Penulis: Zuhairi Misrawi
Penerbit: Kompas
Tahun: I, Agustus 2010
ISBN: 978-979-709-510-9
Peresensi: Ecep Heryadi *
oase.kompas.com
Mungkin tak asing lagi dengan nama Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, khususnya bagi mereka yang berasal dari kalangan pesantren. Universitas yang sudah berumur ratusan tahun dan merupakan tempat menuntut ilmu paling berpengaruh di dunia. Universitas yang telah banyak melahirkan cendekiawan-cendekiawan Muslim berpengaruh, baik di lingkungan Mesir, Timur Tengah sebagai episentrum dunia keislaman, maupun Indonesia yang, meminjam istilah yang dipakai Guru Besar Sejarah UIN Jakarta Prof Dr Azyumardi Azra, merupakan lokus “peri-peri” (pinggiran) Islam.
Sejarah mencatat nama “Al-Azhar” berasal dari sebuah masjid bernama Al-Azhar yang dibangun Panglima Besar Dinasti Fathimiyah, Jauhar As-Shaqaly, 359 H sebagai tempat ibadah, enam tahun kemudian mulai dibangun tempat kegiatan belajar dan majelis ilmu pengetahuan bermazhab Syi’ah Ismailiyah. 12 tahun kemudian, tepatnya 378 H/988 M, Al-Azhar telah berkembang menjadi universitas besar dan berpengaruh.
Letak Mesir yang strategis di tengah dunia Islam menjadikan Al-Azhar sebagai tujuan menimba ilmu agama dari para masyaikh-nya. Begitu prestise-nya kedudukan Al-Azhar merupakan manifestasi dari peran yang dijalankannya dalam menjaga kemurnian ilmu-ilmu agama, peradaban Islam, dan bahasa Arab sebagai bahasa Al Quran dan Sunnah Rasulullah SAW, seperti yang disebutkan Muhammad Kamal Al-Sayid Muhammad dalam bukunya Al-Azhar Jami’an wa Jami’atan Aw Al- Azhar fi Alfi ‘Am.
Pada masa Sultan Al-Zahir Beibars, ada dua hal yang menjadikan Jami? Al-Azhar menjadi pusat keilmuan teramai saat itu. Pertama, ekspansi yang dilakukan pasukan Tatar hingga menaklukkan kekhalifahan Dinasti Abbasiah di Baghdad, yang menyebabkan pindahnya pusat kekhalifahan ke Mesir, mulai tahun 660 H. Hingga tahun 923 H, bertepatan dengan awal munculnya Daulah Usmaniah di Turki. Akibat serangan Tatar, banyak ulama Muslim dari Timur hijrah ke Mesir karena Mesir berhasil mengalahkan Tatar dalam peperangan ?Ain Jalut yang dipimpin Raja Mesir Sultan Saifuddin Al-Muzaffar Quthz. Kedua, orang-orang Islam di Andalusia ditindas orang-orang Eropa hingga banyak ulama dunia Islam bagian Barat hijrah ke timur dengan tujuan kota Kairo juga.
Zuhairi Misrawi, orang yang pernah menuntut ilmu di Universitas Al-Azhar, mencoba mendeskripsi kebesaran dan keutamaannya dalam buku bertajuk Al-Azhar: Menara Ilmu, Reformasi, dan Kiblat Keulamaan. Disebutkan bahwa memang tidak mudah mengadakan reformasi di Al-Azhar. Bisa dilihat, misalnya, ketika Sheikh Muhammad Abduh mengusulkan agar Muqaddimah Ibnu Khaldun dimasukkan untuk dijadikan materi dalam kurikulum Al-Azhar, ditolak oleh Sheikh Muhammad Al-Anbani, Sheikh Al-Azhar saat itu. Usaha memasukkan materi ilmu-ilmu pengetahuan umum di Al-Azhar baru berhasil pada tahun 1895 M. Bermula dengan hanya mencakup 11 cabang ilmu dan kemudian berkembang menjadi 26 cabang, tetapi itu hanya meliputi beberapa cabang ilmu pengetahuan umum, seperti aljabar, ilmu hitung, dan dasar-dasar tehnik.
Pada tahun 1930 M dikeluarkan undang-undang pembentukan tiga fakultas di Al-Azhar, yaitu Fakultas Ushuluddin, Fakulatas Syari’ah, dan Fakultas Bahasa Arab, serta belum mencakup fakultas-fakultas umum. Pada tahun 1961 M, pada masa Sheikh Mahmud Syaltut dikeluarkanlah Undang-Undang Nomor 103 Tahun 1961 M, yang menetapkan fakultas-fakultas cabang ilmu pengetahuan umum, seperti fakultas kedokteran, perdagangan, teknik, pertanian, dan farmasi, yang dapat kita saksikan hingga sekarang.
Saat ini, tak kurang dari 4.000 mahasiswa Indonesia tengah menuntut ilmu agama Islam di universitas di negeri para nabi tersebut. Kondisi demikian, jelas akan memberikan sumbangan pemikiran signifikan tentang paradigma keislaman di Indonesia ketika para sarjana lulusan Al-Azhar tersebut mengajar di beberapa pesantren dan universitas dalam negeri. Secara sempurna, penulis menyuguhkan ihwal sejarah Al-Azhar, para mahasiswa Indonesia yang belajar di sana, serta peran Al-Azhar dalam mengembangkan pandangan keislaman moderat dalam konteks global. Tidak luput pula dikupas secara mendalam tentang sejarah Mesir dan Kota Kairo yang memesona. Wallahu’alam.
*) Ecep Heryadi, Lahir di Banjar, 23 Agustus 1985. Peneliti politik UIN Jakarta, intelektual muda Muhammadiyah. http://sastra-indonesia.com/2010/10/al-azhar-pesona-keislaman-tak-berbatas-ruang-waktu/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar