Minggu, 01 Agustus 2021

Seorang Guru Bernama Jostein Gaarder

Leila S. Chudori
majalah.tempointeraktif.com
 
“Saat itulah kau bertanya apakah kau boleh mencium rambutku. Kau menciumnya. Saya bisa merasakan napasmu di leherku ketika kau memilin-milin helai panjang rambutku dan mengendus aromanya. Seolah-olah kau ingin menarik seluruh diriku ke dalam dirimu, seolah-olah aku menemukan sebuah rumah di dalam dirimu. Saya merasa kau ingin menyatakan bahwa aku selalu milikmu karena jiwa kita sudah bersatu. Ini semua terjadi sebelum Monica datang ke Milan; dan sebelum terjadi rencana pernikahan itu dan juga sebelum kau bertemu dengan para teolog itu….”
(Terjemahan bebas dari Vita Brevis, a Letter to St. Augustine, hlm. 81)
 
Novel Vita Brevis bukanlah sebuah novel yang menjadi ciri khas sastrawan Norwegia Jostein Gaarder. Tetapi ini sebuah kisah romantis dan tragis yang justru sangat menarik karena sangat dekat dengan hati Gaarder: sejarah dan teologi.
 
Namun, harus diakui, adalah novel filsafat Sophie’s World yang meletakkan nama Jostein Gaarder di peta sastra dunia. Tak ada pembaca sejati yang tak mengenal nama Jostein Gaarder dengan Sophie’s World. Terbit pertama kali pada 1991 dalam bahasa Norwegia dengan judul Sofie’s Verden, buku ini—tanpa diduga penulisnya sendiri—meledak dan diterjemahkan ke dalam 42 bahasa. Di Indonesia, novel ini diterbitkan oleh Mizan dengan judul Dunia Sophie.
 
Bekerja sebagai seorang guru filsafat selama 12 tahun, Gaarder merasa bahwa filsafat seharusnya bisa dinikmati oleh masyarakat yang lebih luas dengan cara yang lebih mengasyikkan. “Saya menyadari, jika orang bisa membaca filsafat dalam kerangka suatu ceritera, mereka pasti akan mau membacanya.” Maka suatu hari dia mengungkapkan kepada istrinya bahwa ia ingin sekali menulis sebuah buku filsafat yang tak akan menghasilkan banyak uang. “Istri saya mengatakan tulislah.”
 
Dan ternyata buku itu dapat terjual hingga jutaan eksemplar di setiap negara yang menerjemahkannya. Di Jepang, Sophie’s World terjual 1,6 juta eksemplar hanya dalam waktu enam bulan; di Jerman terjual 1,5 juta eksemplar. Pada 1995 Sophie’s World menduduki posisi pertama dalam daftar buku terlaris, mengalahkan Celestine Prophecy karya James Redfield.
 
Buku Sophie’s World sebetulnya, seperti yang diakui Gaarder, adalah sebuah pendidikan pengantar filsafat yang dikemas dalam bentuk novel. Syahdan, seorang gadis remaja 14 tahun menemukan sebuah surat misterius yang berisi satu pertanyaan mendasar dan eksistensial: “Siapakah kamu?” Surat-surat misterius itu berdatangan setiap hari, tanpa nama pengirim dan selanjutnya terjalinlah sebuah “wacana” filsafat antara Sophie dan pengirim surat misterius itu sebagai sebuah jendela menuju perkenalan pada pengantar filsafat. Semua pemikir filsafat Barat, dari Socrates hingga Aristoteles, terus memasuki abad Pertengahan sampai abad Pencerahan, Gaarder membuat sebuah komposisi kurikulum perkenalan ilmu filsafat yang diaduk dengan bumbu misteri dan beberapa percikan drama di sana-sini. Karena tujuan penulisan novel ini adalah sebuah edukasi dan pedagogi, dengan penuh kesadaran Gaarder lebih memusatkan perhatiannya dengan keinginan menuangkan ilmu dan informasi ketimbang bergulat dengan bahasa, kata, atau melakukan terobosan bentuk. Buku ini memang sejak awal ditujukan untuk “mencapai lebih banyak orang”, demikian tutur Jostein Gaarder yang ditemui wartawan TEMPO Bambang Harymurti di Oslo, Norwegia, beberapa waktu silam. Karena merasa ilmu filsafat selalu dianggap terlalu akademis dan menjemukan, Gaarder yang sehari-hari bekerja sebagai guru itu menulis novel ini sebagai persembahannya dari seorang pendidik kepada muridnya di dunia.
 
Dengan keberhasilan Sophie’s World, tak mudah untuk Gaarder terhindar dari kecenderungan pengulangan gaya dan tema dalam novel-novel berikutnya yang juga ditujukan ke kalangan anak-anak dan remaja.
 
Novelnya berjudul The Christmas Mystery adalah kisah seorang anak lelaki bernama Joachim yang menemukan sebuah kalender Advent kusam dengan 25 buah pintu yang harus dibuka hingga menjelang Natal. Setiap hari, Joachim membuka satu tanggal, satu pintu menjelang Natal, dan ia akan menemukan sebuah cerita tentang seorang anak perempuan kecil bernama Elisabet Hansen, yang diajak terbang bersama bidadari Ephiriel untuk melintasi ruang dan waktu, menuju tahun 0 di Bethlehem, ketika bayi Yesus lahir. Novelnya berjudul Through a Glass, Darkly berkisah tentang seorang anak perempuan bernama Cecilia yang menghadapi hari-hari akhir kematiannya karena penyakit kanker. Pada saat itulah, bidadari Ariel melesat melalui jendela kamarnya dan berkawan dengan Cecilia hingga saat-saat akhirnya.
 
Persamaan dari novel-novelnya, kecuali Vita Brevis dan Maya, semua tokoh protagonisnya adalah seorang anak lelaki atau perempuan berusia 12 hingga 14 tahun; mereka semua pada posisi yang penuh pertanyaan akan eksistensi dirinya; penuh keinginan untuk petualangan yang fantastis dan agaknya itulah yang menyebabkan novel-novelnya digemari oleh semua usia. Persamaan lain yang menjadi ciri khas Gaarder adalah keinginannya untuk “mendidik”, membuat novelnya sebagai kelasnya, dan pembaca sebagai “murid”-nya yang kritis. Sophie’s World adalah sebuah edukasi pengantar ilmu filsafat; Through a Glass, Darkly adalah sebuah edukasi filsafat dan teologi yang tertuang melalui tanya-jawab antara Cecilia yang sudah siap melepas nyawanya dan bidadari Ariel, sebagai “wakil” dari kawasan Tuhan yang mengetahui berbagai ilmu di dunia maupun masalah keimanan.
 
Novel The Christmas Mystery bukan saja sebuah novel yang menyelipkan studi tentang sejarah Kristiani, tetapi adegan terbangnya tokoh gadis kecil Elisabet Hansen bersama para saksi sejarah sekaligus menjadi sebuah proses edukasi sejarah dan geografi. Pecahnya perang, hancurnya sebuah kerajaan, kekaisaran, penaklukan atau hilangnya sebuah negara karena diduduki oleh negara lain, menjadi pelajaran sejarah yang diselipkan dalam dialog para bidadari dengan Elisabet (baca Dan Sang Guru Berkata…).
 
Sesungguhnya, bisa dipahami jika Gaarder sendiri mengaku lebih menyukai novel awalnya berjudul The Solitaire Mystery. Inilah novelnya yang berbentuk “konvensional” dalam arti: tidak memiliki misi edukasi apa pun. Hans Thomas adalah seorang anak lelaki remaja yang kehilangan sang ibu, yang pergi entah ke mana. Sosok dari keluarga disfungsional, keluarga berantakan, sebetulnya bukan ciri khas Gaarder, yang tampaknya dalam novel-novel lainnya selalu menampilkan keluarga baik-baik, religius, dan menjadi teladan. Upaya Hans Thomas untuk menyusuri jejak sang ibu dan pertemuannya dengan berbagai peristiwa dan sosok ganjil dalam perjalanannya menjadi alat bagi Gaarder untuk membawa pembacanya ke dunia antah berantah.
 
Di luar novel Vita Brevis dan Maya, inilah novel Gaarder yang tidak menggunakan gaya tanya-jawab dan repetisi yang membuat novel-novelnya butuh penyuntingan ulang agar lebih padat dan menyegarkan. Memang ironis, justru novel Vita Brevis merupakan karya Gaarder yang paling menarik dibandingkan dengan karyanya yang lain.
 
Berbeda dengan novel Sophie’s World—novel filsafat yang membuat nama Jostein Gaarder melambung di jagat sastra dunia—Vita Brevis bukanlah sebuah fiksi. Novel ini sesungguhnya sebuah terjemahan setumpuk dokumen yang ditemukannya di Buenos Aires pada 1995. Di sebuah toko antik, “Mata saya tertumbuk pada sebuah kotak merah yang diberi label Codex Floriae,” demikian tulis Jostein Gaarder dalam kata pengantar Vita Brevis.
 
Tumpukan dokumen itu tertulis dalam bahasa Latin, dan dari usianya, tampak dokumen 80 halaman itu sangat-sangat tua dan rapuh. Dokumen Codex Floriae adalah sebuah surat panjang dari seorang wanita bernama Floria Aemilia kepada santo terkemuka St. Augustine (354-530), yang dikenal sangat mempengaruhi filsafat Barat. Sebagai seorang guru, Gaarder tentu sangat akrab dengan pemikiran St. Augustine dan berbagai pemikir dari Abad Pertengahan. Dalam berbagai buku filsafat, dan juga buku karya St. Augustine, secara terbuka St. Augustine menuliskan wacananya dengan putranya Adeodatus, yang lahir dari kekasih gelapnya. Namun nama Floria dan kehidupannya bersama St. Augustine tak pernah terungkap dengan jelas.
 
Karena itu, Gaarder tak ragu untuk membeli dokumen itu dengan harga yang sangat tinggi dan memburu seberapa otentiknya dokumen itu. Selain mencoba menerjemahkannya—Gaarder fasih dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa Latin—Gaarder bahkan berupaya membawa manuskrip itu ke perpustakaan Vatikan di Roma untuk menggali analisis yang akurat tentang dokumen itu. Meski mereka mengaku tak pernah mendengar atau membaca dokumen ini, Gaarder yakin (dan menyerahkan kepada pembaca) seberapa jauh otentiknya surat ini, dan apakah Floria memang seorang kekasih St. Augustine, yang hidup pada abad keempat.
 
Isi dokumen yang kemudian dijadikan sebuah novel berjudul Vita Brevis ini (berarti: Hidup ini Singkat) adalah sebuah kisah yang romantis sekaligus tragis. Begitu tragisnya hingga mereka yang menggeluti pemikiran St. Augustine melalui Confessions akan sulit menerima dokumen ini sebagai sebuah surat otentik dari seorang perempuan yang tampaknya dicampakkan oleh St. Augustine. Surat Floria Aemilia ini adalah sebuah surat cinta, gugatan, pertanyaan, keresahan sekaligus tudingan dan kemarahan terhadap seorang kekasih yang telah mencampakkannya, memberinya seorang putra, merenggut putranya dari tangan ibunya, dan mempermainkan emosinya.
 
Menurut surat Floria—yang ditulis dengan puitis sekaligus penuh kegarangan—St. Augustine (yang dipanggilnya dengan nama Aurel) dan Floria bertemu di masa pendidikan di bawah sebuah pohon rindang. Segalanya begitu romantis, begitu indah, hingga suatu hari Aurel meminta izin untuk mencium bau rambutnya. Permulaan yang begitu romantis (bak kisah roman remaja) yang kemudian dilanjutkan dengan hubungan asmara yang luar biasa—raga, jiwa, dan intelektual ini tampak begitu “sempurna” kecuali untuk dua hal: pertama, Aurel alias St. Augustine jatuh cinta pada pengabdian pada Tuhan. Jiwanya merasa tercabik antara “cinta duniawi” dan “raga” dan cinta kepada Tuhan. “Jiwaku terenggut oleh nafsu sensual,” demikian tulis Aurel dalam Confessions.
 
Kedua, sosok Monica, sang ibu, jauh lebih mempengaruhi keputusan-keputusannya. Floria selalu menggambarkan bahwa pertemuan antara Floria dan Monica selalu seperti dua wanita dalam hidup Aurel yang “berebut” wilayah dalam hati sang lelaki. Satu saat Floria seakan memenuhi dan memiliki seluruh kawasan hati dan tubuh Aurel. Pada saat yang lain, Monica akan muncul dan merombak seluruh keputusan hidup putranya. Ketika putra mereka Adeodatus lahir, keadaan semakin rumit. Tekanan Monica terhadap putranya untuk mengawini perempuan lain—yang sudah dijodohkan dengannya—semakin kuat pula; di sisi lain, lingkungan Aurel yang terdiri dari para teolog dan imam semakin mengukuhkan keinginannya untuk mengabdikan diri sepenuhnya ke jalan Tuhan.
 
Hal yang paling tragis pun terjadi: atas saran Monica, Aurel mengirim Floria ke Afrika. Sang anak diambilnya. Bahkan Floria tak diizinkan mengucapkan apa pun kepada anaknya. Peristiwa yang berdarah ini tak menguburkan cinta Floria kepada Aurel. “Perempuan yang dijodohkan dengan saya masih begitu muda, masih harus menempuh dua tahun lagi untuk mencapai usia perkawinan,” demikian tulis Aurel dengan enteng kepada Floria.… “saya tak sabar menanti, karena saya tak terlalu menanti sebuah pernikahan, saya menjadi budak dari nafsu saya…” Maka, sembari menanti dua tahun menuju perkawinan, Aurel mengaku menjalin hubungan dengan perempuan lain sekadar untuk melepas “dahaga nafsu”.
 
Mereka masih tetap bersuratan, dan setelah beberapa saat, Aurel mengakui, ia merindukan Floria. Cinta memang gila, Floria menyusul Aurel, dan mereka menjalin hubungan kembali. Kali ini Aurel melarang Floria bertemu dengan Adeodatus. Pada akhir surat, tragedi itu mencapai puncaknya: Adeodatus meninggal dunia pada usia 12 tahun. Setelah melalui penderitaan batin yang luar biasa, Augustine diangkat menjadi kardinal. Dan Floria kemudian menuliskan surat ini, yang diberi nama Floria Aemilia Augustino Episcopo Hipponiensi Salutem (Greetings from Floria Aemilia to Aerelius Augustine, Bishop of Hippo) yang belakangan disebut sebagai Codex Floriae.
 
UNTUK memahami kisah cinta yang begitu menggelegak sekaligus tragis ini, yang terjadi pada abad setelah kelahiran Yesus, tentu tak mudah jika tak memahami konteks sejarah. Jostein Gaarder, sebagai penulis yang menemukan dokumen Codex Floriae ini—setelah riset panjang dan analisis yang kemudian dibuktikan melalui berbagai komparasi dalam catatan kaki—yakin akan kesahihan surat ini. Berbagai kutipan yang digunakan Floria melalui dokumen ini memang merupakan kutipan dari karya-karya St. Augustine yang telah menjadi pegangan wajib mereka yang mempelajari filsafat dan teologi, antara lain Confessions.
 
Berbagai buku dan literatur yang mempelajari biografi maupun pemikiran St. Augustine, termasuk Early Medieval Christian Philosophy, kehidupan St. Augustine sebelum diangkat menjadi kardinal memang tak jauh seperti yang tertulis dalam dokumen Codex Floriae. Lahir di sebuah kota kecil bernama Tagaste, di Provinsi Numidia (yang di peta modern kini adalah negara Tunisia), Afrika, pada 13 November 354, St. Augustine dibesarkan sebagai seorang penganut Kristen dan menempuh studi Retorika di Carthage. Pada masa mudanya, St. Augustine mengaku sebagai penganut Ma- nichean, sebuah aliran pemikiran yang ditemukan Mani (215-279), yang pada dasarnya percaya bahwa dunia dikuasai oleh dua hal: cahaya kebaikan dan kegelapan kejahatan. Augustine menggunakan pemikiran ini sebagai tameng kehidupan mudanya yang penuh dengan keraguan dan kegelisahan. Di Carthage itulah, menurut buku Early Medieval Christian Philosophy, Augustine bertemu dengan seorang “kekasih gelap yang kemudian melahirkan seorang anak bernama Adeodatus”. Meski nama Floria tak disebut-sebut, tampaknya kehidupan Augustine di masa mudanya bersama sejumlah wanita—termasuk kekasihnya yang memberikan Adeodatus—tak pernah disembunyikan. Dalam sebuah pemikirannya, berjudul On the Teacher, Augustine bahkan menuliskan wacananya bersama Adeodatus dengan gaya tanya-jawab ala Socrates.
 
Yang tak pernah terjawab adalah apakah seluruh kisah yang diutarakan Floria dalam suratnya adalah kisah tentang perilaku St. Augustine sesungguhnya. Bahwa ia mencampakkan wanita yang begitu mengasihinya, memberikan seorang anak; bahwa dia pernah memukulnya habis-habisan. “Suatu siang, tiba-tiba saja kau menjadi begitu marah, setelah kita bertukar ‘pemberian’ di dunia Venus (ini istilah intim pasangan ini tentang bercinta—Red.). Kemudian kau memukulku. Ingatkah kau ketika kau memukulku? Kau, Aurel, seorang guru ilmu Retorika yang sangat dihormati, memukulku habis-habisan karena kau membiarkan dirimu tergoda oleh kelembutanku. Jadi, akulah yang harus disalahkan karena nafsumu? Seperti yang dikatakan Horace: ketika orang-orang bodoh itu mencoba menghindar dari kesalahan, yang sering mereka lakukan adalah sebaliknya.” Menurut Floria, Augustine memukul dan menjerit karena kehadiran Floria menjadi ancaman bagi “penyelamatan jiwa” (Vita Brevis, hlm. 141).
 
Dalam Codex Floriae, St. Augustine muda yang begitu mudah mengikut nafsu, yang begitu saja memanfaatkan kebaikan Floria dan bahkan melarangnya bertemu dengan anak sendiri, tampak menjadi sosok yang asing dibandingkan dengan St. Augustine, pemikir yang telah menghasilkan Contra Academicos, On the Happy Life; On Order, On the Quantity of Soul, On the Teacher, On the True Religion, On Christian Doctrine, dan yang paling dikenal dan dipelajari para murid filsafat: Confessions.
 
Augustine, meski seorang filsuf, lebih dianggap sebagai seorang teolog. Ajarannya sangat mendominasi pemikiran Kristiani hingga lahirnya Aristotelianism pada awal abad ke-13. Bahkan doktrinnya banyak mempengaruhi arah dan gerakan filsafat modern (seperti Descartes). Bagaimanapun, harus diingat, Augustine menggunakan ilmu filsafat lebih sebagai instrumen untuk memahami keimanan Kristiani, daripada sebagai sebuah cabang ilmu pemahaman manusia—seperti yang dilakukan para Aristotelian. Gospel dan tulisan-tulisan Paul mempengaruhi pemikirannya bahwa hanya pemujaan dan sinar Tuhan yang bisa menjadi penyelamat kejatuhan manusia.
 
HARUS diakui, selain novel Solitaire Mystery, Vita Brevis menjadi karya Gaarder terbaik, meski sesungguhnya novel ini tak bisa dikatakan sebuah fiksi. Jika kita percaya surat ini adalah sebuah dokumen otentik atau surat pribadi kekasih St. Augustine, ibu dari Adeodatus, fungsi Gaarder di sini adalah sebagai penemu dan penerjemah.
 
Tetapi Gaarder adalah seorang Guru (dengan G besar) yang pandai bertutur. Seorang guru tak harus pandai mencipta dan tak harus selalu orisinal. Tetapi seorang Guru (dengan G besar) harus pandai mentransfer pengetahuan, merampas perhatian muridnya, harus inspiratif, agar ilmu yang dipindahkannya mengalir dengan deras ke seluruh penjuru. Dan Gaarder sangat pandai melakukan itu, seperti yang dilakukannya melalui Sophie’s World.
 
Seperti yang diakuinya kepada Bambang Harymurti dari TEMPO, novel terbarunya yang dalam proses penerbitan berjudul Orange Girl, Gaarder kembali bertutur tentang perjalanan batin seorang anak laki-laki 15 tahun yang kehilangan ayahnya. Melalui surat wasiat ayahnya yang berkisah tentang masa mudanya, terjadilah “interaksi” antara “masa lalu” sang ayah dan sang anak. “Dalam surat wasiat itu, sang ayah berkisah bahwa ia bertemu dengan seorang wanita muda misterius yang membawa banyak buah jeruk. Ia berusaha melacak sang wanita jeruk itu hingga ke Spanyol, tempat jeruk itu tumbuh. Setelah beberapa lama, barulah sang anak tahu bahwa wanita jeruk itu adalah ibunya sendiri.” Lagi, melalui Orange Girl, pembaca—murid Gaarder—menyusuri peta Eropa.
 
Gaarder, Sang Guru. Dunia, kelasmu, menanti kisahmu yang terbaru.

12 April 2004 http://sastra-indonesia.com/2011/03/seorang-guru-bernama-jostein-gaarder/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

20 Tahun Kebangkitan Sastra-Teater Lamongan A Jalal A. Anzieb A. Khoirul Anam A. Mustofa Bisri A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja Abdoel Moeis Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdullah Abubakar Batarfie Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Achdiat K. Mihardja Achiar M Permana Adek Alwi Adhi Pandoyo Adib Baroya Aditya Ardi N Adri Sandra Adu Pesona Sang Wakil Cawapres RI Afrizal Malna Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Buchori Agus Dermawan T. Agus Mulyadi Agus Prasmono Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahmad Farid Yahya Ahmad Hasan MS Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Saifullah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alawi Al-Bantani Alfatihatus Sholihatunnisa Alfian Dippahatang Ali Audah Alim Bakhtiar Amie Williams Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amril Taufik Gobel An. Ismanto Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 AndongBuku #3 Andrea Hirata Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Antologi Sastra Lamongan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Arafat Nur Ardi Wina Saputra Ardy Suryantoko Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arman A.Z. Arsyad Indradi Asarpin Ashimuddin Musa Asrul Sani Astuti Ananta Toer Atafras Audifax Awalludin GD Mualif Ayu Nuzul Azizah Hefni B Kunto Wibisono Bahrul Amsal Bambang Kempling Beni Setia Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bloomberg Bre Redana Budaya Budi Darma Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Candra Adikara Irawan Candrakirana Cangaan Ujungpangkah Gresik Jawa Timur Capres Cawapres 2019 Catatan Ceramah Cerpen Chairil Anwar Chicilia Risca CNN Indonesia Coronavirus COVID-19 D. Zawawi Imron Damiri Mahmud Darju Prasetya Darman Moenir Deddy Arsya Denny JA Denny Mizhar Devy Kurnia Alamsyah Dhoni Zustiyantoro Dian Sukarno Didin Tulus Dien Makmur Din Saja Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Donny Anggoro Donny Darmawan Dr. Hilma Rosyida Ahmad Dwi Cipta Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dyah Ayu Fitriana Ecep Heryadi Edy Suprayitno Eka Budianta Eka Kurniawan Elok Dyah Messwati Engkos Kosnadi Erdogan Erwin Setia Esai Esti Nuryani Kasam Evan Ys F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Fahrur Rozi Faidil Akbar Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathul Qorib Fatkhul Anas Feby Indirani Felix K. Nesi Festival Teater Religi Festival Teater Religi Pelajar SLTA Se-kabupaten Lamongan Fira Basuki Forum Santri Nasional (FSN) Frischa Aswarini Fuad Mardhatillah UY Tiba Fuad Nawawi Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gde Artawan Geger Riyanto Geguritan Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Guenter Grass Gus Ahmad Syauqi Gus tf Gusti Eka Habib Bahar bin Smith Haiku Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Han Gagas Hary B Koriun Hasan Basri Hasnan Bachtiar Heri Ruslan Herman Hesse Hertha Mueller Heru Kurniawan Hestri Hurustyanti Holy Adib Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu I Made Prabaswara I Made Sujaya IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah) Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Iksaka Banu Imam Jazuli Imam Nawawi Imammuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Mahadi Indra Tjahyadi Irfan Afifi Irine Rakhmawati Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS J.S. Badudu Jadid Al Farisy Jajang R Kawentar Jawa Timur Jean Marie Gustave le Clezio JJ. Kusni Jl Raya Simo Sungelebak Jo Batara Surya John H. McGlynn Jordaidan Rizsyah Jual Buku Paket Hemat Juara 3 Lomba Lompat Jauh DISPORA LAMONGAN Jurnalisme Sastrawi K.H. Ma'ruf Amin Kadek Suartaya Kaheesa Kirania Putri Ayu Kahfie Nazaruddin Kalis Mardiasih Kamaluddin Ramdhan Kanti W. Janis Karanggeneng Kardono Setyorakhmadi Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Pantura (KBP) KetemuBuku Jombang KH. M. Najib Muhammad KH. Muhammad Amin (1910-1949) Khairul Mufid Jr Khawas Auskarni Khoirul Abidin Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kitab Arbain Nawawi Kodrat Setiawan Kompas TV Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra dan Teater Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) Kopuisi Kostela Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kurnia Effendi Kuswaidi Syafi’ie L Ridwan Muljosudarmo L.K. Ara Lamongan Lan Fang Lawi Ibung Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Literasi Liza Wahyuninto Lukas Luwarso Lukisan Lukman Lukman Santoso Az Lutfi Mardiansyah M Farid W Makkulau M. Faizi M.D. Atmaja Madrasah Aliyah Matholi'ul Anwar Madrasah Ibtida’iyah Thoriqotul Hidayah 1 Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S Mahayana Manado Manneke Budiman Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mario F. Lawi Marsel Robot Martin Aleida Marwanto Mashuri Massayu Masuki M. Astro Masyhudi Media Seputar Pendidikan Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Purnama di Kampung Halaman Mereka yang Menjerat Gus Dur MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mien Uno Moh. Dzunnurrain Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Rafi Azzamy Mohammad Rokib Mohammad Yamin Muafiqul Khalid MD Much. Khoiri Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alfatih Suryadilaga Muhammad Antakusuma Muhammad Fikry Mauludy Muhammad Hafil Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad N. Hassan Muhammad Subarkah Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Muhyiddin Mukadi Mukani Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Musa Ismail Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang E S Nara Ahirullah Naskah Teater Nezar Patria Noor H. Dee Nunus Supardi Nur Haryanto Nur Wachid Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Okky Madasari Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Pameran Lukisan Parimono V / 40 Plandi Jombang PC. Lesbumi NU Babat PDS HB Jassin Pelukis Dahlan Kong Pelukis Tarmuzie Penculikan Aktivis 1988 Pendidikan Pengajian Pengarang kelahiran Lamongan Pentigraf Pepaosan Perbincangan Peringatan Hari Pahlawan 10 November Pilang Tejoasri Laren Lamongan Jawa Timur Pipiet Senja Politik Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Jokowi Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi (PMK) Puji Santosa Pustaka LaBRAK PUstaka puJAngga R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Reuni dan Halal Bihalal Mts Putra-Putri Simo 1992 Ribut Wijoto Riki Antoni Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Robin Al Kautsar Rodli TL Roland Barthes Rosi Rosihan Anwar RR Miranda Rumah Budaya Pantura (RBP) S. Jai S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabrank Suparno Safitri Ningrum Sainul Hermawan Sajak Salman Aristo Sandiaga Uno Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Sastra Tasikmalaya (SST) Sarasehan dan Launching Buku Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Kuno Suku Sasak Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Satu Jam Sastra Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seni Gumira Ajidarma Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Pendidikan Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sirdjanul Ghufron Siwi Dwi Saputro Slamet Rahardjo Rais Soediro Satoto Soekarno Soeparno S. Adhy Soesilo Toer Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Handi Lestari Sri Wintala Achmad STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sujatmiko Sukarno Suminto A. Sayuti Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahrudin Attar Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Sylvianita Widyawati Tangguh Pitoyo Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teater nDrinDinG Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tias Tatanka Timur Sinar Suprabana Titi Aoska Tiyasa Jati Pramono Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Toni Masdiono Tri Broto Wibisono TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Jember Universitas Negeri Jember Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyu Aji Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Wiji Thukul Wildan Nugraha Wildana Wargadinata Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yerusalem Ibu Kota Palestina Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Herwibowo Yuditeha Yusri Fajar Yuval Noah Harari Zainal Arifin Thoha Zainuddin Sugendal Zara Zettira ZR Zehan Zareez Zuhdi Swt