada."
"Itu Bukit Sungsang," tandas Najib yang segera melanjutkan langkah.
"Jib, jangan buru-buru ke sana," cegah Ngatiman.
"Kenapa?"
"Biasanya, tempat aneh seperti itu, ada ’penjaganya."
 
Ucapan Ngatiman menghentikan langkah semuanya, sekali lagi. Tak jelas, sebetulnya, apakah karena takut atau alasan lain. Yang jelas mereka akhirnya berhenti pada jarak tertentu.
 
Tetapi, tanpa alasan yang jelas pula, tiba-tiba Najib melangkah dan mereka pun ikut melangkah, termasuk Ngatiman. "Tanggung jawab lho Jib," ujarnya cemas.
***
 
Dunia adalah lempengan tegak lurus, yang harus dititi dengan hati-hati. Mereka merayap perlahan, dan tak boleh ada kesalahan. Kesalahan hanya punya satu muara: kematian. Maka, dengan harap-harap cemas, para lelaki itu mendekati Bukit Sungsang. Kian dekat dengan kaki bukit itu, degup jantung mereka kian menguat.
 
"Itu... itu…yang menggunduk di tanah lapang itu..."
"Apa mungkin itu tanah yang dimaksud?"
"Mungkin."
"Terus gimana?"
"Ya, kita coba."
 
Maka bergegaslah kelompok itu mendekati gundukan tanah halus kecoklatan, agak basah di tanah lapang. Mereka kemudian jongkok berkeliling, mengamati gundukan tanah yang sekilas warnanya mirip gula Jawa itu. Seseorang kemudian menutulkan telunjuknya. Yang lain mengawasi. Jari itu masuk mulut. Semua mata mengikuti. Mulut yang komat-kamit, lalu menelan. Semua mata terpaku, jakunnya turun-naik.
"Enak..."
 
Maka, tanpa komando, para lelaki yang mengepung gundukan tanah itu meraup tanah dan memasukkannya ke mulut. Pipi menggembung, kecap mulut berkeceplak rakus. Keriangan dan kenikmatan membias di wajah mereka. Lidah mereka mencecap rasa gurih yang nikmat.
 
"Seperti keripik kelapa, ya…"
"Pernah makan, memangnya..?"
"Belum."
 
Dan mereka pun tak mau tahu lagi jawaban apa yang pantas keluar untuk setiap pertanyaan. Mereka hanya mau makan dan makan.
***
 
Senja meredup. Merah menembaga. Serombongan lelaki pulang, masing-masing memanggul buntalan tanah di pundak. Mereka berjanji bahwa esok akan kembali dan membawa makanan itu lagi.
Malam itu sekampung kenduri tanah. Tanah makan tanah, sebelum kembali menjadi tanah.
***
 
Lima hari lagi Lebaran. Para lelaki tak pernah menghitung hari. Mereka sepakat akan ke bukit lagi. Tak perlu minyak tanah. Tak butuh api. Tak usah beras. Perut mereka kenyang makan tanah. Cukup sudah kebutuhan hidup. Maka, berkemaslah mereka membawa pikulan bambu.
 
Namun, begitu langkah mereka tiba di kaki bukit, betapa terkejut mereka ketika dilihatnya bukit itu dijaga tentara. Senapan mereka laras panjang dan mustahil tanpa peluru. Sebagai penemu, mereka merasa berhak. Meskipun moncong senjata yang mereka ajak bicara, para lelaki itu berkeras mempertahankan isi perut mereka.
 
"Ini sumber makanan kami," teriak Najib seakan mewakili kawan-kawannya.
"Ini pertambangan negara. Siapa pun dilarang menambang di sini."
"Kami nggak cari apa-apa, cuma tanah itu. Itu makanan kami, Pak."
 
Komandan penjaga mengerutkan dahi. Dia sadar hanya akan menghadapi orang kurang waras. Kelaparan membuat pikiran terbalik. Dia pun memberi aba-aba agar membiarkan saja orang-orang itu berlalu. "Awas, kalian tidak boleh memasuki batas ini," ucapnya sambil menunjuk pada tanda larangan.
 
Para lelaki itu tak menjawab. Mereka hanya ingin segera menggali makanan mereka dan membawanya pulang. Tentu saja, setelah sebelumnya mereka berkenduri di kaki bukit itu. Para penjaga itu terlongong-longong ketika mata mereka menyaksikan kenikmatan para lelaki itu menyantap tanah. Ada yang menjilati jari-jari mereka sendiri, layaknya membersihkan sisa bumbu gulai kambing di sela-sela jari. Ada yang besendawa besar, lalu mematahkan lidi, mengorek-ngorek mulut, seolah mencongkel sisa daging terselip di gigi.
Komandan penjaga bergidik. Perlahan dia memerintahkan anak buahnya mundur teratur. Pemandangan yang disaksikannya benar-benar tak masuk akal. Melihat para penjaga itu mundur, salah seorang yang melempar-lemparkan butiran tanah kecil ke mulutnya seakan makan kacang bawang, segera memanggil dan mengajaknya bergabung. Panggilan itu rupanya terdengar lebih menyeramkan daripada lolongan srigala di malam hari, dan itu membuat para penjaga daerah pertambangan itu pontang-panting.
 
"Hahahahaha... orang bego, diajak makan, malah mabur…," ujar salah seorang.
"Biar saja, perut mereka tak bisa makan tanah."
 
"Lidah mereka sudah keriting. Hahahaha…biar saja. Yang penting, kita sudah menawari mereka, kalau tak mau, ya, salah dia... Ayo, lho.. jangan malu-malu," ucapnya sambil mencolek tanah dan menjilati layaknya menjilati semangkok gulai kambing.
***
 
Entah sekarang, apa yang terjadi dengan desa itu, tak ada yang peduli. Para penjaga yang pernah ditugaskan di daerah pertambangan emas milik negara itu dianggap orang gila, lantaran mewartakan ada kelompok manusia yang makan tanah mentah-mentah. Itu sebabnya aku tertarik dengan fenomena ini. Aku justru ingin menemui salah seorang penjaga itu dan mengajaknya ke wilayah itu.
 
Aku ingin tahu, bagaimanakah struktur jaringan perut mereka, sehingga bisa menerima dan mencerna tanah. Perut yang bisa menghancurkan besi, sudah ada di jurnal-jurnal, tetapi tanah? Ini sebuah fenomena menarik. Aku harus mengambil sampel perut mereka, membawanya ke lab dan menelitinya. Mungkin, ini akan menjadi sebuah solusi penting bagi dunia. Dan, barangkali saja, aku bisa merumuskan dan bahkan memproduksi semacam tablet yang bisa membantu lambung dan pencernakan manusia, sehingga mampu mengonsumsi apa saja; termasuk tanah mentah. Aha, sebuah ide menarik. Perut, pengendali utama ras manusia. Dan, sesungguhnya, inilah yang mengendalikan peradaban. Hahaha…
***

Pinang, 982 http://sastra-indonesia.com/2021/07/perut/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

20 Tahun Kebangkitan Sastra-Teater Lamongan A Jalal A. Anzieb A. Khoirul Anam A. Mustofa Bisri A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja Abdoel Moeis Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdullah Abubakar Batarfie Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Achdiat K. Mihardja Achiar M Permana Adek Alwi Adhi Pandoyo Adib Baroya Aditya Ardi N Adri Sandra Adu Pesona Sang Wakil Cawapres RI Afrizal Malna Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Buchori Agus Dermawan T. Agus Mulyadi Agus Prasmono Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahmad Farid Yahya Ahmad Hasan MS Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Saifullah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alawi Al-Bantani Alfatihatus Sholihatunnisa Alfian Dippahatang Ali Audah Alim Bakhtiar Amie Williams Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amril Taufik Gobel An. Ismanto Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 AndongBuku #3 Andrea Hirata Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Antologi Sastra Lamongan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Arafat Nur Ardi Wina Saputra Ardy Suryantoko Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arman A.Z. Arsyad Indradi Asarpin Ashimuddin Musa Asrul Sani Astuti Ananta Toer Atafras Audifax Awalludin GD Mualif Ayu Nuzul Azizah Hefni B Kunto Wibisono Bahrul Amsal Bambang Kempling Beni Setia Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bloomberg Bre Redana Budaya Budi Darma Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Candra Adikara Irawan Candrakirana Cangaan Ujungpangkah Gresik Jawa Timur Capres Cawapres 2019 Catatan Ceramah Cerpen Chairil Anwar Chicilia Risca CNN Indonesia Coronavirus COVID-19 D. Zawawi Imron Damiri Mahmud Darju Prasetya Darman Moenir Deddy Arsya Denny JA Denny Mizhar Devy Kurnia Alamsyah Dhoni Zustiyantoro Dian Sukarno Didin Tulus Dien Makmur Din Saja Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Donny Anggoro Donny Darmawan Dr. Hilma Rosyida Ahmad Dwi Cipta Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dyah Ayu Fitriana Ecep Heryadi Edy Suprayitno Eka Budianta Eka Kurniawan Elok Dyah Messwati Engkos Kosnadi Erdogan Erwin Setia Esai Esti Nuryani Kasam Evan Ys F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Fahrur Rozi Faidil Akbar Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathul Qorib Fatkhul Anas Feby Indirani Felix K. Nesi Festival Teater Religi Festival Teater Religi Pelajar SLTA Se-kabupaten Lamongan Fira Basuki Forum Santri Nasional (FSN) Frischa Aswarini Fuad Mardhatillah UY Tiba Fuad Nawawi Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gde Artawan Geger Riyanto Geguritan Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Guenter Grass Gus Ahmad Syauqi Gus tf Gusti Eka Habib Bahar bin Smith Haiku Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Han Gagas Hary B Koriun Hasan Basri Hasnan Bachtiar Heri Ruslan Herman Hesse Hertha Mueller Heru Kurniawan Hestri Hurustyanti Holy Adib Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu I Made Prabaswara I Made Sujaya IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah) Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Iksaka Banu Imam Jazuli Imam Nawawi Imammuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Mahadi Indra Tjahyadi Irfan Afifi Irine Rakhmawati Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS J.S. Badudu Jadid Al Farisy Jajang R Kawentar Jawa Timur Jean Marie Gustave le Clezio JJ. Kusni Jl Raya Simo Sungelebak Jo Batara Surya John H. McGlynn Jordaidan Rizsyah Jual Buku Paket Hemat Juara 3 Lomba Lompat Jauh DISPORA LAMONGAN Jurnalisme Sastrawi K.H. Ma'ruf Amin Kadek Suartaya Kaheesa Kirania Putri Ayu Kahfie Nazaruddin Kalis Mardiasih Kamaluddin Ramdhan Kanti W. Janis Karanggeneng Kardono Setyorakhmadi Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Pantura (KBP) KetemuBuku Jombang KH. M. Najib Muhammad KH. Muhammad Amin (1910-1949) Khairul Mufid Jr Khawas Auskarni Khoirul Abidin Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kitab Arbain Nawawi Kodrat Setiawan Kompas TV Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra dan Teater Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) Kopuisi Kostela Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kurnia Effendi Kuswaidi Syafi’ie L Ridwan Muljosudarmo L.K. Ara Lamongan Lan Fang Lawi Ibung Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Literasi Liza Wahyuninto Lukas Luwarso Lukisan Lukman Lukman Santoso Az Lutfi Mardiansyah M Farid W Makkulau M. Faizi M.D. Atmaja Madrasah Aliyah Matholi'ul Anwar Madrasah Ibtida’iyah Thoriqotul Hidayah 1 Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S Mahayana Manado Manneke Budiman Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mario F. Lawi Marsel Robot Martin Aleida Marwanto Mashuri Massayu Masuki M. Astro Masyhudi Media Seputar Pendidikan Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Purnama di Kampung Halaman Mereka yang Menjerat Gus Dur MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mien Uno Moh. Dzunnurrain Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Rafi Azzamy Mohammad Rokib Mohammad Yamin Muafiqul Khalid MD Much. Khoiri Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alfatih Suryadilaga Muhammad Antakusuma Muhammad Fikry Mauludy Muhammad Hafil Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad N. Hassan Muhammad Subarkah Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Muhyiddin Mukadi Mukani Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Musa Ismail Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang E S Nara Ahirullah Naskah Teater Nezar Patria Noor H. Dee Nunus Supardi Nur Haryanto Nur Wachid Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Okky Madasari Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Pameran Lukisan Parimono V / 40 Plandi Jombang PC. Lesbumi NU Babat PDS HB Jassin Pelukis Dahlan Kong Pelukis Tarmuzie Penculikan Aktivis 1988 Pendidikan Pengajian Pengarang kelahiran Lamongan Pentigraf Pepaosan Perbincangan Peringatan Hari Pahlawan 10 November Pilang Tejoasri Laren Lamongan Jawa Timur Pipiet Senja Politik Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Jokowi Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi (PMK) Puji Santosa Pustaka LaBRAK PUstaka puJAngga R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Reuni dan Halal Bihalal Mts Putra-Putri Simo 1992 Ribut Wijoto Riki Antoni Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Robin Al Kautsar Rodli TL Roland Barthes Rosi Rosihan Anwar RR Miranda Rumah Budaya Pantura (RBP) S. Jai S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabrank Suparno Safitri Ningrum Sainul Hermawan Sajak Salman Aristo Sandiaga Uno Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Sastra Tasikmalaya (SST) Sarasehan dan Launching Buku Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Kuno Suku Sasak Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Satu Jam Sastra Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seni Gumira Ajidarma Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Pendidikan Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sirdjanul Ghufron Siwi Dwi Saputro Slamet Rahardjo Rais Soediro Satoto Soekarno Soeparno S. Adhy Soesilo Toer Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Handi Lestari Sri Wintala Achmad STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sujatmiko Sukarno Suminto A. Sayuti Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahrudin Attar Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Sylvianita Widyawati Tangguh Pitoyo Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teater nDrinDinG Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tias Tatanka Timur Sinar Suprabana Titi Aoska Tiyasa Jati Pramono Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Toni Masdiono Tri Broto Wibisono TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Jember Universitas Negeri Jember Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyu Aji Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Wiji Thukul Wildan Nugraha Wildana Wargadinata Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yerusalem Ibu Kota Palestina Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Herwibowo Yuditeha Yusri Fajar Yuval Noah Harari Zainal Arifin Thoha Zainuddin Sugendal Zara Zettira ZR Zehan Zareez Zuhdi Swt