Jawa Pos, 01 Juli 2007
Ia pergi dengan gayanya yang gagah. Tangannya meraih kemeja dan celana, lantas mengenakannya. Ia sisir rambutnya, ia tuangkan minyak pelicin di atasnya. Laki-laki itu meraih jam tangan di meja sisi ranjang tempatku rebah, menyemprotkan minyak wangi, mengambil tas, dan memakai sepatu. Tanpa menolehku yang pura-pura terpejam, ia membuka pintu terkunci itu. Tak ada bunyi derit. Cukup halus ia membuka dan menutupnya. Barulah suasana tenang. Seperti lautan yang sepi gulungan ombak. Seperti pasar yang jelang petang. Seperti sekolahan yang ditinggalkan para murid.
Aku beranjak, membuka selimut yang sedari tadi menutupiku. Selimut ini kugunakan untuk mendukung peranku di hadapan laki-laki gagah tadi. Aku selalu berperan sebagai perempuan yang masih nyenyak dengan rangkaian mimpi bila menjelang pagi. Padahal aku melihatnya berkemas, melihatnya bergegas. Sampai dia berlalu dari balik pintu terkunci itu. Sampai kudengar deru motor dari luar rumah. Sampai kurasakan sepi panjang kembali hadir di rumah ini.
Langkah lemah. Berkali-kali aku mendesah. Semalam aku telah selesaikan tugasku lagi. Seperti beberapa malam yang lalu. Sungguh aku letih, aku perih. Tubuhku makin banyak deret-deret luka merah muda. Di leher, bawah puting, punggung, dada, selakangan, dan kemaluan. Laki-laki itu masih tetap dengan gaya harimau buas menyerangku. Ia lupa bahwa sebetulnya aku adalah kayu apung di atas lautan. Tak bisa apa-apa, tak tahu apa-apa. Mungkin dalam matanya aku adalah rusa gemuk, sehingga ia menyantapku puas-puas, mengulitiku, mencucup keringatku, menyedot energiku, membobol isi perutku, dan membuat garis-garis darah tertahan di punggung dan leherku. Tak hanya itu, ia merenangi sumurku yang berlumut tak sudah-sudah. Seribu kali aku mengerang, seribu kali pula ia berganti gaya. Aku nyaris pingsan, tapi ia memintaku bertahan.
Di depan sebuah cermin, aku melihat diriku yang telanjang. Tubuhku banyak goresan, banyak darah tertahan. Paling banyak di bagian kemaluan. Mataku berat dan serat. Aku seperti gunung yang mual dengan panas dalam tubuhku. Dalam tubuhku, cairan mendidih. Sementara tubuhku amat letih, tak bisa menahan rasa nyeri dan mual yang kian memutih. Kutatap diriku yang sayu dalam cermin. Tatapan mataku redup. Bibirku pucat. Napasku terengah. Beberapa jenak aku jatuh sampai membentur cermin. Tubuhku tergeletak begitu saja. Sebelumnya, aku sempat melihat air mataku menetes dua butir. Setelah itu gelap. Gelap yang sungguh pengap.
***
Jam dinding di kamar masih terus menambah angka. Sedang ruangan berpintu itu masih berdiri dengan angkuh. Waktu dan ruangan seolah-olah berkolaborasi mempermainkanku. Hari-hariku tetap saja hambar. Tak ada tambahan warna atau rasa baru. Semuanya seperti ini. Hitam. Putih. Hitam lagi. Putih lagi. Padahal, berapa banyak sebenarnya warna yang ada dalam plastik kehidupan? Bukankah hidup adalah ragam? Pilihan? Aku tak tahu, kenapa nasibku begitu angkuh. Ia tak izinkan aku memilih apa pun. Aku tetaplah perempuan dalam ruangan, menunggu detak-detak waktu yang terus melangkah tanpa bosan, menunggu laki-laki gagah itu pulang dari kerja, dan memintaku rebah di atas tempat tidur dengan telanjang. Sementara pintu itu tetap tertutup. Seolah ada yang menguncinya dari luar. Padahal kunci di lubang pintu masih menggantung. Aku bisa saja membukanya sekali waktu. Tapi aku selalu menyaksikan Mikail mengawasi gerakanku. Siap menyerang bila berani lewati batas pintu.
Kuobati luka memar akibat cakaran atau goresan kuku panjang laki-laki gagah tadi. Sesekali aku merintih pelan, sesekali aku sontak tersentak karena nyeri. Bahkan sesekali aku terpaksa menangisi tubuhku yang kian terluka. Ia melemparku tiap pagi serupa melempar handuk dari bahunya. Ia memungutku tiap malam serupa ia memungut air dalam gelas karena haus. Ia membiarkanku sepanjang siang dan sore, serupa ia membiarkan asap keluar dari lubang knalpot motornya. Entahlah, sebenarnya ia anggap aku apa. Apakah sebagai perempuan yang menyandang gelar istri atau cuma sebuah benda? Benda yang tak bersuara. Benda yang terkunci di balik pintu ruangan yang angkuh.
Telepon berdering. Tubuhku yang terbalut kain tipis sedikit terkejut. Apakah laki-laki gagah itu yang meneleponku? Ataukah orang lain? Kotak obat-obatan kuletakkan. Aku bergegas menuju meja telepon.
"Hallo?"
"Ini aku, Gesti."
Aku mengangguk. Dia tetanggaku. Aku selalu melihatnya keluar rumah setiap pukul tujuh pagi. Ia pekerja keras. Posturnya yang cantik membuatnya diterima bekerja pada sebuah hotel bintang lima di kota. Rumahnya tepat di depan rumahku. Pernah aku beberapa kali berbincang dengannya di daun jendela. Saat itu ia memintaku untuk keluar supaya bisa berbicara dengan bebas. Tapi aku mengatakan, kalau ruangan yang kuhuni adalah ruangan yang angkuh. Pintu tak pernah mau terbuka. Ada penjaga --walaupun entah apakah itu-- yang berdiri dan selalu mengawasi gerakanku.
"Aku melihat suamimu bersama seorang wanita ke restoran hotel tempatku bekerja."
Jantungku tiba-tiba berhenti. Tak hanya jantung, semua organ yang berdenyut seperti memberikan kesempatan waktu pada otakku untuk terkejut. Tapi, sepanjang pikiranku berjalan, hanya menemukan gang-gang buntu. Aku tak bisa pikirkan apa-apa lagi. Hanya hatiku yang tiba-tiba tercekat, merasakan sesuatu yang berat.
"Dan...dan aku...." Gesti menyetop kata-katanya. Aku menunggu dengan ketegangan luar biasa. "Aku melihat mereka sangat mesra. Bahkan..." Ketegangan itu memuncak. Aku seperti terdakwa yang sedang mendengarkan vonis hukuman mati dari majelis hakim. Satu-satu varian tubuhku melonjak ketakutan. Inilah ketegangan yang melahirkan sepi. Sepi yang siap dengan udara luka masuk di setiap sudut jendelanya. "...mereka memesan sebuah kamar hotel."
Tit! Aku mematikan benda yang menghadirkan suara Gesti. Barulah kurasakan semuanya berputar-putar, mengaduk-aduk isi tubuhku sampai datar. Baru sekali ini aku mendengar kalimat baru. Kalimat yang kejam. Langit siap copot dari atap yang menggantungnya. Aku nyaris jatuh pingsan seperti tadi pagi. Tapi lagi-lagi aku tertahan sesuatu yang bulat dari bilik nuraniku. Itu adalah kumpulan diamku menilai hidupku pasca-pernikahan. Ketidakmengertian, kepasrahan, ketidakberdayaan, kelemahan. Benar, semua menumpuk membentuk bulatan-bulatan kasar serupa batu bayangan dalam ruanganku (ruanganku ini memang dipenuhi batu abstrak sehingga membuatku sulit bergerak). Aku ingin muntah. Aku tak betah.
Tumpahlah. Segalanya menjelma aliran air dari mata yang tak punya muara. Ini lebih deras dari tsunami yang melipat ratusan hektare daratan. Lebih sakit dari seribu Izrail mencabut ruh jiwa yang menggigil. Kesakitan apakah. Ketidakmengertian apakah. Ya Tuhan, bau neraka sepertinya sudah mulai masuk ke dalam cuping hidung sempitku. Dia tak sekadar melemparku seperti handuk dari lingkaran lehernya, ia sekarang memotong-motong tubuh lusuhku untuk dijadikan alas kaki atau penghilang debu.
***
Pintu masih terkunci. Ini kali pertama malam tanpa laki-laki gagah. Pintu masih diam dengan keangkuhannya. Ia sama sekali tak iba melihatku menangis sendiri. Sebab laki-laki gagah tak datang, makin gelisahlah aku. Layaknya gelombang lautan, aku bergulung-gulung meruntuhkan diri. Diriku adalah manusia yang terbentur berbagai macam perasaan, pikiran, dan peristiwa. Semuanya tak pernah kumengerti. Satu pun tidak. Aku hanya mengerti bahwa laki-laki gagah memerintahku untuk diam di dalam rumah, menyediakan makanan dan minuman, membersihkan perabotan, menunggu pagar terbuka dan pintu kamar angkuh itu melebar. Aku juga hanya mengerti bahwa setiap ia memintaku untuk rebah di atas ranjang, wajiblah bagiku rebah. Tanpa gerakan penolakan apalagi perlawanan. Sudah kewajiban, begitu ia menjelaskan. Bahwa seorang perempuan yang berada dalam sarang laki-laki adalah budak. Budak yang harus menahan sakit dan lelah.
Semua kuanggap amat sakral. Seolah ada jagal siap memotong leherku bila aku meronta. Aku tak punya siapa-siapa sebagai labuhan. Aku hanya punya sepi yang terluka ini, dalam ruangan berpintu yang selamanya terkunci untukku. Aku istri yang dibelinya atas nama Tuhan. Dan, ia katakan, kalau fungsiku adalah sebagai penafkah batinnya. Cuma itu, tak ada yang lain.
Sampai malam berkemas dan pagi menyongsong lekas. Laki-laki gagah tak juga datang. Pikiranku kian mengambang. Aku ingin membuka pintu yang seolah terkunci itu dan mencarinya. Apakah benar laki-laki gagahku masih bersama perempuan asing dalam kamar hotel? Dunia ini ada untuk dikendalikan, tapi setiap kisah yang terbentang di wilayah duniaku seperti mengendalikanku. Aku tak punya kekuatan untuk mengambil keputusan. Entah karena statusku, entah karena ketakutanku sendiri. Tapi ketahuilah, aku sungguh khawatir. Khawatir laki-laki itu benar-benar akan meludahi namaku sebagai manusia!
***
Malam kedua, ketiga, dan keempat. Baru malam ini, malam keempat, tiba-tiba aku mendengar suara pagar rumahku terbuka. Aku bangkit dan mengenakan pakaian setelah separuh hari telanjang. Gores-gores luka akibat cakaran kasar laki-laki gagah itu sudah mengering. Kulitku kembali padat. Kemaluanku kembali rapi. Selangkangan juga sudah tak mengeluarkan darah tertahan. Sementara aku merasakan suasana ringan karena tak ada lagi lelah. Kuintip sumber suara dari balik jendela. Kulihat laki-lakiku pulang dengan motornya. Wajahnya tetap sangar. Matanya tetap menyembunyikan benda tajam. Aku menutup tirai dan duduk tegang di bibir ranjang.
Pintu terkunci itu terbuka. Laki-laki gagah dengan tas punggungnya berdiri tegap di tengah lubang keluar masuknya udara. Ia menatapku lama. Aku menunduk.
Tak seperti biasanya ia berjalan lemas. Ia lempar tas dan sepatu. Tanpa sepatah kata pun, ia mendekati ranjang. Aku terpejam. Menunggu pecah sesuatu yang bungkam. Sementara pintu perlahan-lahan tertutup. Sejujurnya karena angin, namun aku kira karena ulah Mikail yang siaga di depan pintu. Ia rebah begitu saja. Pejamkan mata begitu saja. Mendengkur begitu saja. Tanpa bilang, "Bersiaplah, buka pakaianmu! Layani aku dengan baik!"
Aku menelan ludah.
***
Laki-laki gagah tak pernah menjadikanku santapan makan malamnya lagi. Hari-hariku terasa begitu longgar. Tapi kelonggaran ini bukan malah membuatku bebas bernapas. Makin banyak pertanyaan yang tak bisa kujawab. Apakah laki-laki gagah sudah mulai merasa kalau selama ini ia telah melukai tubuhku? Kenapa ia tak pernah berbicara denganku lagi? Kenapa dia tak melihat ulahku lagi?
Dunia ini memang selalu bergeser dan berubah. Seperti waktu ia melangkah mencari hal dan suasana baru. Tak ada yang tahu ada apa dengan esok, nanti malam, nanti sore, beberapa jam ke depan, atau bahkan beberapa detik kemudian. Semuanya bergeser tanpa suara, membuat makin linglung manusia-manusia. Lantas apa tugasku? Bukahkah ia bilang, tugas perempuan dalam sangkar laki-laki adalah pelayan. Budak. Bila tak lagi difungsikan, lantas?
Nampaknya aku diubahnya menjadi seonggok benda tanpa guna.
Malam ini, aku heran dengan laki-laki gagah yang tiba-tiba menghardikku. Ia menjambak rambutku, menatapku dengan hunusan pandang beracun. Aku terbata, tapi masih bisa bertahan. Kakiku tak selemah dulu. Kakiku kuat menyangga tubuhku. Beberapa hari ini, luka di tubuhku memang memulih. Dan aku rasakan aku sedikit semangat.
"Kau sudah tidak berguna!" Kurasakan percikan ludahnya masuk ke telaga mataku yang gugup. Bau alkohol busuk membuatku mual. "Pergi sekarang!!"
Tanpa tahu apa pun, ia memerintahkanku pergi. Ia melemparku ke lantai. Sampai kepalaku membentur tembok. Sampai kakiku membentur ranjang. Sampai tanganku membentur meja rias. Darah mulai mengalir lagi.
Akhirnya, sekalipun tersengal, aku mencoba berdiri. Matanya yang meradang kulawan dengan keluguan air mata. Kukatakan, "Kenapa kau menyuruhku pergi? Apa memang begitu aturannya?! Bukankah kau sendiri yang bilang, bahwa aku harus menjadi penghuni tetap ruangan ini, sekalipun kau berangkat bekerja?! Pintu itu selalu mengunciku, dan aku selalu terima dia mengunciku!"
"Ya, aturannya memang begitu! Kau sudah bebas, pergi dari sini! Bahkan aku memerintahkanmu untuk tak kembali ke rumah ini!!"
Maka, untuk pertama kalinya, aku melewati pintu yang mengunciku selama setahun itu. Aku diusir laki-laki gagah dengan begitu tak manusiawi. Bibit dendam muncul pada mata batinku yang telah ia lukai. Aku baru tahu kalau cinta tak pernah kukulum selama ini. Yang kukulum adalah kepasrahan yang selalu ditertawakan kegagahannya!
***
Tapi setiap malam aku mengintai rumahku. Dengan taksi atau mobil tumpangan tetangga baruku, selalu kuselipkan mataku pada dinding rumah bercat coklat. Selalu ada motor itu. Selalu ada sandal itu. Selalu ada cahaya lampu itu.
Pertemuan dan perpisahan tidak pernah berada dalam jalan yang sama untuk bisa saling menjelaskan keduanya. Ia datang dan pergi seperti angin. Ia tinggalkan kotoran atau emas dalam tungku tanpa mengatakan untuk apa. Aku dipertemukan dan tiba-tiba dipisahkan. Tanpa ada kejelasan kenapa aku dipertemukan dan kenapa aku dipisahkan. Semuanya menjadi garis nasib yang cukup kejam untukku, entah untuk laki-laki gagah itu. Aku selalu ingat ulah binatang bila melihat laki-laki gagah keluar dari pintu yang terkunci. Kucing yang bersetubuh di jalan, ayam yang bertahi di jalan, sapi yang kencing di jalan, dan seterusnya. Wanita yang ia rengkuh bahunya itu diizinkannya melewati pintu yang terkunci. Ia juga diizinkan untuk berjalan-jalan di sebuah pasar swalayan atau diskotek kota. Kukira ia telah memiliki ragam warna. Ia telah mengenal merah, hijau, kuning atau bahkan campuran-campuran. Matanya senantiasa berbinar, kulitnya masih padat dan halus. Aku yakin, tak ada darah di sekitar tubuhnya setiap kali usai melaksanakan tugasnya melayani laki-laki gagah. Ada perbedaan perlakuan. Dan perbedaan itu justru ada pada jenis manusia yang sama. Perempuan. Wanita. Aku dan wanita itu.
Dia jauh lebih cantik. Jauh lebih muda. Benar, setiap hari aku mengawasi keduanya. Setiap hari aku mencari jawaban atas nasib yang selama ini kuterima. Aku selalu pulang dengan hal baru. Hal yang tak pernah kutahu sebelumnya.
Sampai pada malam ini. Aku melihat laki-laki gagah mencium wanita muda itu di depan pagar rumah. Cukup lama. Aku ingat ketika ia menciumku setelah tiba pulang kerja di ruangan terkunci itu. Menciumku dengan tangannya yang terus bergerak menggaruk punggungku yang telanjang. Setiap garukan menghasilkan goresan. Setiap goresan mengalirkan darah yang tertahan. Aku menahan sakit itu. Aku tak lupa, kalau laki-laki gagah selalu lupa memotong kukunya. Tapi, lihat dia sekarang, dia mencium wanita itu tanpa menggerakkan tangannya. Ia hanya mencium, menyedot cinta dalam cawan merah miliknya.
Setelah itu pintu dibuka. Keduanya masuk. Ini kesekian kali kusaksikan laki-laki gagah dan wanita asing memasuki kamar pengantinku dulu. Lampu padam. Entah apa yang terjadi.
Aku menjawil sopir taksi yang tertidur. Mengawasi memang membosankan. Ia tergagap dan segera menyalakan mesin. Aku meluncur ditelan malam. Mataku mengalirkan mata air dendam yang amat dalam. Aku sudah tahu apa yang akan terjadi esok hari. Pastilah wanita dan laki-laki gagahku itu keluar dari pintu yang terkunci itu dengan tawa dan keriangan yang mengubah warna suram dunia. Kuputuskan aku tak akan mengawasi mereka lagi. Sudah saatnya aku panen dendamku: membuat pintu terkunci untuk laki-laki yang baru!
***
Malang, 01 September 2006
*) Juara II Lomba Cipta Cerpen yang diadakan Creative Writing Institute (CWI) berkerja sama dengan Kantor Kementrian Pemuda & Olahraga 2006. http://sastra-indonesia.com/2021/07/pintu-yang-terkunci/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar